Perkenalan pertamaku dengan Maryam, seorang muslimah mualaf cantik kebangsaan Armenia, begitu simple dan tak ada yang istimewa. Suaminya adalah juga mualaf berkebangsaan Rusia, namanya Abdullah, atau nama aslinya Alexei. Abdullah merupakan rekan suami saya yang kami kenal karena sering sholat berjama’ah di Masjid Tatarsky di tengah kota Moskow.
Untuk pertama kalinya kami berdua berkunjung ke rumah Maryam, atau yang nama aslinya Maria. Maryam menyambut saya dengan pelukan yang hangat, walau baru pertama kali jumpa. Dengan ramahnya dia mempersilahkan kami masuk dan menjamu kami dengan makanan khas Rusia. Kami ngobrol dengan menggunakan 2 bahasa, Inggris dan Rusia karena saya belum begitu lancar berbahasa Rusia. Pada saat itu saya sedang hamil anak pertama dan Maryam begitu teruja dengan kehamilan saya. Tak henti-hentinya dia mengelus-elus perut saya. Memang mereka berdua belum dikarunia anak, saat itu saya hanya bisa mendoakan agar mereka segera dikaruniai. Mengingat usia Abdullah sudah memasuki kepala lima.
Saya melihat binar di mata Maryam ketika meminta izin beliau untuk melihat album foto yang ada di atas meja makan. Dengan senang hati Maryam memperlihatkan foto-fotonya kepada saya. Namun saya agak terkejut, ternyata itu adalah album foto semasa Maryam belum hijrah. Jadi yang ada adalah pemandangan foto beliau dengan pakaian yang seadanya. Saya berusaha memahaminya dan bertanya sekali lagi, apakah ia berkenan. Ternyata Maryam sangat senang dan begitu lancar menceritakan kisah masa lalunya yang tertera pada album tersebut. Dulu Maryam adalah mantan penyanyi pub dan tertarik kepada Islam saat berjumpa dengan Abdullah. Tak bosan saya mendengar ceritanya yang begitu penuh liku-liku saat mulai memeluk Islam. Apatah lagi saat cobaan datang silih berganti. Tapi tak nampak kesedihan di mata Maryam.
Tak sadar waktu menunjukkan maghrib. Aku mengajak Maryam untuk sholat di kamar berdua, karena suamiku dan Abdullah sudah sholat di ruang tamu. Tanpa bermaksud merendah, Maryam memintaku menjadi imam dan dia berdiri di sebelahku. Bait demi bait puisi cinta kepada Allah ku lantunkan. Saat rokaat terakhir itulah kudengar suara tangis Maryam. Jujur saja, kekhusyu’anku agak terganggu dengan tangisannya. Tapi aku kembali diingatkan bahwa bait yang kami lantunkan dan kepasrahan saat menghadap-Nya bisa membuat kita menangis dan tak berdaya.
Selesai sholat, kembali kulantunkan doa dan Maryam meng-aminkan sambil tergugu. Setelah itu ku peluk dia tanpa kata-kata. Maryam kembali menangis dan aku pun menangis. Aku merasakan tangisan Maryam adalah terjemahan perasaannya yang sedang gundah atau…. ah, aku tak tahu. Tangisan Maryam hanya Allah yang tahu. Tangisanku adalah sebagai gambaran betapa Maryam adalah seorang teman istimewa buatku. Teman yang bisa menyadarkanku bahwa tangisan merupakan bahasa yang bisa digunakan saat kita menghadap Allah. Bahasa tanpa kata yang tak mudah diterjemahkan. Bahasa cinta yang sememangnya patut kita kemukakan kepada Sang Khalik.
Maryam… tangisanmu dalam sholat membuatku menempatkan kau sebagai orang yang istimewa