Lebih lanjut, dinukil dari kitab Ihya ‘Ulumi ad-din. dijelaskan mengenai pengertian ulama su’ dan bagaimana kedudukan mereka di mata Allah. Berikut radaksinya:
ونعني بعلماء الدنيا علماء السوء وصفهم بذلك لخسة منزلتهم عند الله تعالى ودناءة همتهم حيث استعملوا ما به يمدح فيما يذم وهم (الذين قصدهم من) تحصيل (العلم التنعم بالدنيا) والترفه بزخارفها بتزيين المنازل بالفرش الطيبة وتعليق الستور عليها وتزيين الملابس الفاخرة والتجمل بالمراتب الفارهة (والتوصل) بذلك (إلى الجاه والمنزلة) الرفيعة (إلى أهلها) أي الدنيا
“(Yang kami maksud dengan ulama-ulama dunia adalah ulama jahat) Imam Al-Ghazali menyifati mereka demikian karena kerendahan kedudukan mereka di sisi Allah dan kehinaan semangat mereka di mana mereka menggunakan sesuatu yang terpuji untuk sesuatu yang tercela. Mereka adalah orang (yang dengan) meraih (ilmunya bertujuan untuk kesenangan dunia,) hidup senang dengan perhiasan dunia, yaitu menghias rumah dengan permadani mewah, menggantungkan gorden padanya, menghiasi diri dengan pakaian luks, dan memperindah rumah dengan kasur yang elok, (mendapatkan) dengan ilmunya (pangkat dan kedudukan) yang tinggi (pada penduduk) dunia.”
Alhasil, jika dipergunakan untuk mendapatkan kepuasan dunuawi saja, maka ilmu, sopan santun, dan kearifan itu sirna dari sosok tersebut. Sebaliknya, jika tiga hal tersebut dipergunakan dalam urusan akhirat dan meninggalkan urusan kepuasan duniawi, maka inilah yang digadang-gadang sebagai pewaris Nabi (warasatul anbiya), yaitu mereka yang berilmu dan memegang teguh kepada Alquran dan hadis.
Demikian ditulis Alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang, Silmi Adawiyah, sebagaimana dilansir dari laman Tebuireng pada Rabu (11/3/2020). (Okz)