Berbekallah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu… menyertai segolongan orang?
Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa
Rasulullah bersabda…
Perbanyaklah mengingat
Akan pemusnah segala kenikmatan dunia
Itulah kematian …yang tlah pasti datang
Kita tak tahu kapan waktunya kan menjelang…
Bait-bait syair Suara Persaudaraan itu memang sering kunasyidkan di hari-hari terakhir menjelang kepergian suami. Aku meresapi betul lirik demi lirik nasyid itu, hingga kadang titik-titik air mata turut membasahi pipi.
Kematian memang telah pasti datang. Malaikat Izrail bisa menjemput kita kapan dan di mana saja. Meski begitu, sungguh … tak terbayang sebelumnya di benakku, suamiku akan pergi meninggalkan kami secepat itu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
***
Hari itu sang raja siang masih menampakkan keperkasaannya. Sinarnya memancar menerangi mayapada. Siang terik. Deringan suara handphone membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Telepon dari teman dekat. Setelah memberi salam, menanyakan kabar, dan keberadaanku, beliau menanyakan sesuatu.
“Bu, sudah tahu kabar kalau ada salah satu mobil dari Pondok Aren yang kecelakaan?’’ tanyanya pelan.
“Innalillahi…,” aku mengucap kalimah tarji’, lalu memberondongnya dengan beberapa pertanyaan. Kemudian beliau menyarankanku untuk mencoba mencari-cari informasi. Aku langsung menghubungi nomor suami tetapi tidak aktif. Dalam cemas, aku mencoba husnudzan -mungkin batterainya drop. Aku masih berusaha menghubungi nomor teman-teman ketika seorang teman dekat yang lain menelepon ke rumah. Dengan pelan dan lembut, beliau menanyakan kabar suami. Deg…tiba-tiba aku lemas, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada ayah anak-anakku, belahan jiwaku. Apalagi ketika kuhubungi nomor seseorang, beliau mengatakan ia dan suaminya akan segera ke rumah, isak tangis ini tak tertahan, perasaan hati pun tak karu-karuan. Langit yang cerah tampak hitam, gelap, pekat.
“Bu… sabar, ikhlaskan kepergiannya ya…! Suami Ibu kan orang baik, insya Allah khusnul khatimah,” hibur teman-teman sambil memelukku dengan berlinang air mata.
***
Ahad, 14 Juni 2009 pukul 12.45 WIB. Hari itu suami yang sangat kucintai, telah dipanggil pemiliknya. Beliau mendapat amanah mengarungi perjalanan hidup di alam fana ini hanya selama tiga puluh sembilan tahun lebih tiga puluh tiga hari. Selama itu pula, beliau hampir tak pernah sakit -kecuali sakit ringan, seperti flu- dan belum pernah sekalipun masuk rumah sakit. Kepergiannya yang begitu cepat, tanpa sakit, tanpa pamit begitu mengagetkan. Kala itu, aku seperti kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, dan kehilangan semuanya.
Suamiku adalah kekasihku, belahan jiwaku. Cintaku pada beliau teramat dalam, jauh lebih dalam dari yang kutahu selama ini. Banyak kenangan indah kami lalui bersama dengan penuh cinta.
Suamiku adalah teman sejatiku. Aku bersyukur pada Allah karena telah mengaruniaiku seorang teman hidup yang begitu baik. Meski dalam kebersahajaan dan kesederhanaan, aku sangat berbahagia hidup bersamanya.
Suamiku adalah guruku. Pada beliau, aku banyak belajar lebih dalam lagi tentang hidup dan kehidupan, tentang keikhlasan, tentang pengorbanan dan tentang pengabdian seorang hamba pada Rabbnya. Beliau tak lupa selalu memotivasiku untuk memperbaiki kualitas diri sebagai seorang hamba di hadapan Sang Pencipta.
Kini suamiku telah kembali, kembali pada pemiliknya yang sejati. Telah kuikhlaskan kepergiannya. Doa senantiasa menyertai perjalanan suamiku tercinta, semoga Allah mengampuni, memaafkan dosa-dosa, menerima amal ibadah, melapangkan kuburnya dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kumohon jua kiranya Allah senantiasa mengaruniai kami – keluarga yang ditinggalkan- kesabaran , ketabahan, dan kemudahan dalam segala urusan, aamiin.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah engkau pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surga-Ku“ (QS Al Fajr: 27-30)