"Kono tabi, hajimete no Qur`an zen-ankisha (danshi 11-sai) ga tanjoushimashita" "Telah ‘lahir,’ seorang hafidz Qur`an pertama di Jepang (anak laki-laki 11 tahun)."Begitu kira-kira terjemahan kalimat di atas.
Sebuah berita yang saya terima melalui e-mail dari salah satu Masjid di Jepang. Tentu, membaca berita tersebut, sontak mata terbelalak.
Antara gembira, terharu dan tak percaya. 11 tahun? Anak laki-laki? Hafidz cilik pertama di Jepang? Allahu Akbar! Ada kebanggaan tersendiri meyelusup di hati. Ingatan saya lalu mulai berjalan pada seorang anak laki-laki berkaca mata. Sama dengan anak-anak sebaya lainnya, Ia polos dan kadang penuh dengan ulah.
Saya biasa bertemu dengan lelaki cilik tersebut di tangga masjid. Dengan santainya ia duduk, kadang menyapa saya, sambil sesekali mulutnya komat-kamit. Iseng sering saya tanya "Lagi ngapain? Sudah sampai mana hapalannya?" Dengan santai ia akan menjawab ala kadarnya "Wakaranai… !" (Ngga tahu) Kalau akhirnya, laki-laki cilik tersebut menjadi seorang hafidz di usianya yang masih belia. Tentu betapa gembiranya saya, yang selalu bertemu dengannya di tangga masjid.
Saya membayangkan kedua orang tua laki-laki cilik tersebut. Melebihi saya, sudah tentu mereka memiliki kebanggaan dan kebahagiaan yang berlipat-lipat dari saya.Tinggal di Jepang, mencetak anak menjadi seorang penghapal Qur’an?
Tentu bukan perjuangan yang mudah. Di mana lingkungan kadang tidak mendukung, kendala menggunung dan rintangan menggulung.Belum lagi tarikan kuat teman-teman Jepang yang kadang mengalahkan niatan.
Selain lelaki cilik berkacamata yang saya kenal, ada juga beberapa anak usia belia lainnya yang kini tengah mengikuti program kelas hafidz hafidzah di masjid tersebut.
Kadang, ada perasaan kasihan melihat mereka yang masih belia, datang di sore menuju kelas hafidz Qur`an. Tentu mereka lelah, sedari pagi dan siang berada di sekolah umum Jepang, dan sorenya pergi ke kelas Qur`an di masjid. Perjalanan yang mereka tempuhpun tidaklah dekat. Turun naik bus ataupun kereta harus dijalani. Namun, tak ada sedikitpun keluhan yang pernah saya dengar dari mereka.
Di usia belia, sepertinya mereka menikmati "adventure" perjalanan menuju kelas Qur`an. Tetap ceria, penuh polah dan lincah berlari-lari. Bertemu dengan teman sebaya sesama muslim – bagi mereka yang tinggal di lingkungan Jepang non muslim- sepertinya menjadi sesuatu yang dinanti dan memiliki daya tarik tersendiri. Layaknya bertemu sahabat lama, mereka akan langsung saling bercerita dengan penuh semangat.
Bergugurlah konsep-konsep "kasihan" saya yang selama ini kadang tak sengaja muncul di benak. Batapa naifnya saya. Bukankah sebuah kebanggaan jika anak-anak tersebut nantinya yang akan menancapkan peradaban Islam Jepang?
Bukankah merupakan sebuah aset berharga jika nantinya banyak hafidz hafidz cilik menggaungkan kalimat Allah di negeri samurai? Untuk mewujudkan itu semua tidak akan mungkin bisa tanpa mengkondusifkan anak-anak dalam suasana qur`ani, bukan?
Saya teringat si kecil yang kini genap berusia 2 tahun? Akan saya jadikan apa si kecil yang menjadi amanah saya saat ini? Akan saya wariskan apa padanya untuk menapaki kehidupan? Akan saya hadiahkan apa padanya yang dapat membuatnya bahagia dunia akhirat? Mampukah saya mencetaknya menjadi generasi qurani? Menjadi barisan generasi hafidz di negeri samurai ini?
Betapa bahagianya jika suatu saat nanti si kecil mendapatkan hadiah berupa "Tajul Karamah." Hadiah dari Allah berupa "Mahkota Kemuliaan" yang diberikan bagi mereka para penghapal Al Qur`an.
Dan betapa bahagianya saya jika di akhirat kelak mendapatkan "Tajan min Nur." Hadiah berupa "Mahkota Bercahaya"yang cahayanya lebih gemerlap dari cahaya mataharibagi orang tua yang telah mencetak si buah hati menjadi generasi Qur`ani.
Subhanallah…. Betapa luar biasanya balasan yang disediakan oleh Allah Ta`ala. Saya percaya, setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan saya percaya tentu banyak orang tua yang menginginkan tajul karamah bagi si buah hati dan tajan min nur bagi dirinya. Menggiring diri, buah hati dan suami menuju jalan ke surga-Nya. Meski mungkin jalan untuk mewujudkan impian tersebut tidaklah semudah yang dipikirkan.
Terutama bagi keluarga muslim di negeri samurai khususnya, dan negeri minoritas secara umum, yang dimana lingkungan kadang tidak mendukung. Tapi saya lebih percaya jika niat membentuk generasi qurani sudah tertanam, Allah akan memudahkan segalanya. Faidza azamta fa tawakal alallah "Ketika sudah bertekad, bertawakallah kepada Allah" Suatu karunia paling berharga jika suatu saat negeri samurai akan penuh dengan tabuhan genderang, suara-suara indah para hafidz hafidzah dari negerinya sendiri.
Allahu Akbar! Barang siapa belajar Al-Qur’an, mengajarkan dan mengamalkannya, kelak akan dikenakan padanya mahkota yang bercahaya di hari kiamat. Sinarnya menyamai terang matahari dan kedua orang tuanya pun diberi dua pakaian yang tidak dapat dibandingi dengan gemerlap dunia.
Mereka berdua kemudian bertanya keheranan: “Karena amalan apakah kami berdua berhak diberi pakaian ini? lalu dikatakan: “Karena buah hati kalian telah belajar, mengajar dan mengamalkan Al-Qur’an” (HR. Al-Hakim)
Wallahu`alam bishowab
Sepenggal catatan aishliz et multiply.com