”Sekolah sekarang mahal banget, ” ujar seorang kawan di seberang telepon. Kawan saya tersebut tahun ini menyekolahkan anaknya di sebuah TK. Di Surabaya, biaya masuk TK saja bisa mencapai jutaan. Itu baru tingkat TK. Bisa dibayangkan betapa pusingnya para orang tua yang menyekolahkan anaknya di tingkat sekolah dasar, menengah, ataupun perguruan tinggi.
Wajar bila kawan saya itu –dan mungkin para orang tua lainnya– mengeluh. Tidak hanya mahalnya biaya SPP yang banyak dikeluhkan para orang tua. Tapi, sulitnya mendapatkan buku murah untuk siswa juga menambah daftar penderitaan orang miskin. Pemerintah pun mulai memberikan solusi dengan program e-book yang bisa diunduh lewat internet. Harapannya, siswa bisa mendapatkan buku murah dengan e-book tersebut. Namun, benarkah faktanya demikian?
Saya kira, tidak semua sekolah, khususnya sekolah dasar, memiliki fasilitas komputer. Kalaupun ada, fasilitasnya tentu terbatas. Di Surabaya, tidak banyak sekolah dasar yang punya fasilitas lab komputer, kecuali sekolah swasta yang biayanya mahal. Bisa dibayangkan, bagaimana mengunduh e-book jika tidak ada komputer dan internet?
Alih-alih memberikan solusi, justru solusi tersebut terkesan tidak efektif. Ini baru di Surabaya, belum daerah-daerah terpencil lainnya. Kalau buku saja tak mampu terbeli, bagaimana cara mencerdaskan bangsa tanpa membaca? Pendidikan murah hanya sekadar wacana tanpa pernah bisa terealisasi. Maka, saya berkata dalam hati, ”Betapa sulitnya mendapatkan pendidikan yang layak di Indonesia.”
Pada Juli 2003, saya mengikuti KKN di Kecamatan Bagor, Nganjuk. Ada pengalaman yang tak bisa saya lupakan ketika itu. Kebetulan, tim kami yang terdiri atas sepuluh orang bertugas mengajar di sebuah sekolah dasar di Desa Pesudukuh. Jika pagi, kami secara bergantian mengajar di sekolah tersebut. Bila petang, kami memberikan les tambahan kepada para anak penduduk di desa tempat kami tinggal. Saat itu, ada hal yang menarik perhatian kami. Ada salah seorang siswa kelas 5 SD yang masih belum bisa baca.
Terus terang, saya dan teman-teman kaget. Hal tersebut baru kami ketahui ketika kami memberikan les. Saya bertanya-tanya, ”Bagaimana mungkin itu terjadi? Kalau ndak bisa baca, kok siswa tersebut bisa naik kelas?” Lantas, saya melakukan kroscek di sekolah tempat kami praktik mengajar di desa itu. Ternyata, alasan siswa tersebut bisa naik kelas karena rasa kasihan dari gurunya.
Saya juga baru tahu kalau pendidikan tertinggi di sekolah dasar itu hanya disandang oleh kepala sekolahnya, yakni diploma. Sedangkan para gurunya waktu itu kebanyakan lulusan SMA. Mereka mengaku bahwa pendidikan di daerah tersebut memang jauh tertinggal, sedangkan perhatian dari pemerintah setempat masih kurang.
Suatu pagi, saya iseng berkunjung ke beberapa penduduk setempat. Saya menyaksikan mereka bekerja giat di sawah. Ada petani yang menyemai padi. Ada pula petani yang sibuk memupuk tanaman sayurnya. Hamparan padi menjadi pemandangan indah yang tak akan saya temui di kota. Saya menyempatkan berbincang dengan salah seorang ibu yang menjadi buruh tani di desa tersebut.
Tentang pendidikan, ibu itu mengaku tidak punya keinginan muluk-muluk bagi putranya yang juga saya ajar di sekolah dasar desa tersebut. ”Sing penting, bisa lulus SD wis cukup Mas, ” jawab beliau. ”Anak saya bisa sekolah saja, saya sudah sangat bersyukur, ” ujarnya dalam bahasa Jawa yang kental. Di lain kesempatan, saya menjumpai seorang bocah berumur tujuh tahunan sedang ngarit rumput. ”Buat makan sapi Mas, ” ucapnya ketika saya tanya.
Saat saya bertanya kenapa tidak sekolah, dia menjawab polos, ”Bapak kulo mboten nggadah duwit damel sekolah.” (Ayah saya tidak punya uang untuk membiayai sekolah). Saya hanya bisa termangu dan membayangkan betapa sulitnya mendapatkan pendidikan bagi orang miskin. Kini, tidak hanya biaya sekolah swasta yang mahal. Tapi, biaya sekolah negeri juga kadang tak terjangkau oleh sebagian orang tua, apalagi bagi kaum menengah ke bawah.
Yang sangat memprihatinkan, anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu secara ekonomi justru yang paling banyak dirugikan karena mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, mereka terpaksa masuk sekolah yang minim fasilitas dan bermutu rendah. Dampaknya, hasil studi mereka pun tak bisa mencuat.
Masuk sekolah favorit bagi mereka hanya jadi impian. ”Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sebelum dia ditanya tentang empat hal: tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia rusakkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan untuk apa dia menafkahkannya, serta tentang ilmu yang dia amalkan.” (HR At-Tirmidzi)
Maka, bisa disimpulkan bahwa pendidikan itu sangat penting dan menjadi hak setiap orang. Jangan lagi mengimpit orang miskin karena mahalnya biaya sekolah untuk anak-anak mereka. Angka-angka pengangguran sebagian di antaranya disebabkan oleh minimnya bekal pendidikan mereka. Bahkan, bagi sebagian rakyat kecil, mencari makan saja susah, apalagi membiayai anak sekolah. Subhanallah. Di luar sana, masih banyak anak putus sekolah. Maka, tidak ada salahnya jika kita menyisakan sebagian dari rezeki kita untuk berinfaq kepada anak yatim dan orang miskin.
”Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ’Berilah kelapangan dalam majelis’, maka lapangkanlah. Niscaya, Allah akan memberikan kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ’Berdirilah kamu’, maka berdirilah. Niscaya, Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujaadilah: 11). [email protected]