Saya pernah mendapatkan penjelasan tentang asal muasal kata “lebaran.” Meski belum bisa menjamin ketepatan asal kata itu, tetapi boleh juga disimak. “Lebaran” menurut asal katanya adalah ‘lebar’ yang artinya luas, sehingga lebaran bisa diartikan ‘melebarkan’ atau ‘meluaskan’. Makna kata ‘melebarkan’ adalah memperlebar persaudaraan dengan menyambung dan menjaga silaturahim. Entah sudah berapa ratus tahun kata ‘lebaran’ ini digunakan masyarakat Indonesia untuk menyebut hari raya Idul Fitri, dan nyatanya seringkali lebaran dijadikan moment terbaik untuk menyambung dan menjaga silaturahim.
Silaturahim pun diwujudkan dalam beragam cara dan bentuk. Mulai dari saling berkirim SMS (pesan singkat) berisi ucapan selamat hari raya dan mohon maaf lahir batin, hingga perjuangan tanpa kenal lelah menuju kampung halaman atau yang biasa disebut mudik.
Sepuluh tahun silam, saat telepon seluler masih menjadi barang lux dan langka. Kartu lebaran begitu booming dan menjadi penyambung silaturahim antar saudara, sahabat, kerabat bahkan sesama relabis bisnis serta mitra kerja. Memang tradisi kartu lebaran belum hilang sampai tahun ini, namun tidak seramai tahun-tahun sebelumnya karena telah tergantikan oleh pesan singkat melalui telepon seluler.
Penggunaan pesan singkat pun mengalami beberapa perubahan. Mulai dari hanya rangkaian kata, di tahun berikutnya sudah bisa ditambahi animasi. Tahun berganti foto dan gambar yang lebih hidup pun bisa terkirim dengan mudah melalui fasilitas MMS. Bahkan sekarang, jarak terasa semakin dekat dengan fasilitas 3G.
Sebagai pelengkap dari silaturahim, parsel pun menjadi pilihan utama. Jika dulu buah tangan masih berbentuk rantang berisi ketupat beserta sayurnya plus rendang atau opor ayam. Kali ini bingkisan parsel kerap menghiasi ruang tamu sebagian orang. Ini salah satu bentuk kebaikan yang tidak boleh hilang, yakni saling memberi hadiah sebagai salah satu cara pencair kebekuan dan peluntur kekakuan sikap.
Yang menarik, coba perhatikan cara berbagai orang bersilaturahim mengunjungi sanak famili, kerabat, saudara atau sahabat. Satu hari menjelang lebaran, bengkel-bengkel motor dan mobil penuh antrian. Tentu saja ini bagian dari persiapan bersilaturahim, agar perjalanan tidak terganggu oleh ulah kendaraan yang tidak diinginkan. Coba lihat sepanjang jalan selama lebaran, mulai dari hari pertama hingga hari ke enam. Mobil bak terbuka (pick up) disulap menjadi mobil angkutan, dipasangi terpal. Mobil box yang biasa untuk mengangkut barang pun dipakai untuk mengangkut anggota keluarga, tinggal pintu box-nya dibuka agar tidak pengap. Begitu juga dengan truk ukuran kecil yang mengangkut lebih banyak orang untuk beranjangsana ke sanak famili yang jauh.
Tidak peduli bedak harus luntur oleh keringat yang mengucur lantara terjemur terik matahari atau oleh pengapnya udara dalam mobil box. Tidak peduli aroma harum parfum pilihan berganti aroma tak sedap setelah berjam-jam di dalam truk yang belum sepenuhnya bersih. Bahkan mereka pun tidak menghiraukan baju lebarannya kotor dan lusuh berhimpitan serta turun naik dari pick up dan truk. Terpenting dari itu semua adalah, silaturahim tetap terjaga. Dalam hal ini, saya tidak sedang berbicara tentang orang-orang yang punya kendaraan bagus, baik roda dua maupun empat. Buat kelompok yang satu ini, mungkin silaturahim hanya mengalami sedikit perjuangan.
Nah, satu hal yang takkan tergantikan hingga kapanpun yakni tradisi mudik. Belasan jam berdiri di kereta, belasan jam berpeluh di dalam bis, belasan jam menahan kantuk, lelah, kesal dalam kemacetan di sepanjang perjalanan. Belum lagi kemungkinan mendapat perlakuan kasar, tidak senonoh, kecopetan, penipuan rela dijalani demi sebuah semangat silaturahim.
Kendaraan yang sebelumnya tidak layak jalan pun dipaksakan jalan, kendaraan roda dua ditumpangi empat orang, ditambah segunung tas dan oleh-oleh dari kota. Bajaj, becak, sepeda, truk pun jadi, tidak peduli seberapa besar lelah yang akan ditanggung. Namun semuanya akan sirna begitu tiba di kampung bertemu dengan orangtua, keluarga, saudara dan sahabat di kampung.
Luar biasa, silaturahim seperti sebuah magnet besar yang mampu membuat setiap orang mau melakukan apapun untuk menjalaninya. Coba hitung, berapa banyak jumlah pemudik yang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya? Insya Allah mereka sudah mendapatkan pahala bersilaturahim, meskipun mereka tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang dituju. Subhanallah (gaw)