Hari ini anak kedua saya, Nasywa, mogok sekolah. Sambil menangis dia bilang “capek, jalannya jauh!”. Istri saya juga tidak terlalu kuat melihat air matanya, dia juga ikutan berurai air mata. Memang sekolahnya cukup jauh, bukan hanya untuk anak berumur 3,5 tahun seperti Nasywa, bahkan untuk ukuran orang dewasa. Jarak yang harus kami tempuh dengan jalan kaki dari rumah ke sekolahnya kurang lebih 2,5KM, total sekitar 5KM setiap hari Nasywa harus berjalan kaki.
Di kampus saya ceritakan hal ini pada teman dari Minnesota. Dia malah mengatakan perjalanan kami belum seberapa, karena anak tetangganya yang kelas 1 SD harus berjalan kaki sejauh 7KM atau 14KM setiap harinya. Dan itu bukan satu dua anak katanya, melainkan banyak yang seperti itu. Rupanya berjalan kaki untuk jarak yang jauh adalah hal biasa di sini.
Saya perhatikan, anak-anak di Tokyo memang tidak pernah dimanja orang tuanya. Pernah di kereta, ada anak lebih kecil dari Nasywa tertidur, ketika kereta sampai, dia dibangunkan dan disuruh jalan oleh orang tuanya. Sementara saya memilih menggendong Nasywa yang juga tertidur di kereta. Pernah juga saya melihat anak kecil menangis minta gendong karena lelah berjalan, tapi orang tuanya lebih memilih berhenti dan membiarkan anak itu istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Orang jepang lebih memilih membantu anaknya untuk mampu menolong dirinya sendiri dari pada harus memberikan pertolongan secara langsung. Mereka mengajarkan anak-anak mereka untuk mandiri dan bersikap keras pada dirinya sendiri. Bahkan mereka di ajarkan untuk tidak mentolelir rasa lemah dan lelah meski penuh air mata.
Saya teringat pesan teman saya saat bertemu dalam sebuah acara di Yogya beberapa tahun lalu. Dia mengingatkan “kalau kita keras pada diri sendiri, dunia akan lembut pada kita. Sebaliknya, kalau kita lembut pada diri sendiri, dunia akan keras pada kita”. Awalnya saya tidak terlalu memikirkan perkataan ini, namun belakangan, dalam perjalanan kehidupan yang saya lalui, saya menemukan banyak kebenaran dalam pesan ini.
Saya teringat teman saya saat SMA dulu, waktu kami ajak belajar bersama dia memilih main bola, nonton TV atau pergi ke dindong (game center zaman dulu). Dia memilih bersikap lembut, memanjakan dirinya dengan berbagai hiburan, dari pada harus bersikap keras untuk menahan kantuk, melawan malas, dan berusaha belajar keras. Saat reuni, teman saya tadi banyak bercerita mengenai kerasnya kehidupan, Sampai hari ini dia selalu menyesal, mengapa dulu lebih memilih jalan yang “menyenangkan”. Dia selalu bilang, “benar kata pak Sri (guru bahasa kami), berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”.
Saya melihat orang-orang di jepang telah dilatih untuk bersikap keras pada diri sendiri sejak kecil. Mereka disiplin, gigih dan pekerja keras. Mereka berusaha untuk mampu mengalahkan segala ketidakmampuan mereka, pantang menyerah untuk mencapai apa yang ingin mereka capai. Mereka berfikir dan bekerja keras untuk menaklukan kondisi alam yang tak bersahabat, mengatasi berbagai halangan cuaca dan munundukkan gempa.
Kini, dunia sangat ramah pada mereka, rela memberikan apa saja yang mereka tidak punya. Negeri mereka menjadi tempat yang nyaman untuk dihuni. Mereka mendapatkan sumber energy dengan mudah dan murah dari Indonesia, sementara kita sebagai pemilik malah tak mampu menikmatinya. Mereka nikmati produk-produk pertanian dan perikanan terbaik dari Indonesia, sementara rakyat kita justru tak pernah menemukannya.
Benarlah ketika Allah SWT mengatakan, ”Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya.”(QS.An-Najm:39-40). Hari ini masyarakat jepang menikmati segala keberlimpahan, tentu ini adalah hasil dari apa yang telah mereka kerjakan. Jika hari ini Allah memperlihatkan wajah alam yang tak bersahabat dengan bangsa kita, dunia yang penuh bencana, kehidupan yang keras dan penuh air mata, boleh jadi ini juga hasil dari pilihan kita sendiri.
Semoga bangsa kita mau segera berubah menjadi bangsa perkasa, yang tidak gampang menyerah, tidak gampang dikalahkan oleh rasa kantuk dan malas, tidak mudah takluk oleh rasa lelah, tidak gampang tunduk oleh perasaan lemah dan tak berdaya, tidak mudah bertekuk lutut oleh uraian air mata.
Dalam salah satu syairnya Iwan Fals pernah mengatakan, “Jalan masih teramat jauh, tak mungkin berlabuh, bila dayung tak terkayuh.” Ya..jalan masih teramat jauh bagi bangsa kita untuk bisa menikmati segala keberlimpahan yang kita punya, namun kita tetap harus berani melangkah, karena hanya dengan begitu kita bisa sampai di tujuan. Agaknya saya harus mengatakan hal ini pada anak saya, semoga dia mau berusaha keras untuk melajutkan perjalanannya yang masih sangat panjang dan penuh tantangan. Amin.