Sudah bilangan ketujuh piringan cakram itu diputar di DVD playerku. Terkadang oleh aku sendiri, terkadang oleh anakku. Ya, film dengan judul “Sang Murabbi” itu seakan telah menjadi ikon baru bagi kami di tengah lesunya film yang berkualitas. Film itu menceritakan tentang kisah perjalanan hidup dan perjuangan seorang anak Betawi yang bernama Rahmat Abdullah dalam mengemban risalah da’wah. Alur ceritanya hidup, mudah diikuti dan penuh dengan keteladanan serta kesederhanaan.
Anakku suka film itu bukan karena ia faham akan maksud dan isi ceritanya, tetapi lebih karena terdapat percakapan dengan dialek khas Betawi yang lucu. Sedangkan aku, menjadikan film itu sebagai salah satu cara Tadzkiyatun Nafs (pembersih jiwa). Sebab dengan melihat film itu hati menjadi lapang, semangat bertambah dan tanpa terasa air mata menetes tatkala membayangkan betapa beratnya medan da’wah waktu itu. Dengan segala keterbatasan dan minimnya fasilitas serta beratnya resiko yang menghadang tidak menyurutkan semangat dan perjuangan Rahmat Abdullah (semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat kepada Beliau dan keluarganya) dalam menyampaikan kebenaran.
Kita pantas merasa malu kepada beliau. Saat ini ditengah iklim perjuangan yang semakin bebas dan terbuka, sarana dan fasilitas yang semakin menunjang, terkadang masih membuat kita merasa enggan, malas-malasan atau bahkan tidak mau berbuat untuk kebaikan umat.
Di bagian akhir film itu terdapat sepenggal kisah nasihat Ustadz Rahmat Abdullah kepada salah satu muridnya yang sarat dengan hikmah. Sampai beberapa waktu, nasihat itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Entah karena kebetulan atau tidak sengaja, yang jelas nasihat itu seringkali pas dengan kehidupan yang kita jalani.
Ujian yang seringkali menimpa kehidupan kita, baik berupa kenikmatan, kebahagiaan dan kelebihan harta atau sebaliknya berupa musibah, kesedihan dan kekurangan harta diibaratkan oleh Ustadz Rahmat seperti seekor monyet yang naik tinggi ke atas pucuk pohon kelapa. Suatu ketika datang angin topan, angin bahorok dan angin puting beliung menerpa pohon kelapa, tapi monyet itu mampu bertahan tidak jatuh karena berpegangan kuat pada dahan pohon kelapa. Tetapi suatu ketika datanglah angin sepoi-sepoi yang semilir menerpa pohon kelapa. Ternyata angin sepoi itu membuat sang monyet menjadi keenakan, terlena dan mengantuk hingga akhirnya dia terjatuh dari pohon kelapa.
Seringkali kita beranggapan bahwa yang namanya ujian itu identik dengan hal-hal seperti ketika keluarga dilanda musibah, terserang penyakit, kekurangan harta atau dicekam rasa ketakutan dan kegelisahan. Disaat itulah kita mulai mendekat pada Tuhan, dan disaat itu pula kita jadi tambah rajin menjalin hubungan dengan Allah. Rangkaian doa dan permohonan yang bertubi-tubi senantiasa dipanjatkan untuk kesembuhan keluarga yang sedang sakit. Tahajud ditegakkan di tengah dinginnya malam demi menjalin keakraban dengan Sang Khaliq agar diberi kemurahan rizki. Ibadah-ibadah sunnah dilaksanakan demi terkabulnya permohonan sehingga musibah segera berlalu dan berganti dengan kisah yang menyenangkan. .
Namun jangan sekali-kali kita lupa dan terlena dengan berbagai nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita. Sebab pada hakikatnya semua itu adalah ujian dari Allah. Akankah kesehatan jasmani dan rohani, harta yang ada pada diri kita, keluarga yang rukun sejahtera dan anak-anak yang pintar dan lucu akan membuat kita terlena dan jatuh.
Disitulah Ustadz Rahmat Abdullah telah memberikan peringatan kepada kita. Jangan sampai kita mengalami nasib seperti sang monyet. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi yang artinya “ Sesungguhnya apabila Allah menyayangi hambaNya, maka ia diuji agar Allah mendengar rintihannya (dengan kerendahan diri).
Lebih jelas lagi Allah SWT telah menegaskan dalam firmanNya di dalam Surat Al-Baqarah ayat 155-157 yang artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Boleh jadi Allah SWT banyak memberikan ujian berupa musibah (angin topan) kepada kita, karena kebanyakan kita lulus menghadapinya. Dan sebaliknya boleh jadi Allah SWT sedikit memberikan kenikmatan kepada kita (angin sepoi), karena jarang diantara kita yang lulus menghadapinya. Hal ini bukan berarti Allah tidak sayang kepada kita, tetapi memang Allah rindu kepada doa-doa kita, tahajud kita, infaq dan shodaqoh kita yang boleh jadi hanya dipersembahkan ketika kita ditimpa musibah saja.
Yang menjadi harapan kita, semoga doa dan permohonan yang tulus, tahajud di tengah malam yang dingin nan sunyi dan munajat yang khusuk tetap dipersembahkan kepada Tuhan yang maha memberi ketika nikmat dan kebahagiaan sedang menghampiri kita. Sehingga atas izin Allah, kiranya angin sepoi-sepoi itu lebih sering datang menghampiri kita. Wallahu A’lam
kh_masmuam.multiply.com
[email protected]