Haruskah Berpacaran ?

Ketika mengetikkan semua ini, saya masih berstatus sebagai calon istri dari pria yang belum saya ketahui siapa yang akan menjadi suami saya. Bukan kebodohan yang membuat saya begitu percaya diri, menyebut seperti itu. Hanya dari keyakinanlah yang timbul berdasarkan janji Tuhan saya yang akan mempertemukan pria yang baik dengan wanita yang baik. Dan setiap manusia pasti telah memiliki jodohnya masing-masing.

Saya bukanlah orang suci yang tak pernah mengecap satu titik pun dosa. Justru karena saya telah merasakannya, maka saya merasa mual jika saya mengingat masa lalu saya yang kini saya jadikan pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga bagi perjalanan hidup saya kelak. Serta saya akan terus membuka lebar-lebar mata, telinga terlebih mata hati untuk tetap menyikapi semua kejadian yang terjadi pada orang lain, biar menjadi pelajaran tambahan bagi saya tanpa saya harus mencemplungkan diri saya pada dunia yang kelam itu.

Dunia yang kelam.. sangat abstrak jika saya menyebut seperti itu. Dunia dimana tak ada lagi rasa malu ketika seorang wanita memegang tangan seorang pria. Dunia dimana cinta dapat menguasai seluruh pikiran dan hati seseorang. Hingga kadang tak ada lagi ruang yang disisakan untuk hal lain. Apa setinggi itukah label cinta yang digaungkan dalam dunia percintaan anak muda atau biasa disebut “ PACARAN” ?

Sungguh miris, ketika jalan berduaan tak lagi menjadi tabu.

Berbicara mengenai masalah pacaran. Sekali lagi saya menyatakan, saya bukan orang suci yang tak pernah mengenal dunia seperti itu. Saya mengetahui jika dalam agama saya, pacaran sangat dilarang karena merupakan pintu syetan dimana berbagai perlakuan zina terdapat didalamnya. Diluar konteks agama, saya pernah menjalani masa pacaran. Meskipun tak lama, saya merasakan ketidaknyamanan dan kebodohan karena selain berbenturan dengan prinsip saya, saya lebih faham mengapa agama mengharamkan itu. Suatu kesia-siaan dimana kita mengorbankan perasaan, waktu bahkan kadangkala uang untuk seseorang yang sebetulnya belum tentu menjadi pasangan hidup kita kelak. Itu merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga, dimana kadangkala kita “harus” menjalani sesuatu hal untuk tau apakah hal tersebut membawa dampak yang baik atau buruk. Tapi lebih bijak jika kita telah mengetahui bahwa hal tersebut buruk, tidaklah kita mencemplungkan diri kedalamnya. Cukup pengalaman orang lain yang kita jadikan pelajaran berharga.

Melihat adik-adik (sepupu) saya beranjak remaja, ada rasa sedih serta miris. Ditengah kebebasan seperti saat ini, sedang saya tidak bisa melihat mereka secara langsung atau memperingatinya secara berlebihan. Mereka lebih pintar dari zaman saya remaja, tapi kepintaran mereka akan tersendat pada peradaban yang mencontohkan suatu prilaku dimana kebebasan menjadi mutlak hak pribadi asal tidak merugikan orang lain. Mereka pintar namun apa gunanya jika tak pada tempatnya, tak dapat memfilter bahkan menimbang sesuatu selagi sesuatu itu sah-sah saja menurut mereka. Karena mereka melihat contoh dari banyaknya yang melakukan hal yang sama. Padahal sesuatu yang banyak dikerjakan belum tentu baik.

Ya Rabb, berikan saya keistiqomahan untuk dapat menjaga kesucian diri sebagai seorang wanita, hingga kelak dapat menjadi seorang istri yang membanggakan suami dan dapat menjadi contoh yang baik untuk anak-anak saya.

2010