Usai bermunajad, Syekh Aaq lalu menemui murid kesayangannya itu. Diberikannya nasihat agar seluruh pasukan berpuasa esok hari, shalat qiyamul lail, berzikir dan memohon ampun atas segala dosa agar Allah bukakan pintu kemenangan.
Pasukan terbaik itu bukan tanpa persoalan. Hampir sebulan, tepatnya sejak mulai pengepungan 6 April 1453, perjuangan belum juga menunjukkan titik terang.
Hingga akhirnya Allah hadirkan pertolongan. Benteng Konstanstinopel yang selama berabad-abad berdiri dengan pongahnya, hari itu, 29 Mei 1453 berhasil dijebol pasukan Al Fatih.
Gemuruh suara takbir merobek keheningan malam. Membuat siapa saja yang mendengar tergetar hatinya.
“Sesungguhnya kalian melihatku sangat gembira. Kegembiraanku bukan karena penaklukan benteng ini semata. Akan tetapi, kegembiraanku muncul karena adanya seorang Syekh yang mulia pada zamanku. Dia adalah guruku, Syekh Aaq Syamsuddin.”
Nama itu selalu disebutnya dengan ta’zim. Segala nasihatnya didengar dan dilaksanakan. Sekalipun dunia mencatatnya sebagai pemimpin terbaik dari pasukan terbaik, namun ia sadar, tanpa gurunya ia bukan siapa-siapa.
Syekh Aaq bukan sekadar guru yang mengajarinya bermacam ilmu. Namun juga penasihat utama, Sang Pembisik yang selalu dimintai pendapat saat menghadapi persoalan pelik.
Suatu ketika setelah kemenangan itu ia hendak menemui Syekh Aaq untuk menyampaikan hal penting, namun gurunya itu tak mau ditemui.