Entah siapa namanya, aku tidak bertanya. Tapi dia terlihat berdiri dari tadi di depan masjid. Wajahnya tidak seperti orang Jepang. Aku pikir ia orang Turki.
“ Maaf, ada Mr. Harun di dalam ? “ tanyanya padaku. Walaupun ia mencoba ramah, tapi ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Aku berlari ke dalam mencari Mr. Harun yang di maksud.
“ Tidak ada Mr. Harun,” kataku. Ia terlihat sangat gelisah seakan ingin aku mencari dengan lebih seksama. Aku menurutinya. Namun keluar dengan jawaban yang sama. Mr. Harun, orang Pakistan yang ia cari tidak ada. Aku menyuruhnya menunggu di dalam namun ia menggeleng.
Dengan gelisah dan hampir menangis ia berkata, “…baiklah kalau begitu, aku akan tunggu disini sampai Mr. Harun datang. Aku tetap akan menunggu disini sampai bertemu dengannya.”
Ada yang tidak beres dengannya, pikirku. Aku kedalam masjid dan menceritakan tentang lelaki tadi pada seorang sister.
Alhamdulillah, sister yang lembut perasaannya itu menghubungi istri mr. Harun melaporkan keadaanya. Dan alhamdulillah Mr. Harun akan datang.
Lalu sister yang lembut perasaannya itu keluar menemui lelaki tadi. Agak lama ia berbicara.
Saat sister itu kembali, ia mengatakan bahwa lelaki yang belum menjadi muslim itu ibunya adalah seorang Norwegia dan ayahnya orang Jepang. Ibu bapaknya tak percaya Tuhan. Tapi ia percaya Tuhan.
“ Saya orang jahat…, tapi saya percaya Tuhan…” ujarnya lirih.
Dan kini ia sedang berada dalam kegelisahan dan kesedihan yang sangat. Saat ini seakan tiada tempat yang ia inginkan kecuali bersama Tuhannnya. Dan kini ia sedang menunggu satu satunya orang tempat curahan hatinya, Mr. Harun
Jam menunjukan pukul setengah lima sore. Aku harus bergegas pulang. Saat aku dan sahabat lainnya bersiap akan pulang di depan, ia menyapaku dan meminta maaf atas sikapnya saat ini yang tidak bisa tersenyum ramah.
“… Tapi saat ini saya gelisah sekali, sayapun tak tau kenapa, saya tidak bisa mengontrol perasaan ini. Perasaan sedih, gelisah , benci pada semua orang disekitar saya, saya sangat tersiksa dan saya tidak tau mengapa ini bisa terjadi. Yang saya tau saat ini saya harus berdo’a pada Tuhan. “
Dengan wajah yang gelisah, yang hampir menangis, ia menceritakan kelelahan hatinya. Aku dan sister memutuskan untuk menemaninya sampai ia bertemu Mr, Harun. Ia, seorang pencari Tuhan yang terdampar di masjid ini, berharap menemukan yang dicarinya.
“… Saya baru kehilangan pekerjaan. Sebentar lagi liburan panjang, dan orang orang akan tersenyum senang dengan liburan Golden Week mereka. Sedangkan saat ini saya dalam keadaan tidak kerja, tidak punya tempat tinggal, homeless, dan terpuruk dalam kesedihan dan kegelisahan. Saya akan merasa sangat tersiksa menyaksikan kegembiraan orang orang nanti.”
“ Raga saya berat untuk mengerjakan kebaikan. Saya kehilangan semangat untuk apapun. Dalam hati saya seperti ada sebuah batu besar yang hitam sekali. Hati ini berat sekali. Saya lelah sekali. Lelah untuk membawa hati ini. Lelah untuk membenci orang-orang disekitar saya. Lelah dengan kebencian ini. Lelah untuk kegelisahan ini. Hati saya letih. Tapi Tuhan akan menolongkan yah ?”
Tanyanya berkali- kali dijujung kalimatnya untuk memastikan, ingin di yakinkan , ingin di kuatkan. Nafasnya yang tidak sedap dan tidak teratur, tangannya yang gemetar sibuk bercerita. Suaranya yang bercampur lelah jiwa dan raga dengan perut kosongnya yang tak disi entah sejak kapan. Sejak menjadi gelandangan ia tidur di mana saja. Entah di taman, di stasiun atau di bawah jembatan.
Jauh dilubuk hati ini, ada kesedihan yang mendalam. Entah apa yang saya rasakan saat mendengarnya, saat melihatnya.
Apakah ia sebuah jiwa yang cukup berharga untuk di tolong ?
Bolehkan saya pergi saja membiarkan dia disini sendiri ?
Teringat saat Ibnu maktum r.a yang buta datang menemui yang tercinta Rasulullah S.A.W dan memotong pembicaraan beliau dengan para pemuka Quraisy. Rasulullah S.A.W begitu mengharapkan para tokoh-tokoh Quraisy itu menyambut seruannya untuk masuk Islam. Karena beliau membayangkan akan banyak orang Qurais yang masuk Islam apabila para pemimpinnya masuk Islam. Rasullulah merasa terusik dengan kehadiran Ibnu Ummi Maktum. Perasaan tidak nyaman itu terlukis di mukanya yang putih berseri. Secara spontan Rasulullah berpaling dari Ibnu Ummi Maktum, dengan bermasam muka. Tapi setelah beliau kembali seorang diri, hati kecilnya menjadi resah dan beribu pertanyaan memenuhi benaknya: Salahkah perbuatanku tadi???
Tiba-tiba Allah pun menegur kekasih-Nya :
"Bermasam dan membuang muka ia. Tatkala si buta mendatanginya. Dan apa yang memberitahukan kau, ba¬rangkali ia orang yang bersih? Atau ia dapat menerima teguran dan teguran itu berguna baginya. Tapi kepada or¬ang yang serba cukup itu. Engkau menghadapkan diri. Padahal itu bukan urusanmu kalau dia tidak bersih hati. Tetapi orang yang bersungguh-sungguh datang. Dengan rasa penuh takut. Kau abaikan dia. Tidak. Itu adalah sebuah peringatan. Barangsiapa yang sudi, biarlah memperhatikan peri¬ngatan itu. Dalam kitab-kitab yang dimuliakan. Dijunjung tinggi dan di¬sucikan. Yang ditulis dengan tangan. Orang-orang terhormat, orang-orang yang bersih." ( Abasa 1-16).
Lelaki yang berdiri didepanku yang bercerita dengan nafas yang tersenggal senggal ini juga adalah sebuah jiwa, yang berharga , yang harus diselamatkan sekuat tenaga.
Langit di sore itu makin haru membiru. Seiring detik waktu yang berjalan cepat. Terkadang angin musim semi semilir berhembus. Aku harap aku menemukan suatu kata yang dapat menentramkan ia. Jiwa yang gelisah.
“….Allah menyayangimu. Buktinya adalah sekarang kamu ada disini, didepan masjid ini. Walaupun kamu merasa bukan sebagai orang yang baik dan selalu mengerjakan keburukan-keburukan, tapi sesungguhnya entah kau sadari atau tidak, pastinya ada suatu ruangan penuh dengan kasih di dalam hatimu. Sehingga Allah menunjukan jalan kesini, ke masjid ini. Sekarang kamu ada disini, didepan masjid ini. Kamu tau apa artinya itu ? Itu artinya Allah menyayangimu. Allah memanggilmu. Jadi jangan berhenti. Teruslah berusaha untuk mendapatkan hidayahNya. Datanglah sesering mungkin sampai kau dapatkan hidayahNya. Jangan menyerah. Jangan kau lari kemanapun kecuali ke masjid ini saat hatimu gundah. Bertahanlah. Saat kau dapatkan kedamaian itu, kau tak akan mau menukarnya dengan apapun. Karena harganya seluas langit dan bumi. Saat itu kau akan berterimakasih padaNya telah memberikan kegelisahan ini sehingga kau mendekat pada Nya. Percayalah, kau akan mendapatkannya kalau kau berusaha, karena dulu akupun mengalami hal yang sama, ” kataku meyakinkannya. “ Gambatte… ( berusahalah sekuat mungkin).”
Alhamdulillah, Mr. Harun telah datang. Semoga lekaki lelah itu cukup terisi dengan percakapan kami tadi. Aku dan sister berhati selembut sutra melangkahkan kaki meninggalkan masjid.
Sore itu di musim semi membuat kami berdua termenung. Hati kami seakan mengatakan hal yang sama.
Setiap hari sekitar 300 orang melakukan bunuh diri di Jepang. Entah melompat ke rel kereta, ataupun dengan cara lainnya. Alasan mereka sama, putus asa . Putus asa dari rahmat Allah, Tuhan yang tak pernah mereka kenal. Entah kehilangan pekerjaan, ataupun tak puas dengan dirinya.
Semoga saat ia dilanda gelisah, tak ada tempat yang ia datangi kecuali rumah Sang Pemilik Rahmat.
Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang. Hanya bila Ia ingin nyatakan cinta, rasanya seperti tertusuk duri-duri belati. Namun janji-Nya selalu pasti.
Bersabarlah…, karena orang yang bersabar dan ikhlas berserah diri akan memenangkan cinta Nya.
Tiada yang bisa kami lakukan selain do’a. Semoga Allah membukakan pintu rahmat-Nya pada lelaki itu, lelaki lelah di depan masjid.
www.zusa14.com
Sumber kisah Ibnu Maktum :
1.(Sumber : MUSLIMAH, No. 29 / Thn III / Desember/2004)
2. www.salamaablogspot.com