Ramadhan telah menjelang, harmoni religius itu tetap syahdu, meski aku berada di negara minoritas muslim.Ingatanku tiba-tiba melayang ke masa kecil.Dua puluh tiga tahun sudah kisah itu berlalu, namun terukir jelas di memori kanak kanak ku, hingga saat ini.Kepolosan jiwa yang menjalani Ramadhan.Kesederhanaan yang teramalkan dengan ketulusan.
Dulu di kampungku kegiatan rokhis belum begitu marak, bahkan untuk musholla kecil saja kami tak punya, meski sebenarnya banyak warga muslim yang cukup mampu, entah kenapa belum ada kesadaran untuk itu.Tentang sosok guru mengaji yang para mahasiswa perantauan, yang dengan telaten mendirikan syiar Islam di kampungku.Mereka merelakan kamar kos mereka untuk kegiatan mengaji dan terkadang sholat berjamaah.Karena tempat kost mereka yang memang dekat dengan lapangan tempat anak-anak biasa bermain, mungkin itu adalah jalan dakwah mereka dengan mengajak kami bermain dan selalu membuat kami tertarik dengan hal-hal baru yang mereka ceritakan.
Pada saat Ramadhan, kehadiran guru ngaji kamilah yang pertama kali mengusulkan untuk mengadakan sholat tarawih di lapangan, sehingga tak perlu menempuh perjalanan cukup jauh untuk ke masjid terdekat.Di samping itu untuk lebih menancapkan din Islam di kampung kami.Kegiatan mengaji di bulan Ramadhan tetap berlangsung dengan lancar, bahkan kami mempunyai tugas khusus karena ikut andil dalam menyiapkan tempat tarawih yang letaknya memang bersebelahan dengan tempat mengaji.
Pada saat malam seribu bulan Lailatul Qadar, kami itikaf di lapangan tersebut, beratap kan langit yang bersih bertaburkan bintang.Diiringi lantunan ayat-ayat surga dan dongeng tentang keluarga miskin Laila yang menyambut malam Lailatul Qadar di halaman rumah mereka.Halaman rumah Laila di negeri seribu satu malam sana seolah berpindah di lapangan kami.
Diceritakan saat itu pada tengah malam Lailatul Qadar, ketujuh lapis langit membelah dan dinampakkan surga bagi keluarga Laila, sebagai balasan ketulusan doa dan ibadah mereka.Secara spontan kamipun menengadah ke atas, dan tentu saja tak ada perubahan dilangit.Meski tetap mempesona dengan taburan bintang.Kemudian salah satu temanku bertanya dengan suara celatnya.
‘Mas Wahid, kok langit sini tidak bisa membelah ya?’
‘Ya, mungkin karena kita masih kurang ibadah, pengamalan, juga do’a-do’a kita yang tak setulus keluarga Laila’.
Beberapa ayat Qur’an dan hadist yang menggambarkan keutamaan dan keajaiban yang mungkin akan terjadi pada malam itu, belum pernah kami dengar.Bila pada saat itu dijelaskan pada kamipun belum tentu bisa kami pahami.Namun sebuah cerita yang sederhana tentang keluarga Laila, begitu terpatri dijiwa kami yang lugu, sebagai pemicu untuk mengisi malam tersebut dengan amal ibadah dan ketulusan yang lebih dari biasanya.Untuk berlomba mendapatkan Lailatul Qadar.
Mungkin kita perlu belajar banyak dari sebuah kesederhanaan, yang telah dalam disimpan dalam memori masa kecil.Menggambarkan sosok para Guru Ngaji kami, tak ada panggilan khusus.Dan mereka juga tidak pernah menuntut panggilan khusus tersebut.Bahkan kami terbiasa memanggil ‘mas’.Bermain dan bercanda dengan mereka sudah bagian dari kehidupan kami.Dalam keseharian pun tak menampakkan tanda sebagai Guru Ngaji, kaos oblong dan jeans, tak ada peci ataupun baju koko.Rupiah pun tak pernah mereka minta sebagai imbalan ilmu yang mereka bagi.Ketika mereka pulang kampung bahkan masih menyisakan oleh-oleh buat kami.
Pada saat hapalan surat, bagi yang hapalannya baik ada hadiah, meski sekedar sebiji permen, yang membuat kami senang bukan main.Bila kami mengikuti lomba ngaji ke masjid kampung sebelah, atau masjid kampus mereka, mereka juga tombok untuk logistik dan tranportasinya.Mereka hanya menerima masakan ibu-ibu kami, bila ada rejeki lebih sehingga bisa memasak menu lebih dari hari biasa, yang kemudian kami antar ke tempat kost mereka.
Langkah cermin dari hati, amal cermin dari Iman.Bagi yang berilmu dan menunaikannya di jalan Allah, Allah memang telah berjanji untuk meninggikan derajatnya, tanpa diminta.Mungkin itulah yang benar-benar aku kagumi dari para Guru Ngajiku, apalagi di zaman sekarang ini.Ketika duniawi dan apa yang kasat mata lebih bernilai.
Kuteringat seorang teman dan kerabat yang tiap tahun membeli mukena baru untuk mempersiapkan sholat Idul Fitri, dengan nominal ratusan ribu, belum termasuk atribut lainnya.Baju baru, jilbab, sandal.Dan setelah Hari Raya, mukena itu hanya tersimpan rapi di dalam lemari yang kemudian jarang tersentuh.Sesingkat itukah dalam kesungguhan menjalankan amalan Allah?
Dan dengan atau tanpa semua itu apakah bisa menambah atau mengurangi pengamalan dan derajat keimanan kita disisi Allah?Kalau memang demikian alangkah malangnya para duafa yang tak bisa membeli baju baru dan mukena baru tiap lebaran.Namun Alhamdulillah Allah memang Maha Adil, semua hambanya adalah sama dan hanya ketulusan pengamalan yang dinilai.
Dalam bulan Ramadhan sudah bersihkah hati kita dalam menyambutnya?Sudahkah kita pasang target agar bisa lebih baik dari pengamalan tahun lalu?Menyempitkan duniawi demi mendapat kelonggaran di akhirat kelak.Berlomba dalam pengamalan, pengampunan dan keikhlasan niat.Selamat menyambut dan menikmati bulan suci, bulan yang telah ditunggu para pecintaNya demi mendapat nikmat surgawi.Marhaban ya Ramadhan
Wallahualamu Bishawab
(Buat Mas Wahid dan kawan-kawan di Temanggung, yang dulu kuliah di ASKI Solo, salam takzimku buatmu Guruku, mewakili teman-teman kecilmu di kampung Mondokan Jebres Solo)