Lakukan Yang Seharusnya Dilakukan

Oleh: Abi Sabila

Roda-roda kereta baru berputar puluhan kali meninggalkan stasiun ketika tiba-tiba Fulan menepuk dahi.
“Apa yang tertinggal?” Aku bertanya spontan.

“Buku!”

“Buku kuliahmu?”

Fulan mengangguk, menyeringai, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Bila mataku melebar, sungguh bukan karena aku marah, tapi karena kekhawatiranku menjadi kenyataan. Meski sudah direncanakan jauh-jauh hari, ternyata Fulan lupa membawa buku kuliahnya. Celakanya, hanya dengan buku tersebut Fulan bisa mengerjakan tugas dari dosen S2 nya. Juga ia tak mempunyai waktu lagi untuk mengerjakan tugas tersebut kecuali di sela-sela acara. Besok lusa, tugas harus sudah dikumpulkan di awal pelajaran atau dianggap tidak mengerjakan bila sampai Fulan terlambat menyerahkan.

Hingga dua jam berlalu, Fulan masih tampak murung. Wajahnya mengkal. Berbagai saran yang kuajukan tak membawa banyak perubahan. Sang adik yang ia telpon lima belas menit sebelumnya memberi kabar melalui sms, mengatakan bahwa tak ada buku yang dimaksud di kamar Fulan.

Fulan menggeleng pelan saat kucoba menyarankan untuk menelpon teman kuliahnya, barangkali bukunya tertinggal di kelas dan ada salah satu dari mereka menyimpankan untuknya.  Jika tak ada di rumah, besar kemungkinan buku tersebut tertinggal di kantor, bukan di kampus. Kemarin, usai istirahat dan makan siang, Noval, teman sebelah mejanya sempat  mengingatkan Fulan agar tak lupa memasukan buku itu dalam tas atau ia akan kehilangan separuh waktu dan tenaganya untuk mencari buku sampai ke sudut kamar hotel sementara di sang buku justru tergolek manis di meja kantornya.

Apa yang dikhawatirkan Noval ternyata jadi kenyataan. Fulan lupa memasukkan  buku tersebut dalam tas, dan aku melihat sendiri efeknya. Raut mukanya terlihat kesal, mengkal, resah dan juga gelisah. Bukan tak ikut prihatin bila aku sengaja menggoda, sibuk menghadirkan pengalaman lucu yang pernah kami alami bersama. Tujuanku hanya satu, Fulan berhenti menggerutu, terus menyalahkan diri sendiri. Lupa adalah salah satu kelemahan manusia. Apa yang bisa ia perbuat sekarang? Mondar-mandir di dalam gerbong  kereta jelas tak menghadirkan buku super penting itu di hadapannya. Yang bisa ia lakukan terkait buku itu adalah menelpon Noval , memastikan apakah benar buku itu tertinggal di meja kerjanya. Juga meminta Noval mengirimkan buku tersebut melalui jasa pengiriman tercepat agar besok malam, di sela-sela acara, ia bisa mulai mengerjakan tugas kuliahnya. Kabar baiknya, buku itu memang ada di sana, di meja kerjanya. Tapi kabar buruknya, ia baru bisa melakukan itu, mendapatkan kepastian  delapan jam ke depan karena Noval baru bisa melakukan semuanya esok pagi, setelah tiba di kantor.

Gagal membujuk Fulan, akhirnya aku memilih diam. Ahmad, teman seperjalanan kami yang dari awal lebih banyak diam, sesekali tersenyum melihat tingkah polah Fulan yang gelisah, memberi  kode agar aku berhenti menggoda Fulan – namun kuabaikan – akhirnya mengeluarkan ‘azimat saktinya’. ”Sudahlah, Fulan.  Lakukan apa yang seharusnya dilakukan. Jangan buang waktu percuma hanya untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Nikmati perjalanan ini. Besok pagi, sebelum acara dimulai, kau bisa menelpon Noval. Minta ia datang ke kantor lebih awal, langsung memeriksa meja kerjamu, memastikan apakah benar bukumu tertinggal di sana. Jika benar, minta ia mengirimkan ke alamat hotel tempat kita menginap melalui ekspedisi paling cepat, jadwal pengiriman pertama. Insya Allah, besok bukumu sudah kau terima sebelum adzan maghrib dikumandangkan dari Masjid Raya.”

Fulan menghela napas panjang. Walau tak jauh berbeda dengan saranku, rupanya saran Ahmad lebih ia dengarkan. Lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang. Jangan lewatkan kesempatan dengan larut dalam hayalan. Lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang, jangan sebaliknya, melakukan sesuatu yang justru seharusnya tidak dilakukan, sebab akan percuma, sia-sia, buang waktu dan energi saja. Ini pelajaran pertama yang kupetik dari nasihat Ahmad pada Fulan.

Pelajaran kedua,  apapun yang akan kita lakukan, rencanakan, persiapkan dengan matang. Jika terlalu banyak yang harus dipersiapkan, tak ada salahnya membuat check list untuk membantu memastikan bahwa apa yang kita butuhkan tidak ketinggalan. Ini menjadi penting agar kegiatan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari tidak berantakan, akibat sesuatu yang sangat dibutuhkan malah tertinggal atau terlewatkan.

Gara-gara lupa membawa buku kuliahnya, Fulan harus membayar biaya pengiriman sejumlah hampir tiga ratus ribu rupiah, berkali lipat dari harga bukunya. Ini juga memberi kita pelajaran bahwa biaya bisa lebih ditekan bila kita telah menyiapkan segala sesuatunya dengan matang. Kalaupun sudah dipersiapkan tapi masih ada saja yang terlupa, ketinggalan, seperti yang dialami Fulan, itu karena kita adalah manusia, yang tiada luput dari salah dan juga lupa. Namun demikian, selalu ada hikmah dan pelajaran dari setiap kejadian, termasuk juga dari sebuah kesalahan dan kekhilafan. Semestinya, kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.