Khatib Piawai

Hujan mengguyur hari Jum’at pekan kemarin amat lebat. Cuaca mendung sejak Shubuh hari itu, akhirnya tumpah membasahi setiap inci tanah yang belum lagi kering sisa hujan kemarin. Angin yang menderu-deru menambah gemuruh hujan makin riuh-rendah. Kekuatan hembusannya, mampu merobek pori-pori baju dan menusuk sensitifitas kulit. Dingin. Butir-butir halus air langit itu menerpa wajahku. Semakin dingin dan lembab. Rasa kantuk yang sejak tadi menyerang hebat, spontan hilang. Aku beringsut ke tengah melewati beberapa jama’ah menghindari percikan air hujan yang semakin banyak melompati beranda masjid.

Khatib baru saja naik mimbar, tapi hujan masih saja tercurah. Aku khawatir atas dua hal, pertama, suara khatib tertelan hujan hingga pesan khutbah tidak sampai menembus gendang telinga jama’ah, tetapi menguap bersama gemuruh hujan. Kedua, daya tarik khatib dan materi yang akan disampaikannya berfrekuensi lebih lemah daripada kemampuan hujan yang telah merebut hampir separuh konsentrasi jamaah atas kekhawatiran sandal, sepatu, atau apa saja yang basah di luar.

Khusyu menjadi terasa lebih mahal pada Jum’at ini bagiku. Namun dua kekhawatiran yang menggangguku tidak terbukti. Aku sumringah. Pengeras suara yang pada Jum’at-Jum’at berlalu sering putus-sambung, alhamdulillah, kali ini lancar. Suara khatib terdengar jelas. Khatibnyapun piawai. Topiknya sederhana, tetapi ia mampu mengulas dan menjabarkannya dengan sangat rapih, runtut dan fokus.

Aku tercerahkan dengan menyantap menu sederhana yang disajikan sang khatib. Khatib paruh baya itu amat fasih menyajikan hidangan yang menawarkan cita rasa lezatnya Iman dengan bahan dasar ikhlas.

"Jika anda berbuat baik terhadap orang lain, pahatlah di atas pasir. Tapi, pahatlah kebaikan orang lain yang anda terima di atas batu cadas."

Aku hampir tidak berkedip mengikuti uraiannya. Intonasi suaranya bagai gubahan aransmen musik klasik. Di mana ia harus memainkan nada tinggi, sedang dan rendah serta ekspresi wajah dan mimik yang kompak. Enak didengar dan "ditonton."

Hujan tak lagi kudengar. Semua kesadaran teologis nuraniku tersedot untuk berusaha mengikat satu persatu pesan yang hampir setiap minggu rutin digaungkan di masjid-masjid. Kali ini, amat berbeda. Hingga suara hujan pun luluh sampai akhirnya ia reda sendiri.

Baru kali ini menu ikhlas disajikan dalam khutbah Jum’at yang kunikmati hampir tak tersisa. Apalagi menjelang berakhir ritual khutbah, khatib itu masih menyimpan satu poin.

"Ciri orang ikhlas itu adalah orang yang gampang lupa sekaligus selalu ingat. Orang ikhlas itu gampang sekali melupakan kebaikan yang telah dia tanamkan pada siapapun, tetapi selalu mengingat kebaikan orang lain yang pernah diterimanya. Dia juga adalah pribadi yang gampang melupakan kesalahan orang lain pada dirinya, tetapi selalu mengingat setiap kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan."

Aku mencoba meneruskan kalimat penutup khutbah itu dengan penjelasan-penjelasan yang kubangun sendiri setelah keluar dari pintu masjid. Melupakan amal kebaikan sendiri, barangkali akan menghindari sifat riya dan ananiyah. Dan tidak pernah melupakan kebaikan orang lain, akan mengajarkan kita menjadi manusia yang pandai berterima kasih dan bersyukur pada Allah. Gampang melupakan kesalahan orang lain, mendidik kita menjadi pemaaf dan menjadi manusia penebar kasih sayang. Sementara selalu mengingat segala kesalahan sendiri, menjadikan kita sebagai pribadi yang dekat dengan pintu taubat, tawadhu dan gampang menjinakkan egoisme.

Islam menasehatkan pada kita agar pandai-pandai menjaga ruang keikhlasan agar tidak disesaki material asing yang mengotorinya. Biarkan ia tetap bersih dan resik. Siapapun yang berada di ruang yang bersih, tentu betah berlama-lama. Siapapun yang memiliki ketajaman naluri ikhlas, akan disenangi Allah dan disayangi sesama.

***

Masjid dan khutbah adalah dua sisi dari satu mata uang. Masjid seyogyanya menjadi pusat pusaran yang menarik setiap energi kaum muslimin menuju Allah dan Dunia-Akhirat yang hasanah. Masjid mesti menjadi tempat perumpamaan; bagai ikan di dalam aquarium" bukan perumpamaan "bagai burung dalam sangkar." Juga masjid, bukan tempat yang di jadikan ajang tarik-menarik kepentingan duniawi. Beberapa kasus, sering tidak disadari masjid dijadikan sebagai arena "kampanye" tidak sehat.

Setiap khatib, secara bertanggung jawab harus memainkan peran yang elegan melalui materi khutbahnya agar daya tarik masjid tetap prima dan tidak ditinggalkan pelan-pelan oleh penghuninya hanya karena materi khutbah yang tidak “menggigit”. Aku mengandaikan, ada baiknya dibangun kurikulum yang bisa mencetak para khatib yang mampu membuat orang rindu masjid dan selalu ingin cepat kembali pada-Nya setiap waktu, setiap Jum’at. Beberapa teman sering kali pilah-pilih. Memilih masjid A atau B. Bukan apa-apa, lagi-lagi karena sajian materi khutbah dan sang khatib.

Ciputat, 09 Maret 2007