Ya, kerinduan yang begitu menghunjam.Kerinduan yang rasanya tak akan bermuara lantaran sosok yang dirindu tak lagi nyata. Hanya mampu menggali kembali ingatan tentang segala pikir, ucap dan tindak bijaknya. Hanya mampu mengenang segala tetes air mata dan cucuran keringatnya yang tak menuntut balas. Atas segala pengorbanan dengan jiwa tulusnya, atas tauladan yang dilakukannya, atas kasih sayangnya yang seakan tak berbatas, kerinduan ini menggeliat.
Ibu, semoga Allah memperkenankanmu berada di tempat yang layak.
Lantas saja ayat-ayat itu seperti berkumandang, mengalun perlahan menelusup ke lubang telinga dan memenuhi rongga dada. "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS 46: 15)
Lantas saja pula titik-titik bening itu membasahi pipi, merenungi segala polah diri yang tak bersungguh-sungguh mengamalkan ayatNya. Tinggal berlarik-larik goresan sesal menyayati qolbu. Terbayang lagi semangat hidupnya yang berkobar membakar seluruh jiwa ini, meski terkurung dalam kelunglaian raga yang digerogoti usia dan segenap kesakitan. Tak sedetikpun terlewatkan olehnya untuk selalu memikirkan dan mendoakan kebahagiaan dunia-akhirat seluruh anak-menantu-cucu-cicit. Selalu mengalir kata-kata bijak dari antara bibir keriputnya untuk kami melakukan dua hal: mengaji Al-Quran dan mengaji rasa. Begitu sederhana terdengar namun begitu dalam aliran makna yang terkandung di dalamnya. Merenungi dan melakukannya laksana mengarungi lautan hikmah.
Mengaji Al-Quran adalah merenungi ayat-ayatNya, menelusuri dan menghimpun segenap makna yang terserak. Mensyukuri atas segala kondisi yang kami terima, karena ternyata jauh lebih baik dari kehidupan yang pernah dialaminya. Ya, kehidupan sebagai anak yang "terbuang" bersama seorang nenek yang papa. Kehidupan yang membuatnya menyimpan bergumpal "dendam"untuk memastikan itu tak dialaminya oleh kami, anak-anaknya.
Selaksa malam ia hamparkan sajadah yang dirajutnya dari tetesan keringat dan air mata untuk bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memohon keridoanNya menganugerahkan kehidupan yang jauh lebih baik bagi keturunannya. Selaksa siang ia lecut diri menapaki jalanan hari-hari menghimpun rizki Allah yang terhampar di antara langit dan bumi. Ibadah dan amal menjadi soko guru yang menancap kuat dalam alam pikir, ucap dan lakunya. "Bersyukurlah kepada Allah dengan segenap jiwa dan raga." Selalu saja ia mengingatkan kami. Dan kerinduan itupun lantas saja menuntut balas.
Mengaji rasa adalah merenungi amaliah yang kita dan orang lain lakukan. Mengibaratkan kehidupan sebagai sebuah gema; sekali kita teriak maka kita akan mendengar teriakan itu berkali-kali. Apa yang kita alami adalah apa yang kita lakukan. Apa yang kita terima adalah apa yang kita beri. "Kita merasa sakit kalau dicubit, maka janganlah sekali-kali mencubit orang." Lagi-lagi sebuah ungkapan yang begitu bersahaja namun, Masya Allah, memaksa kita untuk menelisiknya lebih jauh untuk terus membuka dan mempelajari selaksa makna yang terserak dalam kamus kehidupan.
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula." (QS 99: 7-8)Ya Allah, sungguh Engkau telah mengingatkan itu. Dan sungguh Engkau telah mengingatkannya lagi lewat perempuan yang Engkautakdirkan rahimnya kami huni hingga saat kami hadirke dunia.Kerinduan itu menggeliat makin kuat, menggumpalkan cairan bening di pelupuk mata. Terimakasih Allah telah Engkau kirimkan malaikat ke bumi untukku dan saudara-saudaraku. Meski kini telah Engkau panggil kembaliia ke haribaanMu.
***
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS 7: 179)
Astaghfirullah, semoga diri terhindar dari sifat-sifat yang demikian. Kesadaran itu Allahhadirkan melalui proses kehamilan dan kelahiran putri kami –buah cinta kami yang ketiga — setahun yang lalu. Kehamilan yang pada bulan-bulan awal berjalan dengan baik seperti biasanya, mulai "menggoda" kami ketika memasuki bulan ke tujuh. Berita itu belum mengguncangku, "Ayah, Ibu mengalami pendarahan, tapi sudah diperiksakan ke dokter dan disarankan untuk istirahat. Ibu takut, Ayah."
Aku masih bisa menjawab dengan tenang, "Tidak apa-apa. Pasrahkan saja semua kepada Allah. Moga semua berjalan normal." Hanya sedikit was-was yang tersisa ketika kutekan tombol "Akhiri Panggilan" di pesawat telepon genggamku sambil meyakini diri bahwa semuanya memang akan baik-baik saja.Ketakutan dan kekhawatiran isteriku bisa kupahami.Itu adalah kali pertama ia hamil ketika aku berada berpuluh-puluh kilometer dari rumah.
Tiga tahun yang lalu aku pindah kerja keluar kota untuk menggenapkan ikhtiar dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kami berpisah, karena isteriku punya aktivitas yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Hampir seminggu sekali kami bertemu. Itu juga kehamilan pertama isteriku tanpa kehadiran ibuku, sosok perempuan yang begitu kasih dan perhatian pada anak dan menantunya terlebih dalam keadaan hamil. Maklum saja, mengalami 12 kali hamil telah mengajarkan banyak hal padanya dan dengan bijak ia kabarkan pada kami. Kehilangan itu makinkami rasakan.
Allahu Akbar! Ternyata Allah mengingatkan kami dengan peristiwa yang tak pernah kami duga. Pendarahan itu adalah awal dari kejadian serupa yang berlangsung tiga kali berturut-turut dalam satu bulan. Isteriku mengalami placenta previa (plasenta yang berada di bawah dan menghalangi jalan lahir, sehingga jika janin bergerakselalu bergesekan dengan plasenta dan mengakibatkan pendarahan). Kami adalah hamba yang lemah, terkejut dan menyeruakkan beribu tanya: kenapa? Astaghfirullah! Semestinyalah aku bersyukur bahwa Allah Maha Kasih dan Sayang menunjukkan tanda-tanda kebesaranNya dengan begitu terang benderang.
Segera saja aku bersimpuh di hadapanNya menyadari betapa tak berdayanya diri. Siklus yang klasik atas nama manusiawi: mengakui keberadaan Allah sebagai Dzat yang Maha Kuasa ketika dirundung kesusahan dan kesedihan, namun segera saja melupakanNya ketika telah diperolehnya kelapangan dan kejayaan. Astaghfirullahal adziim. Laa hawla wa laa quwwata illa billahil ‘aliyil adziim. Kerinduan yang pernah melintas itu kian menguatkan keberadaannya. Ibu, betapa banyak sudah ucap dan lakuku yang menyakiti hatimu. Betapa banyak jua petuahmu yang tak kuhiraukan. Walau selalu dan selalu kau bentangkan kedua tanganmu setiap saat diri ini tersungkur karena polah diri. Kasih dan sayangmu mengiringi setiap langkah diri untuk selalu kembali padaNya. Ya Allah, untuk ke sekian kali, aku mohon dengan sangat, berikan tempat yang layak untuknya.
Dan, saat itupun tiba. Seiring dengan berkumandangnya adzan Maghrib pertama di Bulan Ramadhan, isteriku mengalami pendarahan hebat pada kehamilannya yang memasuki bulan ke delapan lebih dua minggu. Aku yang baru saja menunaikan solat Maghrib nanar menatapnya, belum pernah melihat darah sebanyak dan sederas itu. Segera saja, bersama seorang tetangga aku bawa isteriku ke rumah sakit.
Setelah segala tetek bengek administrasi aku bereskan, isteriku mendapat pertolongan pertama sebelum dibawa ke bagian kebidanan. Dokter kandungan yang selama ini menangani kehamilan isteriku memberikan vonis sudah kuduga sebelumnya: SC! Maka, segala persiapan pun segera dilakukan. Pukul 22.00 akumengiringiistriku yang telah terbaring di atas tempat tidur dorong ke ruang operasi. Bersama ibu mertua aku menunggu di luar. Bibirnya terus bergerak melafazkan selaksa doa yang diingatnya demi keselamatan anak-cucunya; isteri dan anakku. Mulai dari sholawat Nabi, Al-Fatihah, ayat kursi, Yaasin, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan banyak lagi.
Meskipun secara fisik jauh berbeda, namun menatap sosoknya serta merta menggedor ingatanku akan sosok perempuan yang telah melahirkanku. Dan itu lantas menggerakkan seluruh ragaku untuk bersimpuh di pangkuannya. "Pangapunten kula, Mi. Kula sekluarga sampun nyusahaken Mimi sareng Mama." (Maafkan saya, Bu. Saya sekeluarga telah menyusahkanIbu dan Bapak.) Tak terasa pipiku basah juga kain yang dikenakan ibu mertuaku. "Sami-sami. Wis aja nangis. Pasrahaken bae ning Gusti Allah." (Sama-sama. Sudah jangan menangis. Pasrahkan saja kepada Allah.) Duh, kata-kata itu juga yang sering meluncur dari bibir ibuku.
Pukul 22.30 seorang perawat keluar dari ruang operasi dan menyampaikan kabar baik itu: isteri dan anakku selamat! Alhamdulillah! Allahu Akbar! Segera saja aku cium tangan ibu mertuakudan berlari ke ruang perawatan bayi sementara isteriku masihberada di ruang operasi untuk mendapatkan penanganan terakhir. Aku melihat sosok mungil itu dan sungguh takjub. Ya Allah, terimakasih atas segala anugerah dan peringatanMu. Aku mendekatinya, mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kirinya, tak henti-henti memandangi dan mengagumi kehadirannya dalam kekaguman akan kebesaran Allah.
Dan ayatNya terngiang di telingaku: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS 94: 5-6) Mungkin aku akan lebih lama lagi mematung di situ kalau saja perawat tak menegur dan mengingatkanku. Putriku akan diberikan penanganan lebih lanjut. Perlahan aku meninggalkan ruangan itu sambil memahatkan sebaris nama dalam ingatanku: Azizah Ramadania. Semoga putriku kelak tumbuh menjadi wanita yang perkasa dan pembela kebenaran. Setelah itu aku kembali ke ruang operasi untuk mengiringi isteriku yang akan dibawa ke ruang perawatan.
Kini, hampir delapan bulan berlalu dari peristiwa itu. Anakku tumbuh menjadi putri kecil yang montok dengan berat sembilan kilogram. Subhanallah! Rasa takjub itu terus mengalir melihat sosoknya yang sangat mirip dengan ibuku, baik wajah maupun bentuk tubuhnya. Terimakasih ya Allah.
(Berbahagialah kita yang masih memiliki orang tua terutama ibu, berarti kita masih diberi kesempatan untuk berbuat baik kepadanya. Kita tidak akan membayangkan betapa besar rasa kehilangan itu tanpanya.)
Jayagiri, April 2008