Keputusan Hati

Tepat dua bulan sudah saya menjadi ‘pengacara’ (baca: penggangguran banyak acara). Ya, saya telah memutuskan untuk menarik diri dari hingar bingar pekerjaan di kantor, yang sudah lebih dari sepuluh tahun saya tekuni. Banyak yang senang, namun tak sedikit yang menyayangkan. Mereka selalu saja menanyakan, apakah saya tidak menyesal berhenti bekerja, mengingat jam terbang saya yang sudah lumayan tinggi. Namun bagaimanapun keputusan sudah saya genggam.

Sebenarnya, seperti beberapa kali sebelumnya, saya sempat sangat ragu untuk mengambil keputusan itu. Apalagi banyak cerita yang menggambarkan betapa sulitnya melalui masa transisi kedua dunia yang berbeda; bekerja dan di rumah saja. Saya lalu banyak bertanya dan membaca, mengumpulkan referensi untuk bahan perbandingan. Namun, saya rasakan, semakin banyak pendapat yang datang, rasa ragu justru semakin menyerang.

Ketika saya bertanya pada abi, suami tercinta. Beliau hanya berkata “tanyakan pada hati, semuanya terserah pada ummi. Pokoknya abi dukung seribu persen apapun keputusan ummi”.
Sungguh saya begitu tersentuh. Bukan hanya karena ucapan beliau yang terasa selalu menyejukkan, lebih dari itu, telah membuat saya tersadar. Untuk apa sibuk bertanya bila hati saya tak setuju dengan semua jawabannya? Ah, saya memang tidak dapat membohongi hati. Selama ini saya memandang bekerja adalah pilihan terbaik, karena hati saya ingin terus bekerja. Namun ternyata ketika hati saya memilih sebaliknya, saya merasa inilah sebenarnya yang paling terbaik.

Saya akui, kerinduan akan suasana kantor dan nikmatnya mendapat penghasilan sendiri, kadang menghampiri. Namun saya tidak ingin memelihara rasa rindu itu, saya tidak ingin ia menjadi bongkah batu yang membuat penyakit dalam hati dan penyesalan menggoresi langkah yang telah saya ambil.

Dan bagi saya, apapun itu, saya harus memastikan bahwa ia sesuai dengan rasa hati, dan selalu ada cinta tertanam disana. Sebab hanya karena itulah yang mampu membuat saya untuk dapat bertahan di dalamnya. Tidak bekerja di kantor lagi, bukan berarti saya menapak mundur. Sebaliknya, ilmu yang saya dapat selama bekerja, justru menjadikan saya lebih kaya pengalaman, dan membuat diri lebih pandai bersikap.

Saat ini, saya begitu sibuk dengan banyak acara di dalam dan di luar rumah. Menikmati putaran waktu yang telah saya pilih.Mengantar-jemput anak sekolah, memasak, mencuci, dan bermain bersama kedua buah hati saya. Juga berkumpul dan belajar bersama dengan lebih banyak teman dalam taklim. Memang, sedikit rasa lelah dan jenuh kadang terasa. Namun bagi saya, itu adalah sesuatu yang wajar bagi setiap lakon yang harus dijalani. Apakah saya menyesal karena berhenti bekerja? Alhamdulillah, tidak. Insya Allah!