Masih tergiang di telingaku saat mereka menjawab pertanyaanku yang menurutku tidak perlu terlalu panjang jawabannya. Justru di situlah letaknya, jawaban yang membuatku takjub dan sama sekali tidak terbayangkan olehku selama ini. Senja itu pak Hasan sang penggarap kebun itu sedang memanen buah rambutan dari puluhan pohon rambutan yang lebat buahnya. Setelah lumayan banyak buah yang sudah di turunkan, pak Hasan naik lagi ke pohon rambutan yang paling ujung.
Ada yang menggelitik perasaanku kenapa pengambilan buah rambutan kali ini tidak seperti biasanya yang cukup di potong di ujung-ujung dahan kemudian tinggal dikumpulkan di bawah. Dengan membawa karung bekas beras yang sudah dicuci pak Hasan memetik beberapa tangkai buah rambutan dan langsung dimasukkan ke karung sehingga tidak sempat jatuh di tanah dan buahnya benar-benar pilihan. Besar-besar dan pasti rasanya manis.
Karena penasaran sewaktu pak Hasan sudah turun dari pohon saya bertanya, "Pak Hasan, kok yang di dalam karung rambutannya bagus-bagus, karungnya juga bersih, buahnya bersih, apa mau dikirim ke super market? Atau ada pesanan khusus?” Beliau menjawab, "Nggak dik, itu nggak saya jual.”
Saya pun kembali bertanya, "Terus untuk anak istri di rumah pak?” Kali ini pak Hasan menggelengkan kepalanya. Sambil mengikat karung yang berisi rambutan pilihan tadi beliau menjawab, "Kalau bapak sih nggak ngerti super market dik, ini justru saya siapkan untuk di antar ke pak Rozak pemilik kebun ini. Saya di sini khan cuma penggarap, jadi hasilnya dibagi dengan yang punya kebun."
Masih penasaran lagi saya bertanya, "Kok kayaknya istimewa banget pak, rambutannya pilihan, karungnya juga pilihan padahal pak Rozak pasti sering makan rambutan beginian?" Saya beranikan diri bertanya seperti itu karena saya tahu pak Rozak si pemilik kebun itu terkenal sebagai orang kaya dan memilki banyak kebun yang semuanya dikerjakan orang lain.
Pak Hasan menepuk pundak kananku kemudian duduk di pematang, akupun yang sejak tadi berdiri ikut duduk di sampingnya. Mulailah beliau menjelaskan dengan sabar, "Begini dik, kami yang miskin ini sudah terbiasa memberikan sesuatu yang terbaik untuk orang-orang kaya tanpa diminta. Kadang anak-anakku sebenarnya kepingin juga merasakan hasil terbaik kebun ini, baik pisang, mangga, rambutan ataupun yang lain, tetapi saya jelaskan ke mereka bahwa hasil yang terbaik cukuplah untuk mereka. Sedang kita sudah terbiasa hidup susah jadi makanan yang enak itu bukan tuntutan."
Akupun mencoba mengeluarkan argumentasiku, "Harusnya tidak begitu dong pak, khan anak-anak juga sekali waktu perlu merasakan hasil terbaik kebun ini, lagian bapak juga yang merawat kebun ini."
Tapi jawaban pak Hasan kali ini justru membalik semua logikaku selama ini. Dengan tenang beliau menjelaskan, "Begini dik, saya hanya ingin menanamkan kepada anak-anakku bahwa bersedekah itu tidak perlu memilih yang baik untuk diri sendiri sedang selebihnya baru ke orang lain. Padahal kita sama-sama tahu bahwa tingginya nilai sedekah itu kalau kita berani dan mau bersedekah dengan apa-apa yang kita senangi dan kita cintai. Dan pendidikan itu tidak akan masuk di otak anak-anak kita kalau kita sendiri tidak mau memulainya."
"Kami yang miskin ini selalu mengambil hasil terbaik kebun ini untuk pak Rozak yang kebetulan diamanahi oleh Allah sebagai pemilik kebun. Kami sangat faham kalau mereka yang dicoba Allah dengan kelebihan rejeki biasanya menerima sesuatu dengan banyak pertimbangan, baik jenis, rasa maupun kualitasnya. Memang tidak semuanya begitu, tapi itulah yang membuat kami selalu menyiapkan yang terbaik bagi mereka."
"Kalau kami sih sudah terbiasa dengan apa yang ada yang dikarunikan Allah untuk keluarga kami. Ada saja sudah syukur, maka pilihan kami hanya sabar dan syukur. Sabar kalau rejeki yang kita dapat tidak sesuai dengan harapan, syukur karena Allah tidak pernah melupakan memberikan rejeki kepada kami yang miskin ini."
"Kalau kami kirimkan yang sekedarnya kepada mereka, kami takut nanti hanya akan memenuhi tempat sampah sehingga tidak bermanfaat sama sekali, padahal kalau itu diberikan kepada orang-orang seperti kami pastilah besar manfaatnya."
Benar saja, pak Hasan telah membalik jalan pikiranku. Benar adanya kalau kita yang sebenarnya diberi karunia rejeki yang berlimpah sering kali bersedekah ala kadarnya. Sekedar memberi, itupun setelah melalui proses dan sortir yang luar biasa ketatnya. Mulai dari kita masih memerlukan atau tidak, anak itri kita perlu tidak, masih ada stock di rumah atau tidak kalau disedekahkan? Jangankan meniru sahabat Abu bakar RA yang ketika Rasullullah SAW menawarkan siapa yang bersedia sedekah hari ini, beliau langsung bersedekah dengan tanpa meninggalkan sedikit pun untuk keluarganya dengan alasan masih ada Allah dan RasulNya. Atau sahabat Umar RA yang kala itu bersedekah dengan separuh hartanya, justru yang sering kita lakukan adalah bersedekah pada saat kita ‘merasa’ untuk kebutuhan pribadi dan kebutuhan keluarga sudah cukup sehingga sisanya bisa disedekakan. Padahal ukuran cukup untuk masing-masing orang berbeda. Sehingga kalau salah menafsirkan kita bisa terjebak dengan kata-kata belum cukup yang akhirnya tak sedikitpun harta kita yang kita keluarkan untuk sedekah.
Sangat banyak kita yang lebih senang memberikan kepada fakir miskin baju pantas pakai yang memang merupakan baju bekas kita dan masih layak dipakai orang lain dari pada membelikan baju baru untuk mereka. Atau kita lebih senang memberikan makanan yang kurang kita sukai kepada pembantu kita padahal mereka tinggal serumah dan menjadi tanggungan kita. Bahkan sering kali kita masih memilah sisa belanja yang besarnya tinggal ribuan rupiah untuk dibelanjakan kejalan Allah yang balasannya sangat luar biasa. Subhanallah. Ya Allah bimbinglah kami untuk senantiasa menjadikan harta dalam genggaman tangan bukan bersemayam di hati.