Kemarin, secara tak sengaja saya menonton acara “Mamah Dedeh on The Street” dan dengan tema yang cukup menarik perhatian saya yaitu, "Jangan Malu Hidup Sederhana".
Mungkin terdengar tak bermakna apa-apa atau bahkan hanya menjadi lalu lalang bagi yang tak memperhatikannya. Tapi sesungguhnya makna kalimat tersebut sangatlah dalam.
Kalimat itu mengingatkan saya akan kesederhanaan yang teramat sangat yang di alami oleh Junjungan kita Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalaam.
Dalam suatu kisah Rasulullah saw:
Suatu hari ‘Umar bin Khaththab r.a menemui Nabi saw. di kamar beliau, lalu ‘Umar mendapati beliau tengah berbaring di atas sebuah tikar usang yang pinggirnya telah digerogoti oleh kemiskinan (lapuk).
Tikar membekas di belikat beliau, bantal yang keras membekas di bawah kepala beliau, dan kulit samakan membekas di kepala beliau.
Di salah satu sudut kamar itu terdapat gandum sekitar satu gantang. Di bawah dinding terdapat qarzh (semacam tumbuhan untuk menyamak kulit).
Maka, air mata ‘Umar bin Khaththab r.a meleleh dan ia tidak kuasa menahan tangis karena iba dengan kondisi Nabi saw.
Lalu Nabi saw. bertanya sambil melihat air mata ‘Umar r.a. yang berjatuhan, "Apa yang membuatmu menangis, Ibnu Khaththab?"
‘Umar r.a menjawab dengan kata-kata yang bercampur-aduk dengan air mata dan perasaannya yang terbakar, "Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas di belikat Anda, sedangkan aku tidak melihat apa-apa di lemari Anda? Kisra dan kaisar duduk di atas tilam dari emas dan kasur dari beludru dan sutera, dan dikelilingi buah-buahan dan sungai-sungai, sementara Anda adalah Nabi dan manusia pilihan Allah!"
Lalu Nabi saw. menjawab dengan senyum tersungging di bibir beliau:
"Wahai Ibnu Khaththab, kebaikan mereka dipercepat datangnya, dan kebaikan itu pasti terputus. Sementara kita adalah kaum yang kebaikannya ditunda hingga hari akhir. Tidakkah engkau rela jika akhirat untuk kita dan dunia untuk mereka?"
‘Umar menjawab, "Aku rela." (HR. Hakim, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sebaiknya Anda memakai tikar yang lebih lembut dari tikar ini."
Lalu, Nabi saw. menjawab dengan khusyuk dan merendah diri, "Apa urusanku dengan dunia? Perumpamaan diriku dengan dunia itu tidak lain seperti orang yang berkendara di suatu hari di musim panas, lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya." (HR. Tirmidzi)
Jika kehidupan tauladan kita saja sangat sederhana, bahkan jauh di bawah kita, mengapa kita yang masih dapat memikirkan makanan apa yang akan di makan besok lalu mengeluh mengenai kekurangan secara materi yang terkadang tak beralasan.
Karena kata Rasulullah saw pun kebaikan sejati untuk umat muslim di tunda atau bukan di dunia melainkan di akhirat kelak. Karena Allah Maha Mengetahui, bahwa dunia adalah persinggahan.
Jadi tak perlu menggadaikan akhirat yang lebih kekal dengan kebaikan yang berlimpah yang telah Allah persiapkan bagi orang beriman dengan kemewahan dunia yang hanya sementara.
Jauh berbeda apa yang saya lihat di zaman ini, pemimpin (yang notabene adalah wakil rakyat) justru mendapat fasilitas yang sangat mewah. Terlebih lagi dengan apa yang di dapat, mereka tak pernah merasa cukup. Bahkan terus menerus berusaha memperkaya diri dengan berbagai cara.
Berbeda dengan rakyat yang mereka pimpin, begitu menderita. Bahkan tembok harta telah membuat batas yang tak bisa di bendung saking tebalnya. Sangat berbeda dengan pemimpin kita Rasulullah Muhammad Shallahu’alaihi wassalaam.
Salah satu penyebab mengapa banyaknya ketimpangan sosial yag terjadi adalah sifat malu yang teramat sangat. Memang benar malu adalah sebagian daripada iman.
Tapi malu yang bagaimana? Jikalau malu untuk berbuat maksiat kepada Allah itu bisa di sebut malu yang merupakan sebagian daripada iman. Tapi malu yang tidak di perbolehkan yaitu malu untuk hidup sederhana.
Mengapa? Karena bisa saja dengan bersikap sederhana meskipun Allah menganugerahkan harta yang berlimpah dapat mengurangi kesenjangan sosial.
Misalnya, tak ada lagi ajang pamer kemewahan di jalan raya dengan berlomba mengendarai transportasi yang canggih, pakaian-pakaian mewah dengan perhiasan mentereng atau telepon genggam mahal yang berseliweran di jalan yang mampu mengundang para penjambret dadakan (karena terkadang mereka para penjambret bukan sengaja melakukan kejahatan tapi terpaksa karena terdorong ekonomi yang sulit) untuk beraksi.
Karena sederhana bukan berarti hina. Dengan kesederhanaan kita mampu merasakan apa yang terjadi pada orang-orang yang kurang beruntung di banding kita. Selain itu akan melatih hati kita untuk peka akan keadaan sekitar.
Sesungguhnya ujian bukan hanya melalui kesulitan tapi juga bisa melalui harta berlimpah. Jika tak pandai kita mengelolanya maka bencana yang akan didapat.
Karena Allah hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya dan bukan dari melimpahnya harta yang di miliki. Orang yang sebenarnya kaya adalah orang yang sederhana namun memiliki sifat mulia. Bahkan harta tak mampu membuatnya berpaling dari Allah.
Allahua’lam