Hambar, hampa dan gelisah seakan ruh ini tak hidup. Mata menatap kosong mencari satu titik kepastian. Pikiran berputar menerka jalan kembali pulang. Hati meronta meminta rasa yang amat menguras iman ini cepat pergi jauh. Tak pernah singgah dan merajai lagi. Lelah rasanya hidup seperti tak punya arti, hanya mengalir di aliran air yang tenang. Mengambang, tak pernah mengahadapi arus dan melawannya. Langkah melawanpun dimulai dengan berjalan lamban dan merunduk dalam, menerawang dengan mata tertutup. Meski batin ini terus berperang, namun zona aman yang menyesati begitu kuat mengikat hati.
Marah, bingung dan terpuruk. Semua menyatu tersihir menjadi kefuturan yang menyeruak hati dan mendominasi. Hati sudah tak dapat lembut seperti sediakala, batinpun tak dapat lagi merasakan ketenangan karena selalu saja menyeru “Lelah, lelah dan lelah.”
Sendiri menyepi salah satu langkah yang dapat diambil ketika sedang berada dalam puncak kelelahan. Entah lelah karena padatnya aktifitas perkuliahan dan tugas yang makin menumpuk. Ataukah amanah yang kian menekan pundak tanpa sandaran bahu sahabat. Atau mungkin kondisi kesehatan yang semakin rentan karena sudah tak dipedulikan. Hingga timbul keinginan agar sejenak mundur selangkah. Sejenak saja agar rasa lelah ini terkikis.
Namun semakin kaki ini melangkah mundur maka makin terasalah hati ini seperti orang yang berlari dari rahmat-Nya. Naudzubillah. “Berlari dari rahmat-Nya”. Ya, Memang seperti itu adanya!
Uring-uringan memikirkan jalan keluar agar terlepas dari rasa hidup yang hampa dan hambar. Merenung berhari-hari tak dapat menemukan jalan keluar. Menangis di sepertiga malampun seperti sia-sia karena sudah tak dapat lagi merasakan nikmatnya bercengkrama dengan Sang Pemilik Hati. Rupanya ketika futur tengah merajai, hati pun menciut dan berkarat bahkan mengeras dan membeku. Sakit rasanya diterpa keadaan yang seperti itu.
Ingin sekali teriak sekeras-kerasnya! Agar Allah cepat-cepat membuang penyakit hati ini. Tak kuasa membawa beban pikiran yang berat bak memikul beton, akhirnya merebahlah di lantai atas masjid kampus tak beralas. Pikiran malayang terbang, mata menerawang ke atap langit. Tiba-tiba terngiang firman Allah Q.S Ar-Rad ayat 11 “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” Meneliksik ayat tersebut, seakan-akan menyalahkannya tanpa mengintropeksi diri. Rasa-rasanya berbagai macam telah dilakukan agar futur yang tengah mearajai sirna dan tak pernah hinggap di hati ini sia-sia saja dilakukan. Kini timbul penyakit hati lain, berperasangka buruk terhadap Sang Ilahi. Astagfirullah.
Apakah Alah telah pergi meninggalkan hati yang tengah futur ini seorang diri?
Kemana perginya Allah kala hambanya sedang dilanda nestapa?
Apa sudah mulai bosan, hingga tak mau lagi mendengar jeritan hati orang yang diterpa kefuturan?
Harus bagaimana menghadapinya ya Allah?
Lelah sekali rasanya!
Gigi beradu menggeram. Ingin rasanya marah, tetapi bingung. Emosi berada diubun puncak. Ingin sekali menumpahkannya. Namun tetap disimpan dalam diam, mungkin karena teringat izzah seorang wanita muslim yang kental dengan balutan rasa malu. Akhirnya hati ini tergerak untuk berwudhu agar sejanak emosi meredam. Dilanjut dengan membuka firman-Nya dalam surat At-Taubah dengan maksud meminta maaf atas prasangka-prasangka yang telah tersirat dalam hati.
“..Laa Tahzan InnALLAHa ma’anaa..” sepotong ayatnya tiba-tiba mampu mengikis habis keterpurukan yang tengah merasuk dengan seketika. Entah sudah menemukan jawaban atas segala keresahan qalbu atau merasa sedikit tertampar dengan sepotong ayat yang mampu menicptakan bulir-bulir bening yang mengalir disudut mata.
Makin menilik terjemahannya “…Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita…” semakin kaku lidah ini untuk bertutur, bahkan bahupun turut berguncangg mengikuti irama isakan rasa syukur karena telah membasahi qalbu yang gersang oleh pilunya hidup.
Astagfirullah. Begitu banyak dosa dan kesesatan yang dengan nikmat terus saja dijalani, tanpa ada rasa salah. Hingga tiba kehampaan menerpa, keresahan datang tak bertepi baru tersadar. Ucap syukur tak ada henti sambil berlinang butir air mata, karena Allah Sang Penguasa Hati telah mengembalikan kepada cahaya-Nya yang sempat padam oleh kefuturan yang telah menenggelamkan hati.
Rupanya Allah selalu ada. Sekejam apapun keterpurukan itu datang menyerbu. Senantiasa Allah menjaga dan menjadi pelipur. Hanya terkadang kita lupa dan bahkan tidak peduli. Allah selalu ada sebagai tempat haribaan pertama dan terakhir.
Mirna Hermawati