Dalam hidup, bukankah setiap orang sudah selayaknya membuat peta dan perencanaan akan masa depannya? Saya mungkin bukan orang yang pandai melakukan hal tersebut, hanya moncoba-coba saja memetakan dan merencanakan masa depan saya. Salah satu bagian dari masa depan yang saya petakan adalah soal pendidikan.
Memasuki masa-masa akhir kuliah Strata 1, saya dan teman-teman mulai sibuk memikirkan kapan akan KKN (Kuliah Kerja Nyata), bagaimana proposal skripsi, apakah ada mata kuliah yang akan diulang karena nilainya kurang memuaskan, harus tahun ini atau tak mengapa tahun depan saja lulus kuliahnya. Belum lagi pikiran-pikiran yang masih agak jauh, selesai S1 akan meninggalkan Jogja atau menetap saja, cari kerja dulu atau melanjut S2, ya… pikiran itu bermacam-macam berseliweran di otak kami.
Masalahnya, adakalanya rencana yang dibuat meleset, apa yang sudah direncanakan gugur di tengah jalan, dan itu saya alami. Saya salah dalam memetakan kapan akan KKN. Rencana saya akan mengambil KKN pada liburan semester enam, di saat adik-adik kelas menjalani kuliah semester pendek bagi yang mengambil. Namun sayang, perkara 1 SKS membuat saya gagal mendaftar KKN. Jumlah SKS saya kurang satu agar memenuhi syarat layak KKN. Subhanallah, saat tahu bahwa hanya satu SKS yang menyebabkan saya gagal mendaftar KKN, sungguh saya benar-benar menyesal mengapa di semester-semester awal saya tidak pernah mengambil kuliah di semester pendek, hanya mengambil di atas 20 SKS setiap semester. Orangtua saya terutama Abah memang hampir tidak pernah mengizinkan anak-anak mereka mengambil kuliah di semester pendek,
“Liburan kok kuliah, apa bedanya dengan tidak libur? Kerjakan aktivitas yang lain saja, supaya ada pengalaman baru” Abah saya selalu berkata demikian. Sehingga kerap saya tidak pulang ke kampung halaman pada waktu liburan, namun juga tidak mengambil kuliah semester pendek.
“Kita kan cuma bisa merencanakan, Nak. Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Barangkali Allah punya sesuatu yang lebih baik untuk Ita” demikian hibur ibu waktu saya mengadu bahwa saya tidak bisa mendaftar KKN karena SKS saya kurang satu dari syarat SKS yang harus dipenuhi. Duh, ibu saya memang paling bisa menentramkan hati anaknya. Itulah enaknya jika segala sesuatu sampai kepada ibu, pasti berakhirnya dengan kata-kata bijak yang menyejukkan hati. Akhirnya saya mengubah lagi rencana akhir pendidikan S1 saya. Tampaknya saya harus membarengkan KKN dengan skripsi saya.
Di saat saya mulai membiasakan diri dengan peta baru untuk akhir pendidikan S1 saya, tiba-tiba situasinya berubah dengan terjadinya gempa tektonik di Jogjakarta. Semua program KKN yang telah direncanakan jauh hari sebelumnya di universitas saya dialihkan menjadi KKN Peduli Bencana, yang ditujukan untuk membantu proses recovery daerah-daerah yang mengalami kerusakan. Lebih dari itu, universitas saya membuka pendaftaran baru bagi empat ratus orang mahasiswa untuk mengikuti KKN Peduli Bencana dengan syarat SKS yang jauh di bawah SKS yang telah saya ambil, dan alhamdulillah saya bisa menjadi bagian dari empat ratus orang itu.
Subhanallah, barangkali saat ini saya sedang berada di suatu lokasi yang pemandangannya sungguh memilukan, rumah-rumah yang rata dengan tanah dan belum dibersihkan, orang-orang sakit yang tergeletak pasrah di dalam tenda, dan anak-anak yang ramai berlarian karena sekolah mereka tak lagi bisa dipakai. Wallahua’lam.
Mahasuci Engkau Ya Allah, Robb penguasa semesta alam. Tiada satupun kekuasaan yang dapat menandingi kekuasaanMu. Tiada satupun yang dapat brkeputusan kecuali Engkau ridho atas keputusan itu. Tiada satupun yang berencana melainkan berhasil atau gagalnya atas izinMu.
Yogya, Juni 2006