Sahabat saya sedang gelisah. Dia, lelaki berumur 29 tahun. Apalagi kalau bukan gelisah dalam persoalan cinta. Tepatnya adalah soal mendapatkan ibu buat anak-anaknya kelak. Sebagai seorang kawan, saya merasakan juga bagaimana ketika menjadi dia.
Walaupun mungkin belum bisa memberikan solusi atas apa yang dia rasakan saat ini, tetapi setidaknya berusaha menjadi pendengar yang baik ketika dia bercerita tentang kegelisahan yang dia rasakan. Sebuah kelisahan yang wajar terasakan karena memang dia telah cukup umur untuk menikah.
Apalagi, dia sudah bekerja di sebuah perusahaan pemerintah dalam bidang pelayanan surat menyurat, pegawai kantor pos. Dalam pengamatan saya selama bergaul dengannya, dia lelaki yang baik, lelaki yang sholeh. Orangnya pendiam, tak banyak bicara walau sesekali suka becanda. Penampilannya sopan, tidak neka neko. Seorang lelaki berkacamata yang selepas kerja, ketika sore hari, menjadi pengajar ngaji bagi anak-anak di kampungnya.
Perkenalan saya dengannya pun tak biasa. Kami kenal sekira dua tahun yang lalu melalui internet. Maklum sesama blogger (penulis jurnal pribadi online). Dia beberapa kali menyapa saya lewat instan mesenger. Yah… bicara ngalor ngidul seputar dunia blogging. Berawal dari itu kami kenalan.
Kami mencintai dunia yang sama, dunia tulis menulis. Hingga kemudian sama-sama menjadi salah satu pegiat dalam kepengurusan cabang organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia yang pada tanggal 22 Februari akan mengadakan miladnya yang ke-10. Ketika ada ada pertemuan di organisasi itu, kerap kegelisahan-kegelisahan itu muncul, selepas membicarakan seputar kepenulisan biasanya berlanjut ke intermezo, salah satunya ya persoalan cinta sahabat saya itu.
Memang sih gejolak dan gelisah cinta itu mudah penyelesaiannya.
Niat besar untuk menikah, taaruf (kenalan), kitbah (lamar) dan nikah. Beres.
Persoalannya, siapakah calonnya…?
Tentang siapakah calonnya ini yang sampai saat ini masih menjadi pikirannya. Bagi para lelaki aktivis dakwah kampus, tentu tak perlu repot ketika harus menikah. Banyak akhwat (sebutan untuk aktivis putri) yang siap untuk dinikahi, akses untuk mendapatkan calon pun mudah sekali.
Lain dengan yang dihadapi oleh teman saya ini. Harus berjuang sendiri untuk mendapatkan partner (seorang isteri) untuk membersamainya dalam kehidupannya kelak.
Mulai menjajaki teman-teman seputar kerjanya, sampai terkesan pada seseorang yang kebetulan sedang dilayaninya ketika mengirimkan sebuah surat. Di sinilah awal mulanya dia terkesan dengan “Si Dia”.
Katanya, dia seorang muslimah yang baik, malu-malu ketika disapa, dan tak mau memandang mata teman saya itu. “ Ini jodoh saya”. Begitu pikir kawan saya. Tetapi, selepas pulang dari kantor pos, teman saya tak mendapatkan akses lagi tentang gadis yang membuatnya terkesan itu.
Dan, kegelisahan itu datang lagi….
Sampai suatu ketika, kawan saya itu bertemu lagi dengan “SI Dia” dalam sebuah even Islamic book fair di kota kami. “Mas, dia mas, itu yang ane ceritakan dulu”. Begitu katanya sambil menunjuk seorang gadis yang sedang sibuk melihat-lihat buku. “ Kenal nggak..?”.
Dia agak kecewa karena saya menggeleng tanda tak tahu siapa gadis itu. Jujur, ketika sepintas saya melihat gadis itu, dia memang terlihat cantik dengan jilbab lebarnya. Untuk memecah suasana, saya becanda saja sama teman saya itu “ Wah mas, kalau ane tahu, mendingan buat ane aja dech”.
Dan, kami terkekeh bersama. Selepas itu, saya cuek karena tak ada perasaan lebih, tapi teman saya tampaknya bertambah gelisah. Tampak ketika pulang naik motor, ketika saya tanya, dia hanya senyum-senyum sendiri dalam lamunan sampai saya timpuk bahunya dia baru sadar.
Kini, dia masih mencari tahu siapa “SI Dia” Itu.
Sementara, sebagai seorang kawan, ketika dia juga menuliskan kegelisahannya dalam sebuah blog pribadinya, saya hanya bisa menyarankan untuk membaca sebuah novel karya Habiburrahman El- Sirazy, judulnya “Pudarnya Pesona Cleopatra”.
Di sana, ketika seorang lelaki membacanya, dan bisa memetik pesan yang ada di dalamnya, tentu akan berhati-hati dengan yang namanya kecantikan seorang wanita.
Seorang lelaki wajar ketika terkesan dengan seorang wanita yang cantik. Tapi, masih ada pertimbangan lain yang lebih penting, yaitu kualitas agamanya. Kecantikan fisik semata akan pudar di telan waktu, tapi ketulusan cinta atas dasar pemahaman akan agama yang cukup, itulah yang membuat sepasang kekasih bisa langgeng.
Sanggar Pelangi, Untuk “HAF”, percayalah bahwa
kecantikan bukanlah segalanya