Hari sudah menjelang siang ketika kaki ini mulai melangkah. Seorang teman dari luar kota datang ke Jakarta untuk tes masuk kerja. Aku diminta menemaninya. Aku lalui jalanan dengan perasaan gundah. Entah datang dari mana, rasanya ada sesuatu yang hilang dari diri ini. Sebuah semangat, semangat seorang manusia dalam mengais rezeki. Optimisme yang luntur karena beberapa persoalan yang tengah kuhadapi.
Penumpang dalam angkot hanya sedikit. Si supir tetap melakukan usaha mencari penumpang dengan berhenti beberapa kali di pinggir jalan menunggu penumpang lainnya. Sering kuperhatikan, para supir sambil menyetir mobilnya menghitung perolehan rezekinya. Tak lama, uang tersebut harus berpindah tangan ke pegawai SPBU karena harus mengisi bensin.
Ketika menaiki mikrolet menuju rumah, saya pernah mendengar seorang supir yang mengobrol dengan teman sesama supir di jalan raya yang padat, kalau dirinya akan berhenti menjadi supir dan pulang kampung. Entah karena hidup sebagai supir tak mencukupi kebutuhan di Jakarta yang serba mahal, entah karena kemaceten di Jakarta yang kian memusingkan kepala. Apalagi, rute mikrolet itu di daerah kalimalang yang akan melewati banyak titik kemacetan.
Tidak hanya angkutan umum seperti mikrolet, bus, metromini yang setiap pagi dan sorenya dijejali penumpang, KRL ekonomi Jakarta Bogor pun sama, selalu dipadati hingga tak jarang para penumpangnya jadi target pencopetan. Seorang teman pernah mengeluhkan kondisi padatnya kereta api hingga dia mulai tak tahan lagi setiap hari ketika berangkat dan pulang kerja. Tapi, mau bagaimana lagi, kebutuhan harus dipenuhi dan dia adalah tulang punggung keluarga yang harus membiayai beberapa kebutuhan di rumahnya.
Setiap hari, pagi dan sore, orang-orang berjejalan di bus menuju tempat mengais rezeki. Ada juga yang sedang mencari pekerjaan. Para pegawai tahu akan digaji berapa tiap bulannya, tapi sering merasa kurang dengan penghasilan yang didapatnya. Di sekeliling mereka ada supir mikrolet, angkot metro mini. Di sana juga ada pedagang asongan, ojek, dan banyak lagi.. Bagaimana dengan para pedagang, supir dan lainnya. Apa mereka tahu akan dapat berapa.
Selama perjalanan aku disuguhkan banyak hal. Mengajakku untuk berpikir dan mengoreksi diri. Bagaimana rezeki itu datang dari Allah. Bagaimana, kita sebagai manusia harus selalu berusaha.
Saya tertegun menatap seorang pedagang asongan. Berapa ya uang yang akan dibawanya pulang. Apa cukup untuk makan hari itu? Atau berapa uang yang akan diserahkan sang supir untuk keluarganya nanti? Apa cukup untuk biaya sekolah anaknya? Hmmm, seperti halnya juga saya. Saya bukan orang gajian. Tiap bulan saya tak pernah tahu akan dapat berapa dari hasil kerja saya. Kadang hal itu membuat saya pesimis dan bingung, kadang membuat saya merasa bersemangat untuk berusaha terus.
”Rezeki itu di tangan Allah”. Kata-kata itu memang benar adanya, tapi klise terdengar bagi orang yang hidupnya kelelahan mengais rezeki setiap hari.
Setiap hari disibukkan dengan berbagai persoalan yang kian bertambah. BBM naik, sembako naik, anak mesti bayar SPP, biaya listrik naik sementara penghasilan tak juga bertambah dan korupsi tetap merajalela.
Kata-kata ”rezeki di tangan Allah” tak lagi menjadi penghibur di kala susah. Padahal, kalau kita meyakini, kita tak akan pernah takut melewati hari-hari kita. Baik sebagai karyawan, pedagang ataupun freelancer. Rezeki tak akan pernah tertukar, tinggal bagaimana kita menjemputnya. Rasanya sebagai manusia, kita tak akan pernah puas kalau tak bisa mensyukuri nikmat yang Dia beri.
Aku jadi ingat perbincanganku dengan seorang sahabat. Dia mengutip ucapan seorang motivator. Bahwasanya, yang sering mematahkan semangat kita terhadap rezeki atau penghasilan adalah besarnya ketergantungan kita terhadap kantor, orang lain, klien yang seolah-olah merekalah pemberi rezeki kita.
Astaghfirullah, kita benar-benar sudah lupa dengan kuasanya.
Untuk seorang sahabat, Thanks for sharing.
http://akunovi.multiply.com/
http://novikhansa.wordpress.com/