Eramuslim.com – Kisah ini bermula ketika suatu hari salah seorang sahabat Nabi, Qais bin Shirmah, pulang dari ladang. Saat itu bulan suci Ramadan. Seperti pria lainnya, mereka bertemu istri mereka saat matahari terbenam untuk berbuka puasa.
“Istriku, apakah engkau memiliki makanan untuk kita berbuka?” ucap Qais pada istrinya. “Tidak suamiku, tapi tenanglah aku akan mencarikan makanan untukmu,” Jawab sang istri.
Istri Qais pun pergi untuk mencari makan. Ketika kembali, ia mendapati suaminya telah tertidur pulas karena kelelahan
“Sungguh, aku kasihan padamu, suamiku! Kamu tertidur dan belum berbuka puasa!” kata Sang Istri.
Kemudian istrinya membangunkannya dan memintanya untuk makan dan tidak berpuasa keesokan harinya. Namun Qais enggan menerima tawaran itu, tidak ingin melanggar perintah Allah.
Karena tertidur, ia tidak diperbolehkan makan setelah itu dan terus berpuasa sampai matahari terbenam keesokan harinya. Qais tetap berpuasa dan bekerja sebagai petani di ladang. Tiba-tiba, di tengah hari, Qais bin Shirmah pingsan karena kelelahan dan tidak makan.
Kejadian ini pun dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Kemudian turunlah surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.”
Kaum muslimin pun turut bergembira saat itu, mereka percaya bahwa jika saja hubungan antara suami dan istri diperbolehkan, maka tentu saja makan dan minum juga diperbolehkan. Kemudian dilanjutkan dengan ayat yang menegaskan diperbolehkan makan dan minum hingga terbitnya fajar.
“Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)