Dua Abu Sufyan yang awalnya menentang Islam, justru berkembang menjadi orang yang menyokong Islam. Sedangkan sebagian kaum Muslimin di perang Hunain yang telah lebih dulu memeluk Islam, justru lari meninggalkan pasukan kala ujian datang menghantam.
Karenanya, marilah kita contoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika Jibril tawarkan timpakan gunung keatas orang-orang Tha’if atas tindakan kasar mereka yang menentang dakwah dan mengusir Rasulullah, beliau justru menolak dan mendo’akan agar Allah memberi mereka keturunan yang beriman serta mentauhidkan Allah.
Bukankah bisa saja Rasul terima tawaran Jibril tersebut? Toh, rasul-rasul sebelum Rasulullah pun akhirnya berdo’a agar Allah timpakan azab atas kaumnya yang ingkar.
Namun hal itu tiada Rasul lakukan. Beliau melihat jauh kedepan sebagai Rasul penutup. Apabila hal tersebut beliau aminkan (memohonkan azab atas kaumnya yang ingkar), maka mungkin sedikit sekali manusia di akhir zaman sebab begitu banyaknya orang-orang yang kafir di masa itu. Ada banyak potensi keimanan, dan bila hidayah atas umatnya beliau pintakan kepada Allah, maka sungguh Allah Maha mendengar do’a-do’a hamba-Nya.
Do’a itulah yang berlaku atas dua Abu Sufyan. Ini pulalah yang terjadi atas Umar bin Khatthab, Khalid bin Walid, Hindun binti ‘Utbah, Ikrimah bin Abu Jahal, Habbar bin Al-Aswad, Ka’ab bin Zubair, Wahsyi bin Harb, dan begitu banyak lagi yang lain. Mereka yang awalnya begitu membenci Islam, Allah terangi hatinya hingga luluh dan berbalik condong jadi begitu mencintai Islam.
Maka hari ini, bila kita baca, dengar, atau saksikan, ada diantara saudara-saudari kita yang tiada peduli dengan aktifitas dakwah, bahkan sebagian ada yang memeranginya dengan nyata atau sembunyi-sembunyi, ingat bahwa prinsipnya adalah mendo’akan lebih baik daripada meremehkan (tentu bila serangan terhadap dakwah itu nyata dilakukan, kita tetap harus mempertahankan tapi lagi-lagi sambil mendo’akan).
Belajar dari Rasul dan kisah dua Abu Sufyan, tak perlu kita cibirkan mereka-mereka yang tak peduli pada aktifitas mulia ini. Apalagi kita sampai berbangga diri merasa lebih baik karena berperan aktif mengajak manusia kembali ke jalan Illahi Rabbi (na’udzubillah). Cukup terus merendah hati, seraya meminta kepada Allah agar Ia berikan petunjuk pada mereka yang tak tergabung di jalan ini terlebih-lebih Allah berikan istiqamah pada diri yang lemah ini.
Semoga do’a itu menembus hijab dan menggema-gema, lalu dikabulkan pula oleh-Nya, sehingga Allah gerakkan hati kita bersama menuju jalan keridhoan-Nya. Sehingga pula Allah kumpulkan kita semua dalam syurga indah-Nya dalam keadaan senang dan berpuas hati atas kebaikan dan kasih sayang-Nya. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin…
Allahu a’lam, wallahul muwafiq ilaa aqwamith-thaariq.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Referensi:
1. Ar-Rahiq Al-Makhtum oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
2. Al-Lu’lu’ wal Marjan oleh Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi
3. Rijal Haula Ar-Rasul oleh Syaikh Khalid Muhammad Khalid
4. Makanatu Ahli Hadits oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali