Kesan Pertama

Kali ketiga aku berlibur di Koh Chang (Koh=pulau Chang=gajah) sebelah tenggara kota Bangkok bersama anak-anak, suami dan orang tua tercinta. Kami harus menggunakan kapal ferry  untuk mencapai pulau. Di luar dugaan, kami cukup tersentak oleh lenggokan kapal yang bagai menari ke kiri dan kanan diterjang ombak yang cukup besar selama kapal menyeberangi laut. Ciut dan mual aku dibuatnya.

Kami tiba di penginapan sore hari. Keesokan pagi selesai sarapan, aku melangkahkan kaki menuju tepi pantai yang berada tidak jauh dari tempat kami sarapan. Tak seperti biasanya, ombak bergulung-gulung mengeluarkan suara desiran yang menakutkan, tak ada salam persahabatan untuk sekedar menyapa kedatangan kami. Jangankan berenang, menyentuh air di pinggir pantaipun rasanya tak mungkin. Bendera warna merah terpancang kokoh tepat di pintu pagar hotel yang menuju pantai menandakan larangan keras untuk bercengkerama dengan air.

Pantai, kau selalu memukau dan mampu membiusku untuk datang lagi dan berkunjung lagi bertadabbur alam. Itulah pantai, kadang ombakmu begitu tenang dan lembut merayu namun kadang kau begitu ganas seakan siap menelan apapun dan enggan untuk disentuh.

Sejauh mata memandang hanyalah air yang disertai tiupan angin kencang dan hebatnya deburan ombak bersautan. Aku teringat kembali akan sepenggal kisah di televisi tentang seorang lelaki tuna netra berkulit putih dari benua Eropa yang baru saja menjalani operasi cangkok mata sehingga kini ia dapat melihat indahnya dunia setelah lebih dari 40 tahun merasakan dunia dalam keadaan gelap dan meraba-raba. Subhanalloh, aku begitu terpesona dengan kesan pertamanya kala ia memandang lautan yang terbentang luas di hadapannya. Takjub, itulah gambaran dalam hatinya yang bergejolak bagai dahsyatnya gelora ombak di pantai. Air matanya deras mengalir, bibirnya bergetar hebat sambil terus berkata “water….water…water is everywhere” (air…air…air di mana-mana).

Kesan pertama begitu menggoda, seperti bunyi slogan salah satu iklan sebuah produk. Kesan pertama begitu menggetarkan jiwa. Seperti yang dirasakan lelaki tadi saat pertama melihat salah satu dari sekian juta kebesaran Illahi Yang Maha Sempurna dalam mencipta. Bagaimana dengan kita? Coba bandingkan pria tadi yang baru saja mengecap nikmatnya melihat dunia dengan hidup kita yang telah bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun bertabur nikmat melihat indahnya warna-warni makhluk ciptaan Sang Kholik. Adakah tetesan air mata haru saat melihat Kebesaran Illahi Rabbi? Deraskah air mata kita mengalir saat melihat ombak bersautan?

Kesan pertama begitu membekas, bagaimana dengan kesan berikutnya? Kesan selanjutnya, terserah anda. Begitu kira-kira lanjutannya. Ya, kesan berikutnya memang terserah kita. Akankah nikmat yang telah banyak kita terima menambah keimanan dan ketaqwaan kita kepada Sang Pemberi Nikmat? Akankah kesan pertama menjadi titik awal untuk memacu rasa syukur kita sebagai hamba-NYA? Atau malah sebaliknya, karena terbiasa dengan nikmat membuat kita menjadi lalai?

Layaknya seorang atlet renang yang semakin sering berlatih akan semakin menambah keahliannya berenang. Begitu pula seharusnya dengan kita, semakin banyak nikmat yang kita terima seharusnya semakin menambah ketaqwaan dan rasa syukur kita kepada ALLOH SWT. Namun kenapa tak sedikit orang yang lalai?

"…….Sesungguhnya ALLOH mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur." (QS 2 : 243).

Senja menjelang Koh Chang, matahari perlahan masuk ke peraduan. Gradasi warna yang memukau tanpa noda nampak begitu serasi saat surya tenggelam ditelan air laut.  Abu, biru, orange, merah menghias alam sekitarku. Burung-burung camar kembali ke sarangnya. Tak ada satu pun ciptaan-MU yang sia-sia. Engkau Maha Sempurna….Maha Indah…….

Jadikanlah hatiku, hati kami, hati yang lembut yang selalu tergetar menangis akan Kebesaran-MU ya RABB….
Jadikanlah kesan pertama menjadi titik awal syukur kami yang akan menambah titik-titik syukur lainnya sehingga titik-titik itu membentuk garis, kemudian membentuk kata, dan kemudian membentuk kalimat, kalimat-kalimat dzikrullah…. agar hati kami menjadi hati yang lembut. Aamiin.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran ALLOH) bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat ALLOH sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) “ Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS 3 : 190-191).

Wallohua’lam bishshowaab.

(mkd/bkk/29-09-2009)