Tanpa bermaksud mengingkari syukur akan nikmat, pernahkah anda berpikir bahwa hidup itu serba salah? Salah satu contohnya adalah jika anda memiliki banyak tetangga yang usil, sementara anda tidak pernah ke luar rumah, tetangga anda bilang bahwa anda bukanlah sosok sosial, yang suka bergaul dan terlibat dengan berbagai kegiatan masyarakat. Mereka akan mengatakan demikian: “Jadi tetangga aja koq introvert. Tidak pernah keluar rumah. Emangnya merasa tinggal sendiri sudah cukup apa? Emangnya kalau mati nanti, bisa berangkat ke kuburan sendiri?”
Namun jika anda sering keluar, anda juga dikatakan sebagai orang yang tidak kerasan di rumah yang mementingkan kepentingan orang lain, jauh di atas kepentingan keluarga. Anda dikatakan sebagai orang yang tidak memperhatikan kebutuhan rumah tangganya sendiri. Mereka akan mengatakan:”Tuh…tetangga kita, lihat aja! Masak begitu seringnya dia keluar rumah sampai kita nggak merasa punya tetangga. Ngapain aja sih?”
Ironisnya, betapapun anda tergolong sebagai pribadi yang dinamis, kadang-kadang keluar atau kadang-kadang tidak, akan pula dikatakan sebagai orang yang plin-plan, tidak memiliki pendirian, karena tidak menentu kegiatannya. “Tuh lihat dia, dasar orang nggak punya pendirian. Kadang keluar, kadang tidak. Gimana sih? Sampai mau ngundang kenduri aja kita nggak bisa, lantaran kegiatannya nggak menentu”. Begitu kira-kira.
Gambaran kejadian di atas, kayaknya semua kita alami. Setidaknya saya merasakannya sendiri.
Di kantor, ada 15 orang staf. Masing-masing punya kendaraan. Tempat parkir di depan kantor kami, pokoknya padat. Bayangkan, satu orang satu mobil. Makanya jangan disalahkan polisi jika pada saat jam berangkat atau pulang kantor, yang namanya jalanan macet. Hanya saya sendiri di kantor yang tidak memiliki mobil.
Kalau alasan saya bahwa tidak membeli mobil berarti membantu pekerjaan polisi untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, kayaknya terlalu dibuat-buat. Atau, kalau alasan saya turut meringankan beban para pengemudi taksi gelap yang mencari penunjang hidup, juga dikira sok dermawan. Atau, jika saya katakan bahwa tidak memiliki mobil lantaran sejumlah komitmen finansial dengan kebutuhan di Indonesia sana, terlalu bertele-tele alasannya. Karena, pembantu kantor saja, di tempat kami, memiliki mobil. Sampai-sampai bos kami tidak ketinggalan, menanyakan kepada saya pekan lalu: "Why don’t you buy a car?" Sepertinya beliau pun bagian dari ‘Tim Mari Campuri Urusan Orang Lain’ di atas!
Parahnya, tanggapan yang sama tidak hanya terjadi di kantor. Naik taksi gelap pun (Ilegal), sang sopir juga bertanya kepada saya apakah punya surat ijin mengemudi (SIM) atau tidak, seolah-olah dia polisi yang sedang menanyakan apakah saya ber-SIM ketika nyetir mobil. Teman-teman di luar dinas, juga tidak kalah santernya dalam memberondong pertanyaan yang sama. Hampir dalam setiap kesempatan, dengan berbagai argument, ada saja pertanyaan sekitar kenapa tidak beli mobil.
Merasa ‘risih’ dengan bombardir pertanyaan di atas, saya akhirnya putuskan menanggapi (Baca: menuruti) dengan pelan-pelan. Pertama, mengikuti kursus mengemudi. Kursus ini butuh waktu tidak singkat. Sore, sesudah jam kerja. Bila musim dingin barangkali tidak masalah, tapi kalau panas waktu itu, rasanya gerah juga, sepulang kantor harus berangkat lagi ke tempat lain di bawah terik matahari.
Eh…sudah begitu, di tempat kursus mengemudi masih ada saja orang-orang ‘usil’, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, bertanya kepada saya: “Kenapa anda baru sekarang mengambil kursus?”
Lho…emangnya apa urusannya kursus mengemudi saya terlambat atau tidak dengan dia? Apalagi ketika saya gagal ujian pertama. Diberondong dengan segudang saran. Mestinya begini, mestinya begitu, dan lain-lain.
Saya cukup lama memang mengambil kursus tersebut. Apalagi di sela-selanya saya ambil cuti, yang membuat jadwal ulang ujian kedua jadi molor. Pada kali ini pun masih juga tidak sepi dengan komentar orang-orang kantor atau teman-teman. Kapan ujian mengemudi lagi? Seolah-olah kepeduliannya tinggi sekali terhadap saya.
Begitu lulus kursus mengemudi, pertanyaannya ganti. “Kapan beli mobil?” Wah…ini yang terberat. Emangnya beli kendaraan semudah beli kacang Garuda? Maklum, di kantor, yang namanya kendaraan, seperti ballpoint saja. Orang-orang sering gonta-ganti. Padahal, beberapa orang saya tahu, mereka pasti mengalami kesulitan ekonomi jika memaksakan kebutuhan di luar kemampuan, hanya karena menuruti ‘kehendak’ orang lain.
Sewaktu saya kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait, obrolan semacam ini seperti teh hangat dan biscuit di sore hari. Rasanya begitu dinikmati dan asyik sekali. Yang dibicarakan adalah bagaimana perawat-perawat India perempuan bersolek.
Perempuan-perempuan India yang rambutnya panjang, shampoo nya made in tradisional India, diulasi minyak kelapa, seperti 40 tahun lalu di antara orang-orang desa di Jawa. Mengetahui bau nya yang tidak seharum aroma Pantene atau Dove, pasti dibicarakan. Yang pelit kah, perhitungan, kurang gaul, dan sebagainya. Belum lagi jika mereka berangkat kerja mengenakan Sari dari bahan dasar murahan.
Perempuan-perempuan India yang tidak kuat ‘imannya’, kontan akan merubah gaya hidupnya. Mereka akan segera mengadopsi gaya hidup ‘moderen’ seperti teman-teman-temannya yang dari Filipina, Indonesia, hingga Amerika. Mereka akan membeli produk-produk kosmetika Barat. Mereka juga akan memulai meninggalkan makanan tradisionalnya yang beralaskan daun pisang. Mereka menikmati musik Barat, restoran Fast Food, serta berbagai pola hidup modern lainnya.
Perlahan namun pasti, jadilah mereka seperti orang-orang lain yang sering membicarakan mereka. Mereka tidak menjadi diri mereka sendiri. Hidup dan kehidupan mereka berubah 180 derajat karena orang lain.
“Saya malas datang menemui arisan!” Kata seorang teman kepada saya suatu hari mengomentari kegiatan arisan bulanan di antara orang-orang kita seprofesi. “Kenapa?” Saya tanya balik. “Habis, yang dibicarakan adalah orang-orang kita sendiri tentang berbagai isyu yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan kualitas profesi.” Jawabnya. Mereka, lanjutnya, menghitung kekurangan orang lain.
Contoh-contoh di atas hampir setiap saat terjadi pada diri kita. Mulai dari cara berpakaian, berjalan, hingga warna cat rumah kita. Semuanya dilakukan hanya untuk atau karena komentar orang lain.
Manusia memang beragam karakteristiknya. Karakteristik ini bukan hanya bawaan yang sudah demikian adanya. Tetapi bisa dibangun sekaligus dipengaruhi. Tidak terkecuali oleh lingkungan sosial di mana kita tinggal. Siapa bisa jamin bahwa jika kita bergaul dengan orang-orang yang suka memberikan komentar atau mengkritik orang lain, seperti virus, lantas kita tidak bisa tertular?
Sebaliknya, jika kita biasa membangun karakter bergaul dengan orang-orang yang memiliki kepribadian membangun, produktif, bukan kontradiktif, maka kita akan lambat laun menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik. Menjadi orang-orang yang memiliki jiwa besar, yang menyukai pemecahan masalah, bukannya mencari masalah. Yang menebar cinta dan kasih sayang, bukannya benci. Yang mau berpikir sepuluh detik sebelum menjatuhkan vonis kepada orang lain. Yang mau menempatkan dirinya sebagai contoh, bukan orang lain sebagai korban. Yang bersedia menawarkan bantuan kepada orang lain, bukannya bencana.
Kita hidup di tengah masyarakat. Memang ada saatnya di mana kita berpikir demi kepentingan bersama. Namun jangan pula mengabaikan kepentingan sendiri. Kita sadar bahwa ada tanggungjawab kolektif di antara kita sebagai makhluk sosial. Tapi tanggungjawab pribadi juga tidak benar jika begitu saja terlantarkan.
Kita harus sadar, bahwa orang lain bukan kita, dan kita pun bukan mereka. Jadi, mustahil bahwa orang lain lantas sama dengan kita. Bahwa privasi ini tidak lantas menjadi rahasia umum. Bahwa ada tuntutan atas diri ini untuk mengambil keputusan sepanjang tidak merugikan orang lain atau kepentingan bersama.
Oleh sebab itu, adalah tidak adil, jika kita terlalu dalam mengurusi kepentingan atau kebutuhan orang lain. Kalau kita suka warna biru, bukan berarti orang lain harus sama dengan selera kita. Biarlah orang lain menikmati sepak bola sementara kita senang tenis meja. Biarlah orang lain terbiasa makan singkong dan kita lebih menyukai nasi, sepanjang itu tidak membuat mereka kelaparan. Biarlah orang lain memanfaatkan hak-hak mereka sebagai individu, anggota profesi juga anggota masyarakat, sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan, keadilan dan agama.
Tidak di India, Cina, Amerika, Eropa, Afrika atau tidak pula di Indonesia. Kulit bisa saja beda warna. Bahasa bisa juga beda rasa. Makanan bisa beragam aroma. Namun yang namanya masalah, relatif sama. Kecenderungan suka membicarakan orang lain seolah-olah kepentingan kita sendiri, sepertinya tidak kenal batas waktu dan tempat.
Meski demikian, perlu dicatat, bahwa bukan tidak mungkin, karena pembicaraan orang lain kita bisa jadi dewasa serta matang. Bahkan orang-orang besar yang banyak dikritik, kebesarannya tercipta karena kritikan yang bertubi-tubi ini. Berapa juta orang yang mengritik kebesaran Soekarno, Soeharto, Kennedy hingga Mahatma Gandi yang terbunuh? Kritikan kadang memang berbuah, walaupun dampak negatifnya segudang.
Itulah hidup yang harus jalan terus. Betapapun kita tidak betah dengan segala gunjingan atau kritikan orang lain. Disadari atau tidak, sepertinya hidup kita ini memang untuk orang lain. Wallahu a’lam!
Doha 25 May 2009