Seperti biasa setiap Sabtu dan Minggu saya dan istri melakukan olah raga pagi.Walaupun hanya sekedar jalan kaki mengelilingi lapangan Merdeka, atau jalan pagi menyusuri nikmatnya udara pagi di jalan Minyak yang masih rimbun dengan pepohonan di kanan kiri jalan yang membuat rongga dada dan nafasku terasa segar .
Banyak juga mereka yang melakukan olah raga sepeda sehat di lokasi ini , sehingga walaupun suasana hutan kota tapi terasa seperti nyaman untuk olah raga sekaligus rekreasi .
Bukan suatu kebetulan ketika aku dan istriku saat sedang jalan pagi di jalan Minyak bertemu dengan serombongan penggiat olah raga bersepeda. Bukan juga karena jenis sepeda yang semakin banyak macam dan desainnya yang membuatku kagum.
Justru perhatianku tertuju pada peserta yang paling akhir dan agak jauh tertinggal dari rombongan. Ada yang mengusik hatiku ketika kuperhatikan dengan seksama bahwa yang mengayuh sepeda di remangnya pagi tersebut seorang kakek yang menurutku berusia lebih dari 60 tahun Subhanallah.
Aku jawil istriku untuk mempehatikan dengan seksama, ” Dik, lihat itu peserta terakhir, Masya Allah, seorang kakek dik". Betapa luar biasa beliau dengan usia se-tua itu masih ikut olah raga bersepeda tanpa keluhan yang berarti. Sabar meniti dan mengayuh pedal walupun keringat sudah bercucuran “. Istriku pun menimpali, “Benar mas, Masya Allah … sabarnya pak tua itu ya mas, walaupun sudah tertinggal dari rombongan tapi tetap semangat". Akhirnya sambil berjalan kami membahas pak tua tersebut.
Ada pelajaran yang di tinggalkan ke kami walaupun beliau tertinggal dari rombongan .Semangat, ketabahan, keuletan dan kesabaran meniti takdir hari ini yang beliau tinggalkan ke sanubari kami berdua . Setelah diskusi panjang lebar tentang kelebihan pak tua tersebut dibanding kami berdua yang masih 40 tahunan akhirnya kami sepakat menaruh SCORE 1 : 0 . Sungguh aku dan istriku masih di score 0 dan kalah telak.
Minggu berikutnya, seperti biasa aku dan itriku kembali menyusuri hutan kota di jalan Minyak, tetapi kali ini waktunya lebih pagi karena kebetulan sehabis Sholat subuh tidak mendung ataupun hujan. Maklum memang di Balikpapan ini Allah mentakdirkan tidak ada musim seperti tanah kelahiranku di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang musim kemarau dan musim penghujannya jelas bedanya .
Tapi disini setiap saat bisa turun hujan dan sesaat kemudian bisa panas terik. Kali ini aku coba rute baliknya sampai di sekitar pelabuhan. Wow… beberapa orang pemancing lagi sibuk melempar umpan ke tengah sementara laut memang lagi pasang. Kembali hatiku tergelitik ketika kali ini aku dan itriku melihat sepeda yang di parkir di pinggir jalan, dan serasa kenal dengan sepeda itu. Aku tanya pada istriku, “Dik, kayaknya aku merasa kenal dengan sepeda yang di pinggir jalan itu ?” Istrku pun menimpali, “Iiya mas, apa … punya pak tua kemarin yach?", cetusnya.
Aku pun mulai lihat kanan kiri barangkali ketemu orangnya. Sebentar kemudian muncul pak tua yang sudah meng KO 1:0 kemarin dari deretan para pemancing . Saat ini pak tua dengan tangannya yang sudah keriput mulai membuka kotak kecil yang menurutku kemungkinan kotak peralatan sepeda.
Aku dan istriku mencoba mengamati beliau sambil duduk – duduk di pinggiran pantai sekaligus menikmati angin di pantai yang berhembus semilir. Aku dan istriku berfikir kayaknya ada yang rusak di sepedanya dan meminta bantuan bapak yang lagi mancing di pantai tersebut. Masya Allah … dugaanku kembali keliru. Pak tua ambil beberapa kunci kecil, obeng dan tang untuk membantu bapak yang lagi memancing tersebut yang kebetulan reel ( penggulung ) nya ngadat nggak bisa diputar.
Pak tua dengan sabar ikut membantu mengutak-atik reel tersebut dan akhirnya bisa di putar kembali. Aku berbisik pada istriku :” dik , ini peristiwa yang langka . Jarang orang sekarang mau peduli dengan kesulitan orang lain , apalagi tidak saling mengenal.
Yang lebih unik lagi beda hobby, satu pemancing satu lagi hobby bersepeda". Istruku pun mulai berkomentar, “ Benar mas, hebat bapak itu, dengan entengnya membantu orang yang kesulitan tanpa merasa berat sedikitpun, padahal tidak saling kenal, bahkan bisa sambil bercanda”. Kami pun kembali sepakat dengan SCORE saat ini 2 : 0 untuk pelajaran ikhlas membantu orang lain yang Allah berikan lewat pak tua itu.
Minggu berikutnya karena udah agak siang kami berolah raga di sekitar lapangan Merdeka. Setelah 4 kali putaran mengelilingi lapangan yang berbentuk lingkaran tersebut kami duduk di depan masjid Istiqomah yang terkenal selalu ramai dengan taklim nya. Istriku pun membeli 2 botol tanggung air mineral untuk pelepas dahaga.
Belum sempat saya meminumnya datang seorang kakek yang menurutku umurnya 70 – 80 tahun. Dengan gemetar, beliau melangkah kearahku sambil menggendong karung besar yang aku sendiri tidak tahu isinya. Akupun mulai penasaran apa yang akan beliau lakukan. Ternyata beliau memungut gelas plastik bekas yang ada di depanku, bekas minum orang -orang yang lalu lalang berolah raga.
Satu, dua gelas plastik bekas tersebut dengan sabar dimasukkan di karung di punggungnya yang sudah mulai penuh. Ganti sekarang aku yang tidak sabar ingin menyapa beliau .
Aku ulurkan 1 botol air mineral untuk beliau , sambil duduk aku beranikan diri mulai bertanya : ”Assalamu alaikum pak “ , dengan nada yang bergetar ( karena sudah sepuh ) beliau menjawab salamku dengan jawaban yang lengkap dan takdim:” wa alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh “ Benar, bapak ini sangat mengerti tentang kaidah menjawab salam .
Seperti Rasullullah mengajarkan kita untuk menjawab salam minimal sama dengan yang di ucapkan si pemberi salam, dan akan lebih sempurna apabila dilengkapi. Sepintas memang beliau kelelahan nampaknya, dan dengan segenap keberanianku akupun mulai bertanya, ”Pak, untuk apa gelas- gelas itu dukumpulkan ?” Beliau menjawab,” Ya nak, ini saya kumpulkan, nanti saya bersihkan kemudian akan saya jual untuk makan sehari hari.” Aku mulai gelisah dan ragu untuk pertanyaan berikutnya, takut kalau belaiau tersinggung. Ternyata kali inipun aku keliru.
Aku bertanya,” Apakah bapak masih ada keluarga ? ” Dengan senyum beliau berkata,” saya sudah tidak ada keluarga nak, tapi masih ada Allah, dan saya sangat malu kepada Allah kalau harus meminta-minta sementara Allah masih memberikan tenaga kepada saya.” Akupun terdiam, dadakupun gemuruh, entah karena apa, bingung, haru atau bangga. Sepintas istrikupun kelihatan gundah dan terdiam.
Kami larut dalam pikiran masing-masing .Setelah menitipkan sebagian rizki yang Allah titipkan kepadaku, akupun pamit. Sungguh … kekagumanku kepada beliau seolah mengunci mulut dan pikiranku untuk bertanya lebih jauh.
Di perjalanan pulang aku membahas pak tua tadi dengan keteguhan imannya kepada Allah .Sungguh hari ini Allah telah menurunkan sedikit Ilmu – Nya kepada kami berdua.
Betapa Allah mempertemukan kami dengan orang – orang yang istimewa dengan kelebihannya masing – masing, betapa kami harus belajar lagi tentang ketabahan, kesabaran, keuletan dan sikap kepasarahan terhadap Allah.
Aku pun jadi teringat syair lagunya Ebiet G Ade :” Akan ku tulis tebal – tebal pelajaran-Mu lewat dia .” Dan genaplah score kami saat ini 3 : 0 ..Alhamdulillah ya Allah .
Oleh : M Jono AG
email : [email protected]