Mendung hitam tampak menggelayut di atas langit Sengata. Bisa di prediksi tak lama lagi bakal turun hujan deras. Angin yang berhembus kencang, dan cahaya kilatan petir beberapa kali membelah langit yang kelihatannya semakin gelap saja. Saya pandangi lekat-lekat jam dinding yang menempel tepat beberapa meter dari meja kerja saya. Kurang lima menit lagi jam lima, waktu pulang yang telah ditetapkan perusahaan tempat saya bekerja. Meja sudah saya rapikan dan posisi saya sudah siap untuk pergi. Ya, saya harus bergegas, karena setiap hari Selasa sore, saya akan bertemu dengan sahabat-sahabat saya di sebuah taklim pekanan.
Musik tanda pulang yang keluar dari mesin check clock, sayup-sayup terdengar. Saya langsung bergegas keluar ruangan. Dalam hati berharap, semoga hujan masih mau menunggu hingga saya sampai di tujuan. Apalagi saya belum tahu di mana alamat rumah sahabat yang akan saya tuju kali ini. Maklum, saya adalah anggota baru di kelompok taklim tersebut, setelah sebulan lalu di adakan rotasi posisi untuk masing-masing orang. Tujuannya tentu saja agar kami dapat lebih berpedar dengan ilmu yang kami miliki masing-masing. Selain terciptanya suasana yang lebih fresh dan mendapat sahabat baru lagi tentunya.
Saya baru beranjak beberapa meter dari depan kantor ketika air dengan butiran besar-besar dan deras jatuh tak terbendung. Seketika kabut menyerbu kaca mobil karena derasnya, kedua wiper yang melenggak lenggok bagai tak mampu membantu mata saya menembus derasnya hujan yang mengguyur. Jalanan yang saya lewati perlahan mulai lenggang. Satu per satu motor dan pejalan kaki menepi untuk menghindari guyuran air yang semakin deras mengalir. Beberapa menit kemudian, saya tiba di Gang Family, di mana sahabat baru saya, mba Lamsiah itu tinggal. “Masuk gang Family IV, lurus ada jembatan lalu belok kanan, rumahnya tak jauh dari situ”. Begitulah instruksi yang saya dapatkan pekan kemarin.
Perlahan namun pasti, saya mengikuti arahan tersebut. Masuk lurus hingga mentok lalu belok ke kanan, setelah melalui jembatan, saya belok lagi ke kanan. Mobil saya parkir tepat di depan sebuah rumah yang ada beberapa motor parkir di halamannya. Tumpukan sandal juga terlihat di depan pintu masuk. Pastilah di sini tempatnya, pikir saya. Dengan percaya diri, saya langsung turun menerjang deras hujan yang terus mengguyur. “Alhamdulillah. Akhirnya ketemu juga nih rumahnya”, hati saya berteriak girang. Seorang ibu dengan baju seksi dan rambut pendek muncul dari balik pintu, menyambut salam saya. Tentu saja ia bukan sosok yang saya cari. Koq bisa salah ya? Rasanya saya sudah mengikuti instruksi yang diberikan pekan kemaren deh. Saya bertanya-tanya sendiri sambil kembali berlari ke dalam mobil. Completed sudah. Basah kuyup, rumah salah sasaran, dan dapat jawaban yang merontokkan hati. Menurut ibu itu, jangankan mengetahui rumahnya mba Lamsiah, mendengar nama sahabat saya itu saja, baru kali pertamanya.
Beberapa menit saya hanya terdiam dalam mobil. Saya lalu bergerak pelan, sambil mata saya menyapu sekeliling, berharap ada seseorang yang lewat di jalan yang sudah mulai becek (karena jalan di gang tersebut memang hanya berhias batu merah, tanpa aspal), ataupun sekedar berdiri di teras rumah mereka. Sepi. Mungkin mereka lebih memilih berkumpul bersama keluarganya di dalam rumah yang hangat, sambil minum teh dan temani sepiring cemilan. Memang pilihan yang tepat untuk suasana dingin seperti sekarang, pikir saya menerawang. Dengan keadaan basah dan kedinginan, terbersit juga rasa ingin menyerah dalam hati ini. Namun, segera saya tepis kehadirannya. Bukan Karena kepalang basah, yang benar-benar basah. Namun karena ada rasa rindu yang menohok dalam hati. Bayangan wajah sahabat-sahabat saya berkelebat. Membuat saya tersadar, untuk bersegera melanjutkan pencarian.
Saya bersiap untuk berputar kembali. Mencoba melewati lagi rute yang tadi sudah saya lalui. Alhamdulillah, akhirnya saya bertemu dengan seorang ibu yang kebetulan berdiri di depan teras rumahnya. Hujan masih deras. Membuat saya kembali kuyup karena harus keluar dan menyambanginya untuk kembali bertanya. Namun perjuangan saya tidak sia-sia. Ibu itu mengetahui di mana rumah mba Lamsiah. Ternyata rumahnya di gang Family IV, sebelum jembatan, di sebelah kanan. Bukan di gang Family IV, lurus ada jembatan lalu belok kanan seperti yang saya tangkap sebelumnya. Ibu itu juga memberitahu, bila di lingkungan gang tersebut, para ibu lebih terkenal dengan embel-embel nama anaknya. Misalnya ‘mama Alif’, ‘mama Dina’ dan sebagainya. Nama ibunya sendiri memang tidak terkenal. Ah, ternyata …
Alhamdulillah. Akhirnya saya bertemu dengan apa yang saya cari. Setelah dua kali berputar-putar mengelilingi gang tersebut. Mba Lamsiah dan sahabat yang lain sudah duduk melingkar di ruang tengah, tempat taklim berlangsung.Salam hangat, jabat erat dan senyum manis menyambut kehadiran saya. Sedikit lelah berkeliling dan rasa dingin yang melingkupi saya menguap seketika. Subhanallah! Allahu Akbar!
Waktu telah menembus batassore. Langit mulai gelap dan hujan masih deras mengguyur. Suasana diluar nampak beku. Namun tidak begitu dengan kami. Kerinduan yang menyala dalam hati untuk saling bertemu, tak terbendung dengan kebekuan sekalipun. Taklim kami tetap berjalan lancar, diskusinya sangat hidup dan mencerahkan. Secuil waktu yang tersisa, berlalu dengan nikmatnya. Alhamdulillah. Begitulah ukhuwah yang terbangun karena kecintaan kepadaNya. Aromanya selalu dapat menebarkan kerinduan dalam setiap hati kami, berharap agar dapat bertemu kembali di setiap pekannya. Insya Allah!
"Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya oleh para sahabat, Rasulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah" (Hadist riwayat Tirmidzi )
* Untuk semua sahabat di taklim ‘Khodijah’, semoga jalinan ukhuwah di antara kita semakin bertambah erat. Amiin…
http://yunnytouresia.multiply.com