Buatku, pengalaman keseharian adalah wadah amat besar bagi kumpulan simbol, tanda atau lambang. Sayangnya tak semua lambang memiliki makna yang seragam. Ada banyak tanda dan gambar yang sekedar jadi warna-warni tanpa arti. Itu bisa dan biasa terjadi, karena belum semuanya diberi arti secara sadar oleh manusia sebagai pencipta sekaligus pengguna banyak tanda tersebut. Hanya sebagian kecil yang dengan sadar disepakati maknanya.
Ada sejumlah tanda dan gambar yang seakan sudah dipahami bersama artinya. Contoh sederhana adalah banyak tanda yang mengatur kita di jalan. Rambu lalu lintas adalah contoh sederhana tentang tanda, gambar dan makna yang ada di baliknya. Kita sudah amat tahu, bahwa huruf ’S’ yang dicoret berarti di larang berhenti. Konsekuensinya, kita tak perlu kaget lagi kalau ada polisi menghampiri mobil kita yang terparkir di bawah tanda itu.
Pendek kata, ada sejumlah tanda dan lambang yang sudah disepakati maknanya. Dan itu sangat membantu kita, membantu kelancaran banyak hal dalam keseharian yang kita jalani.
Lalu bagaimana dengan masih banyak lagi tanda dan gambar yang belum dimaknai? Bagaimana pula dengan makna di balik banyak kejadian yang lebih kompleks yang tiap hari menyerbu kita? Apakah tak berbahaya kalau masih banyak ’tanda’ yang belum disepakati maknanya? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini aku lontarkan sejalan dengan pandanganku — paling tidak dalam coretan — bahwa banyak kejadian dalam keseharian kita yang tak lain adalah kumpulan tanda dan lambang juga.
Sekilas akan mengerikan kalau hidup di zaman dengan banyak gambar yang seakan tanpa makna. Sebagian kita jadi khawatir dan bingung karena tak mengerti makna di balik banyak kejadian yang ada. Namun, mengingat bahwa Allah SWT menjadikan segala sesuatunya tidak untuk kesia-siaan, maka sesungguhnya kejadian-kejadian itu — bahkan yang tak menyenangkan — tak harus membuat kita berhenti tak bergerak karena terbelenggu takut dan khawatir.
Pemahaman sederhanaku justru mengantarku pada kesadaran akan adanya ruang hikmah dan pembelajaran yang tak berbatas. Dengan begitu, kejadian-kejadian di semesta ini sesungguhnya adalah guratan tulisan Sang Maha Pemberi Petunjuk, yang hendak terus mengajari dan mengingatkan kita untuk tetap berada di jalan-Nya. Dengan nalar demikian maka sejumlah kejadian di semesta ini tak lain adalah pelajaran bagi kita sang murid kehidupan dengan semesta sebagai sekolah abadinya.
Cara pandang seperti itulah yang kemudian seringkali aku gunakan untuk memaknai banyak hal yang aku alami dalam aktivitas keseharian. Termasuk ketika aku merasa terganggu kala menyadari bahwa imam sholat hari Ashar hari itu tak mengingatkan kami untuk merapatkan barisan.
” Rapatkan barisan. Kelingking kaki saling bertemu dengan jamaah sebelah Anda”, begitu kalimat yang biasa aku dengar, yang biasa disampaikan imam sebelum memimpin sholat kami.
Karenanya, kala Sang Imam tak mengingatkan kami, terus terang aku terganggu dan dalam canda sempat terpikir untuk melakukan kudeta. Hahahahaa……. Untung aku ingat bahwa kami memang tak sedang menghamba pada sang imam. Kami sedang menghamba pada Illahi Rabbi. Astaghfirullah!
”Rapatkan dan luruskan barisan” adalah kata minimal yang ingin aku dengar sebagai makmum, sebagai pengikut. Rapatkan dan luruskan adalah perintah sekaligus pengingat kita semua untuk kembali ke esensi jamaah. Sayangnya sore itu tadi tak ada peringatan tersebut. Aku yang masih menunggu, bahkan tak melihat walau sekedar Sang Imamm menengok ke belakang.
Menengok ke belakang adalah lambang betapa Sang Imam, Sang Pemimpin memiliki kepedulian terhadap yang dipimpinnya, terhadap makmum yang mengikut di belakangnya. Menengok ke belakang berarti ekspresi keinginan untuk sekedar mencari tahu ada apa dengan makmum yang telah memberikan kepercayaan (trust) pada Sang Imam.
” Ia, Sang Imam yang kami percaya, bahkan tak melihat apa yang terjadi pada kami”, begitu pikirku dalam hati. Mungkin pikiran jenis inilah yang banyak menghinggapi kepala kita, kepala banyak umat saat melihat pemimpin bangsa kita.
” Saat PEMILU mereka rela menghamba meminta suara kita. Kini mereka berlari menjauhi kami”, begitu yang sering aku dengar, terutama dari banyak mulut yang merasa terus dikecewakan dan dibohongi.
Belajar dari banyak kejadian lain, terus terang ngeri juga aku membayangkan reaksi yang kelak akan muncul kalau pemimpin terus melupakan rakyatnya. Aku jadi takut imam dalam sholat jamaah kami ikut-ikutan pemimpin di luar masjid.
Saat berjamaah dalam masjid kala itu, kami sekedar menunggu titah perintah Sang Imam. Hanya itu dan kami tak akan meminta balik sebuah penghormatan dari Sang Imam sebagai imbalan kepercayaan kami padanya. Kesediaan kami menunggu titah, walau sekedar perintah untuk merapatkan dan meluruskan barisan, adalah bentuk sederhana ekspresi kepercayaan (trust) kami. Kami bahkan sudah menyiapkan kepatuhan yang penuh untuk mengikuti titahnya yang berikut.
Sayang semua tak terjadi di sore yang panas hari itu. Lalu aku teringat banyak hal. Lalu ide berseliweran, berkejaran. Lalu, sholatku mungkin tak khusuk. Astaghfirullah………
Melihat kejadian di semesta sebagai hikmah dan pembelajaran, aku diingatkan betapa sekedar menengok ke belakang itu ternyata bukanlah pekerjaan mudah. Ini menjadi lambang yang bisa bermakna bahwa seorang pemimpin kadang bisa dengan cepat lupa bahkan tentang hal kecil semacam itu. Maka aku semakin tak heran kalau di luar sana banyak pemimpin yang berlaku sejenis bahkan lebih parah.
Bukankah tak sedikit kita dengar kabar sikap aniaya dari pemimpin? Ada pemimpin yang justru menginjak orang yang pernah mendorongnya maju menjadi pemimpin. Tak sedikit yang pernah dipilih pada akhirnya justru meninggalkan pemilihnya.
Menyedihkan, kalau membaca banyak kisah sejenis dalam drama kehidupan yang terpajang di depan mata kita. Lebih menyedihkan kalau pemimpin dalam masjid perlahan mulai tertular polah pemimpin di luar sana.
** Adjie – pernah berguru di FLP Depok dan Sekolah Menulis Tarbawi