Dalam catatan selanjutnya KH. Hasyim menjelaskan tentang makna wali. Tulis beliau, wali mempunya dua arti: Pertama, orang yang dijaga Allah dari berbuat dosa besar maupun kecil, dijaga dari melepaskan hawa nafsu sekalipun sekejap, Kalau pun berbuat dosa maka ia segera bertobat kepada Allah.
Kedua, Orang yang pengabdiannya terus-menerus tanpa di antara sesuatu, tanpa disela oleh sesuatu. Ini sesuai dengan ayat: Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa! Di ayat lain disebutkan: bahwa wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih. Mereka adalah yang beriman dan bertakwa (Bisa dibaca dalam Surat Yunus ayat 62063).
Kemudian, dibahas tentang syarat disebut wali yang sebenarnya. Terkait hal ini beliau menandaskan; “Sjarat penamaan wali ialah amaliahnja dalam pengabdian kepada Allah, baik hak Allah maupun hak sesama dengan menjaga dan tunduk pada perintah dan larangan Allah.” Untuk memperkuat jawaban ini beliau berlandaskan pada kitab Risalah Qusyairiyah dan kitab Nataa`ijul-Afkaar. Lebih lanjut, disebutkan bahwa syarat wali di antaranya harus mahfudz. Artinya, dijaga Allah dari berbuat maksiat, seperti halnya Nabi dijaga betul dari berbuat maksiat. Kalau Nabi ada istilah ma’shum, sedangkan wali adalah mahfuzh. Bedanya, kalau Nabi tidak munkin berbuat maksiat, sedangkan wali ketika berbuat maksiat, dia cepat bertobat.”
Setelah mengetahui beberapa syarat wali, KH. Asy’ari kemudian membahas tentang fenomena orang yang mengaku wali tapi tidak shalat lima waktu dan shalat Jum’at dengan tanpa khutbah. Mungkin sederhananya, mengaku wali tapi menyalahi syariat. Apakah orang seperti ini layak disebut wali.
Ini jawaban beliau;
“Tidak ada seorang walipun (djika ia benar2 wali) berbuat jang bertentangan dengan sjariat.” Beliau menukil Risalah Qusyairiyah yang menjeaskan bahwa orang yang berbuat bertentangan dengan syariat berarti telah dijerumuskan oleh hawa nafsunya.”