Di suatu pagi, saya terhenyak membaca berita penganiayaan balita oleh pengasuhnya, yang diketahui orangtua si balita lewat kamera CCTV yang dipasang di ruang keluarga tanpa sepengetahuan si pengasuh. Dada si balita memar membiru akibat diinjak-injak oleh pengasuhnya gara-gara si anak menolak ketika disuruh makan. Astaghfirullah, tanpa sadar saya ber-istighfar membaca berita miris itu. Alangkah menyedihkan nasib anak-anak itu !
Ceritanya, sepasang orangtua mempunyai dua orang anak balita yang belum bersekolah. Ketika suami istri tersebut bekerja, kedua buah hatinya dititipkan pada pengasuh, dari pagi hingga pulang ke rumah sesudah magrib. Nah, si pengasuh yang kelihatan baik dan sopan di depan majikan, berubah menjadi ‘monster’ yang mengerikan bagi kedua balita tersebut ketika kedua orang tuanya tidak ada di rumah.
Dewasa ini, memang sudah lumrah kita jumpai para ibu bekerja di luar rumah. Ada yang memang membantu suami mencari nafkah, namun tidak sedikit pula yang bekerja hanya karena tuntutan batin atau malah hanya sekedar ‘life style’.
Tidak jarang ada keluarga yg hanya bertemu ketika sarapan pagi saja, karena ketika ayah-ibu pulang, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi.
Akibat langkanya waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan orangtuanya, tak jarang ada anak-anak yang malah lebih senang ‘curhat’ masalahnya pada pembantu di rumah daripada curhat kepada orangtuanya. Pada remaja, kurangnya perhatian orangtua terkadang membuat mereka mencari pelampiasan dengan cara-cara yang riskan, seperti kebut-kebutan, dugem, hingga terjebak dalam pergaulan bebas, dunia premanisme, geng motor, hingga narkoba, seperti yang banyak kita dengar di media massa akhir-akhir ini.
Berbagai kenakalan anak dan remaja terjadi setiap hari, jika ditelusuri hingga ke akar, terjadi akibat kesenjangan komunikasi antara anak dan orangtuanya. Jika pun ada komunikasi, tak lebih hanya basa-basi yang ‘nggak penting’ semisal "sudah makan?" —yang dijawab oleh si anak "sudah", terus "bagaimana di sekolah tadi?" —yang dijawab si anak "baik-baik aja"… dan pertanyaan-pertanyaan ‘alakadar’ lainnya. Diperparah lagi, terkadang ada orangtua yang menganggap dengan menghujani anak dengan fasilitas-fasilitas ‘wah’ dan uang jajan melimpah, maka tugasnya selesai, karena si anak dianggap sudah pasti happy.
***
Renungan: Dalam tuntunan Islam, tugas utama mencari nafkah ada di pundak para suami. Namun tidak ada larangan bagi isteri untuk berkarir, sepanjang dilakukan dengan niat yang barsih, Lillaahi Ta’ala….
Malahan dalam beberapa hal, ibu yang berkarir di luar rumah —misalnya guru, justeru menjadi kebanggaan anak-anaknya, ditambah lagi wawasannya yang luas, sehingga si anak merasa ibunyalah tempat bertanya untuk segala rasa ingin tahunya.
So what?! Saya baca di sebuah jawaban rubrik psikologi, kuncinya adalah ‘Keseimbangan’. Ya, keseimbangan antara keduanya, karir dan keluarga.
Pikirkan jawaban pertanyaan berikut.
Kalau diumpamakan, KARIR dan KELUARGA adalah BOLA, maka KARIR adalah BOLA KARET, sementara KELUARGA anda adalah BOLA KACA. Jika bola karet anda jatuh, ia akan mudah memantul kembali. Sebaliknya dengan bola kaca jika jatuh, ia akan retak, atau malah hancur berkeping-keping, yang jika anda coba rekatkan kembali dengan lem kualitas terbaik sekalipun, bekasnya akan tetap ada… selamanya…!