Kepenatan 30 Tahun yang Terobati

Ramadhan sudah memasuki akhirul ‘asyarah (sepuluh hari terakhir). Dalam Ramadhan sebagaimana diketahui ada tiga putaran, dan kedua putaran sebelumnya yaitu; ‘asyarah al ula (10 hari pertama), ‘asyarah at-tsani (10 hari ke dua) telah kita lewati bersama.

Sepuluh hari terakhir merupakan masa-masa dimana aktifitas ruhiyah seperti digenjot semaksimal mungkin. Pedal gas diinjak sampai poll. Seperti dalam sebuah arena lomba lari jarak jauh ketika hendak memasuki putaran terakhir para pelari seperti mengeluarkan daya serta kemampuannya untuk berlari secepat mungkin. Siapa yang mampu mengeluarkan daya yang maksimal maka ia pula yang dapat memasuki finish dalam record yang terbaik. Sama dengan ibadah di 10 hari terakhir Ramadhan, siapa yang mampu beribadah sekuatnya maka ‘record’ atau catatan ia akan baik di hadapan Sang Khalik.

Realitas Sepanjang 30 Tahun

Saya mempunyai kenangan waktu silam. Lazimnya kita sebagai muslim maka setiap memasuki Ramadhan semua terasa sukacita. Sepuluh hari pertama tentu ramai sekali masjid, warung-warung masakan di pasar ikut sepi. Belum tuntas 10 hari kedua, beberapa warung makanan dengan penutup setengah badan sudah tak malu untuk mulai beraktifitas seperti semula. Mungkin karena kita bangsa majemuk hingga bagi yang beragama lain terutama yang dalam perjalanan membutuhkan tempat mencari makan. Sepuluh hari kedua di bulan Ramadhan sudah seperti hari-hari biasa. Mereka yang mengaku muslim sudah ikut-ikutan terbiasa makan di siang hari. Tidak pandang tua atau muda. Ini sudah menjadi ukuran bahwa jika ibadah wajib saja ditabrak maka jangan berharap ibadah sunnah dijalankan. Shaf masjid pun kian surut. Masjid kemudian diisi oleh orang yang itu-itu juga. Tampak nyata sekali bahwa hidayah bukan barang gratisan yang didapat tanpa kegigihan.

Tiba ke 10 hari terakhir, kita sudah berpikir seolah-olah sudah ada di bulan syawwal. Meningkatnya aktifitas ruhiyah/rohani (isi)yang diajarkan Rasul menjadi kebalikannya bagi kita. Aktifitas jasad yang justru mendominasi (kulit). Jalanan semakin macet, pasar pun berjejal, dari mall hingga hipermall ritmenya meninggi. Teriakan para SPG/B (sales promotion girl/boy) untuk harga-harga baju yang dibanting menjadi panggilan indah. Semua dikejar dan dikerumuni. Seperti semut yang mengerumuni gula. Kita berdalih ini untuk sebuah ‘sunah’ memakai baju ‘baru’ di hari raya padahal tuntunan sebenarnya bukan itu.

Kita pun beralasan bahwa lebaran/ Idul Fitri tak kan lengkap dengan makanan yang ditumpuk di almari, baju beberapa pasang, hingga berlebih-lebihan sudah menjadi hal biasa padahal berlebih-lebihan adalah kebiasaan ‘syetan’. Kita merasa bergembira meninggalkan Ramadhan dengan menyambut Syawwal padahal justru di bulan Ramadhan lah dosa sebesar apapun kecuali syirik akan lumer terbakar di bulan mulia ini sementara syawwal adalah bulan biasa yang tak menjanjikan papaun kepada kita. Lantas patutkah kita mempersiapkannya seperti menumpuk amunisi untuk peperangan selama berbulan-bulan?

Sedari kecil fenomena di atas saya saksikan dan ikuti hingga 30 tahun lamanya. Seperti ingin protes namun kepada siapa? Ingin merubah tidak berdaya karena gaung materialisme justru semakin kencang. Ramadhan dan Idul Fitri menjadi bagian dari catatan betapa buruknya kita memahami Islam sebagai tuntunan. Semakin menjadi ironi manakala figur alim ulama tidak menunjukan kebersahajaan karena ‘rit’ ceramah dan kuliah subuh juga meningkat. Alih-alih menjadi contoh bagi para tetangga bahwa keluarga mereka tetap mempertahankan kebersahajaan dan setia penuh khusyu di bulan Ramadhan justru sebaliknya. Kain sarung beberapa biji, Baju koko, peci, sendal, semua tak cukup satu. Ya, memang keberkahan akan terasa dengan datangnya Ramadhan semua pemberian berupa hadiah dan ucapan terima kasih akan datang mengalir. Namun suri tauladan kita, Muhammad S.A.W sudah begitu jelas memberikan contoh ketika ia diberi maka secepat laksana angin pemberiannya sudah berpindah tangan kepada mereka yang lebih membutuhkan.

Kepenatan yang Terobati

Kepenatan saya selama 30 tahun terobati, segala puji hanya milik Allah yang telah mendengar bisingnya hati ini. Menikmati 10 hari terakhir di bulan Ramadhan di tepian teluk Persia, sebuah negeri yang Kaya dengan simpanan dollarnya hingga disebut petro dollar benar-benar sungguh berbeda. kesibukan pasar, mall hingga hipermall bisa dibilang normal. Tak ada budaya diskon idul fitri di sini karena lebaran cukup dengan baju (gamis) putih yang sudah bersih dicuci dan disetrika dengan rapih. Di mulai dari malam ke-21 solat malam dilaksanakan berjamaah di dalam masjid.

Suara lantunan ayat-ayat suci al-quran oleh para imam masjid memecah kesunyian terdengar begitu syahdu dan memikat hati. Di mulai dari pukul 3:00 dini hari hingga pukul 4:00 pagi shalat malam bagi para warga. Bacaan berganti surat mengabarkan dari satu kisah ke kisah lainnya. Dimulai dari penciptaan Adam kemudian Iblis yang membangkang hingga tergelincirnya Adam dan Hawa karena buah Khuldi. Dilanjutkan kisah kaum Noah yang menyekutukan Allah hingga ditenggelamkan, Kaum ‘Ad yang menolak kehadiran Hud yang mengajak mereka menyembah Allah semata, Kaum Samud yang memerangi Salih padahal mereka sudah diberikan nikmat yang banyak hingga mampu membuat bangunan dari dinding-dinding gunung batu, dan kisah-kisah itu menjadi sebuah pengingat dan sebuah bukti otentik di padang mahsyar nanti ketika umat Muhammad diminta kesaksiannya tentang umat-umat terdahulu.

Saya sungguh berazam, niat disertai kesungguhan dengan memohon kemudahan agar langkah-langkah kaki ini diringankan menuju sumber-sumber suara lantunan ayat-ayat suci. Udara dini hari di penghujung 10 hari bulan Ramadhan tidak begitu pengap dan lembab. Masa transisi menuju musim dingin. Langit cerah, bintang gemintang bertaburan. Langkah-langkah ini menjadi sebuah persaksian kelak. Terlalu dini berharap surga karena perjalanan sesungguhnya masih begitu jauh membentang di hadapan.

Di pelataran masjid yang namanya diambil dari manusia yang pernah mengukir kemulyaan dalam sejarah, Umar bin Abdul Aziz saya merasakan kerinduan suasana ini tak terperi. Sama seperti ketika menikmati lantunan ayat-ayat suci oleh para remaja di masjid Agung Serang Banten. Ini adalah dejavu antar rumah Allah. Dari masjid dan menuju masjidlah selayaknya hidup seorang manusia bermuara. Rumah Allah adalah satu-satunya pelarian saya dari penatnya kehidupan. Saat hidup tiba-tiba rancu dan berubah haluan lewat masjid saya memperbaiki arahnya. Ketika gelisah menggarang kalbu, meradang kepanasan maka ke masjid pula saya berusaha menemukan kesejukan. Sebuah harapan dilantunkan agar berdiri kelak masjid, rumah Allah di dalam hati ini.

Maha suci Allah yang memberikan getaran pada hati-hati hamba-Nya ketika mendengar kisah-kisah di atas dibacakan. Sejarah perjalanan manusia di muka bumi bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Seperti hadirnya gerombolan Dinosaurus pada suatu masa dan kemudian hilang tak berbekas dengan tidak ada kelanjutan kisah berikutnya. Sungguh, saya merasakan kedamaian yang saya idamkan. Tak ada hiruk pikuk seperti kepenatan yang saya rasakan sebelumnya. Apa yang saya inginkan, Ramadhan hanya untuk ibadah dan mengenalkan nilai-nilai ibadah tersebut kepada kedua putra saya. Ramadhan kariem..di tepian teluk Persia.

"Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah kamu dustakan?"

"Maka terhadap nikmat-nikmat Tuhanmu, maka kabarkanlah.."