Anda tahu penyakit gegar otak? Pasti tahu, minimal pernah mendengarnya karena cukup banyak orang yang pernah mengalaminya. Tetapi kalau kanker otak, kanker darah, TBC usus? Mungkin ada di antara kita yang baru mendengarnya kali ini. Ya, karena hanya ‘orang-orang pilihan’ saja yang diberi ‘kesempatan’ untuk ‘menikmatinya’. Dan seorang sahabat karib saya, Lin—begitu saya lebih suka menyapanya, adalah salah satu dari sedikit ‘orang pilihan’ yang menderita ketiga penyakit itu sekaligus.
Jujur saya tidak dapat membayangkan apa yang dia rasakan, tetapi perasaan saya dapat meraba bagaimana penderitaanya. Namun sikap ceria dan tegarnya yang selalu ia tampilkan di hadapan kami—sahabat-sahabat dekatnya, saat-saat kondisinya membaik, sesungguhnya itu yang ingin saya bagi dengan Anda kali ini. Bahkan saat ia terkapar di tempat tidur pun, ia masih sempat mengungkapkan keceriaannya pada kami lewat pesan singkat.
“Aku kena TBC usus. Keren ya namanya? He3. Tapi kok gak sengetop aku ya? Perlu dianalisa nih! Oya, aku turun 7 kg! Pantas klo jalan melayang-layang. But don’t worry! I’m gonna be OK! Sure! Insy4W! Coz I know God with me…”
Saya kadang hanya tersenyum simpul membaca sms-sms darinya. Kemudian me-reply-nya dengan kata-kata penyemangat. Tapi, nun jauh di lubuk hati, ada perasaan sendu mengiris rasa kemanusiaan saya. Dan mata saya memanas. Saya ingin menangis—semoga bukan sebuah ekspresi cengeng yang tidak pada tempatnya. Lin, kau masih sempat bercanda tentang apa yang menimpamu kini?
Ia terlahir sebagai bayi prematur dengan kekebalan tubuh sangat rentan. Saat bayi ia harus diinkubasi, bernafas dengan bantuan selang oksigen. Ia pernah koma berhari-hari, kehilangan nafas 7 jam, muntah darah dari hidung dan telinga hanya lantaran serangan demam berdarah. Beberapa kali harus operasi amandel karena radang tenggorokan akut. Satu matanya pernah hampir tidak dapat melihat lagi akibat suhu tubuhnya di atas suhu tubuh normal berhari-hari tidak turun-turun—thypus. Penyakit paru-paru, jantung, pernah juga ia derita. Pingsan? Jangan tanya berapa kali ia sudah berada dalam kondisi itu—terlalu sering.
Tetapi dialah Lin, salah satu sahabat terbaik kami, di saat-saat derita tak henti menggerogoti tubuhnya, ia masih ingat dengan kondisi saudara-saudara seiman yang ditimpa musibah. Jiwa kemanusiaannya sangat peka.
“Bagaimana aku makan, jika membayangkan saudara-saudara di pengungsian? Mereka sudah makan belum ya?”
Di lain waktu ia menulis, “Aku merasa seperti penjahat. Di luar sana banyak saudara yang kena musibah, kenapa aku malah tiduran! Aduuh, aku pengin ke Palestin, Libanon, Pangandaran. Pasti keren. Kapan aku bisa ke sana?”
Untuk sms-nya yang satu ini, saya membalasnya dengan sebuah pertanyaan retoris. Berharap ia menyadari posisinya yang mustahil untuk melakukan semua itu. Meskipun saya tahu pasti, apa yang ia ucapkan sepenuhnya ia sadari tidak akan pernah bisa ia lakukan. Tetapi semata wujud dari kecintaannya kepada sesama yang mendalam. Bukti ketulusan hatinya ingin menolong orang lain yang menderita—meskipun sesungguhnya ia sendiri sangat boleh jadi lebih menderita dari orang-orang yang dikasihaninya itu.
“Seorang buta memaksakan diri berburu ke hutan berbekal sepucuk pistol. Lama ia menunggu di balik belukar hingga telinganya menangkap suara semak berderak-derak tak jauh darinya. Ia yakin, rusa muda yang dinantinya. Dengan naluri, ia membidik: sebuah letusan, sebuah lenguhan pendek. Ia bersorak girang. Tak jauh darinya, sesosok anak manusia tanpa nyawa. Do you know why?” tulis saya coba lebih menenangkannya.
#
Di sela jeda sakitnya, ia juga sempat bercerita. “Aku lihat film sangat bagus. Pemuda yang dilahirkan beda dengan orang lain. Tidak bisa terkena cahaya apapun—apalagi cahaya matahari. Dia hanya bisa hidup tiga hari jika terkena cahaya. Karena kulitya akan terkelupas dan kemudian akan mati mengenaskan. Semua dokter di dunia tidak tahu obatnya. Dia hidup dalam kegelapan. Jendela rumahnya saja berlapis tiga. Takut ada cahaya masuk. Setelah dewasa ia sadar, karena dirinya orang tuanya ikut terbiasa dalam kegelapan. Dia merasa bersalah. Tapi ia juga ingin tahu dunia luar. Akhirnya pemuda itu memutuskan untuk hidup tiga hari dan merasakan hidup yang sesungguhnya. Awalnya orang tuanya tidak setuju. Tapi melihat anaknya bahagia hidup seperti anak lain; melihat laut, keramaian orang, berteman, jatuh cinta, berkelahi, akhirnya mereka setuju juga. Tiga hari berlalu, waktunya tiba. Pemuda itu pun mati dengan bahagia telah melihat dunia.”
Saya tersenyum miris membacanya. Tidakkah cerita itu ditujukan khusus untuk dirinya sendiri dan bukan untuk saya?
Ah, Lin, mahasiswi semester 7 sebuah PTN berjilbab rapi dengan IPK cum laude itu ternyata hanyalah manusia biasa. Belakangan ia pernah mengeluh “bosan” dengan hari-harinya yang tak lepas dari sakit yang silih berganti menghampiri dan ketergantungan pada obat yang harus ‘dinikmati’-nya setiap 4 jam sekali. Tapi aku sangat yakin, Allah sangat sayang padaku. Jika tidak, mana mungkin Allah akan memberiku kesempatan hidup dengan kondisi kesehatan seperti saat ini? Begitu hampir selalu di akhir keluhan yang terlontar dari bibirnya.
#
Aku ingin hidup lama. Terlalu serakahkah aku jika aku berharap untuk hidup? Jika memang harus mati cepat, aku sangat ingin jadi rumput di surga nanti. Bisa tidak ya? Aku tidak mungkin jadi bidadari. Aku cuma mau jadi rumput…
Tetapi tahukah Anda, sejak hampir sepekan lalu Lin sedang menjalani perawatan intensif di Queen Elizabeth Hospital, Singapore, setelah komplikasi penyakitnya kembali kambuh. Mari kita sama-sama menengadahkan tangan sejenak, memohon kepada-Nya semoga Allah memberikan keputusan terbaiknya untuk salah seorang sahabat yang telah banyak mengajari saya—juga Anda, tentang perjuangan menikmati hidup dalam belitan penyakit yang belum pernah kita derita itu.
Jangan, cukup aku saja yang mengalaminya, katanya pada saya suatu ketika.
#
Yogyakarta, 17 Januari 2007 @ 14:21:37 Teriring do’a tulus kami untukmu, Lin.
[email protected]
Itulah salah satu sms terakhir darinya yang masuk ke hp saya beberapa waktu lalu yang membuat mata saya mengembun seketika. Tidak, kau sangat layak menjadi bidadari di surga kelak, Lin, insya Allah.