Kita tak tahu apa yang terjadi beberapa waktu ke depan. Jika Allah beri umur, bisa jadi di masa yang akan datang mereka-mereka yang saat ini tak tergabung dalam aktifitas dakwah justru jadi pejuang yang berdiri paling depan di barisan. Dan bisa jadi, kita yang hari ini merasa sholeh karena terus bertahan malah lari tunggang langgang karena takabbur di awal perjalanan (na’udzubillah).
Setidaknya pelajaran inilah yang bisa kita petik dari peristiwa di perang Hunain. Adalah seorang bernama Abu Sufyan bin Harits (bukan Abu Sufyan bin Harb suami Hindun binti ‘Utbah. Abu Sufyan bin Harb nanti akan kita bahas), sepupu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari paman beliau Harits bin Abdul Muthalib. Seorang penyair yang ahli menunggang kuda. Yang lahirnya tak beda jauh dari lahirnya Rasulullah. Yang kemudian sepersusuan dengan Rasulullah. Yang semasa mudanya begitu akrab dan menyayangi Rasulullah.
Namun ketika cahaya Islam diserukan Rasul, Abu Sufyan muncul sebagai kaki tangan Abu Lahab dan termasuk orang yang begitu menentangnya. Dua puluh tahun sejak Islam mulai didakwahkan Rasulullah, begitu banyak syair-syair bernada keji dan sindiran lahir dari lisan Abu Sufyan. Namun Allah berkehendak lain. Menjelang Futuh Makkah (penaklukan kembali kota Makkah), Allah berikan hidayah yang nyata padanya.
Abu Sufyan lalu pergi ke Madinah, mendatangi Rasulullah. Menyungkur ia saking inginnya memeluk Islam, namun Rasul berpaling. Ia terus mengejar kemana Rasul memandang, berusaha mencari wajah beliau yang mulia. Hingga pada akhirnya Rasul perkenankan ke-Islaman sepupunya yang sesungguhnya amat dicintainya.
Inilah Abu Sufyan bin Harits, yang awalnya begitu membenci Islam sebagai aqidah, begitu membenci Rasulullah sebagai pelaku dakwah, pada akhirnya Allah beri ia hidayah. Begitu mengakar dalam kesetiannya pada Allah dan Rasul-Nya, hingga ketika perang Hunain yang berlangsung setelah Futuh Makkah, Abu Sufyan muncul sebagai mujahid yang berada paling depan mendampingi Rasul, membelakangi dua belas ribu umat Islam lainnya yang turut serta dalam pasukan.
Bahkan ketika panah-panah suku Hawazin dan Tsaqif menderu tentara Muslim di lembah Hunain, hingga jumlah yang banyak itu tak ada arti dan gunanya (karena sebagian besar mereka ketika berangkat terlalu angkuh dan yakin menang karena banyaknya jumlah mereka lalu terkejut dan ciut menghadapi serangan musuh yang ternyata begitu dahsyat diluar dugaan), Abu Sufyan tetap ada di sisi Rasul, memegangkan tali kendali kuda yang ditunggangi Rasul di satu sisi bersama pamannya yang juga paman Rasul yakni Abbas bin Abdul Muthalib di sisi yang lain.