Seorang gadis spontan menutup hidung dengan tissue ketika laki-laki di depannya, penumpang lain dalam angkot itu menyalakan rokok kemudian menghisapnya dengan nikmat dan menghembuskan asap ke seantero ruangan. Beberapa penumpang lain bersikap biasa saja, barangkali karena merokok sudah merupakan budaya di Indonesia, sementara si gadis makin kuat menutup hidungnya, sesekali terbatuk-batuk dan terus-menerus menatap lekat si perokok dengan mata berair. Jadi sah-sah saja jika si perokok tidak peduli, bahkan makin menikmati hisapan demi hisapan sementara si gadis terus memelototinya dengan hati yang makin jengkel.
Mengapa tidak menegur?
Ingin si gadis menegur, tapi nyalinya tak cukup besar untuk melakukan itu. Takut dibilang rese? Takut dibilang memberangus hak orang lain untuk merokok? Sungkan? Takut dimarahi? Kalau boleh saya bilang, sesungguhnya si perokok lah yang seharusnya lebih merasa sungkan dibanding orang yang menegur.
Kampanye tentang bahaya dan dampak negatif rokok sudah terlalu sering diadakan. Bahkan iklannya selalu muncul di televisi berbarengan dengan iklan rokok. Meskipun bisa dikatakan itu merupakan iklan setengah hati, sebagaimana setengah hatinya pemerintah menyikapi masalah rokok ini. Bagaimanapun, rokok merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup besar.
Nah, kalau begitu siapa dong yang bisa mengatasi -setidaknya mencegah- makin meningkatnya intensitas merokok dan akibat-akibatnya? Mengharapkan para perokok sadar? Wah, ini sih bagai pungguk merindukan bulan. Mereka tahu betul akan bahaya rokok, tapi mereka memang dengan sadar untuk terus merokok. Toh, mereka tidak merugikan orang lain. Kalaupun rugi, yang rugi tubuh mereka sendiri. Begitu mungkin argumentasi mereka.
Sesungguhnya yang paling memungkinkan itu adalah kita: Orang-orang yang bukan perokok dan sadar akan dampak negatif rokok. Mungkin tidak semua kita tahu dan sadar bahwa menjadi perokok pasif (orang-orang yang secara tidak sengaja terhisap asapa rokok yang diproduksi oleh para perokok di sekelilingnya) itu relatif lebih berbahaya di banding perokok aktif.
Jika anda wanita hamil, biasanya dokter akan menyarankan anda menjauhi rokok dan asapnya (bahkan suami pun diminta untuk menghentikan/mengurangi kegiatan merokok). Hal ini karena dipastikan asap rokok bisa mengganggu pertumbuhan janin. Pengaruh yang tidak kurang berbahaya juga dapat dialami oleh orang dewasa dan anak-anak yang bukan perokok, namun tanpa sadar menjadi perokok pasif. Teman saya akhirnya dirawat di rumah sakit karena sakit paru-paru gara-gara beberapa tahun bekerja diantara para perokok, sekalipun dia sendiri tidak pernah merokok. Nah, apakah anda rela menderita akibat yang bukan merupakan hasil perbuatan anda?
Karena itu anda berhak sekali untuk melindungi diri anda dengan menolak menghisap asap rokok dari para perokok. Seperti tadi saya tengarai di atas, manusia Indonesia memiliki rasa sungkan yang cukup tinggi jika mengganggu orang lain, kenapa ini tidak kita jadikan senjata untuk memperkecil ruang bagi para perokok? Bukankah dengan demikian selain kita mempertahankan hak kita untuk tidak menghisap asap rokok dan melindungi diri dari kemungkinan menderita penyakit yang disebabkan status perokok pasif, kita juga secara tidak sengaja membantu si perokok mengurangi intensitas merokoknya?
Cerita tentang gadis di paragraf pertama di atas adalah cerita tentang diri saya sendiri. Saya selalu merasa terganggu jika ada orang yang merokok di sekitar saya. Cuma waktu itu saya tidak berani menegur karena sungkan dan sebagainya itu tadi. Hingaga kemudian suatu hari saya membaca salah satu serial Olin karya Ali Muakhir. Si Olin ini dengan berani menegur seorang penumpang di angkot yang merokok. Kisah itu mengilhami saya untuk melakukan hal serupa meski dengan alasan berbeda. Suatu hari, dalam perjalanan kereta Solo-Jogya, seorang laki-laki hendak menyalakan rokok di dekat saya. Serta merta saya menegur, “Maaf, Mas! Bagaimana kalau merokoknya nanti saja saat sudah di luar kereta? Saya tidak tahan dengan asap rokok”. Dia mengangguk dan membatalkan rencananya untuk menyalakan rokok. Beberapa saat kemudian seorang penumpang masuk dengan rokok menyala di sela jari-jarinya. Karena tadi sudah ada yang saya tegur, saya rasa tidak adil kalau yang ini tidak saya tegur juga. Maka, saya kembali beraksi, “Mas, boleh rokoknya dihabiskan di dekat pintu?” Rupanya dia malas kalau merokok harus menjauh dari teman-temannya. Maka rokok itu langsung ia injak. “Terima kasih”, kata saya. Dua pengalama di atas memberi keberanian dan kepercayaan diri pada saya untuk menerapkan hal yang sama di tempat-tempat umum lain. Di Bus, angkot, halte, ruang pertemuan, kantor dan lain-lain.
Dan saya terpikir, kalau saja kita semua yang bukan perokok mau peduli akan hak kita untuk tidak menjadi perokok pasif dan menggunakannya, maka ruang bagi para perokok akan makin sempit. Mereka sebenarnya sungkan andai saja anda berani menegur. Masalahnya adalah, seberapa tinggi kesadaran anda untuk mempertahankan hak tidak menjadi perokok pasif? Seberapa besar pula nyali dan kepercayaan diri anda untuk menegur? Semuanya tergantung kepada anda.
Bagaimana jika ada yang tebal muka, tetap cuek bebek dengan rokoknya meskipun sudah kita tegur? Gampang, anda tinggal memberinya masker plastik dan katakan, “Anda berhak merokok di sini sebagaimana saya berhak untuk tidak menghisap sampah asap rokok anda. Jadi silakan anda gunakan plastik ini untuk menutup muka anda agar anda dapat menikmati sendiri asap rokok itu”.
Anda mau coba?
Ayo, kita punya kemampuan untuk merubah sedikit wajah dunia dengan menggunakan hak kita. Jika ada diantara anda yang membaca tulisan ini adalah seorang perokok, maaf, tulisan ini bukan untuk anda. Tapi kalau anda terlanjur membaca, sebaiknya anda hati-hati jika akan merokok di tempat umum, dari pada anda ‘malu ati’ karena ditegur orang nanti. (Azimah Rahayu/[email protected])