Bulan Mei tujuh tahun silam menjadi bulan bersejarah bagi saya. Pada waktu itu saya baru lima bulan berhenti dari kantor tempat saya bekerja untuk mengikuti suami yang mendapat beasiswa sekolah di negara Paman Sam. Di negara yang mayoritas penduduknya non muslim itulah saya tergerak untuk segera memenuhi kewajiban saya sebagai muslimah, seperti tersebut dalam Al-Qurán surat Al-Ahzab: 59,
Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.“ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Banyak hal yang membuat saya mengulur-ulur waktu untuk mengenakan busana muslimah ini. Dari alasan akan pakai jilbab setelah naik haji, setelah dapat menemukan ayat yang mewajibkan berjilbab, setelah keluar kerja, setelah dapat memahami Islam lebih dalam, dan beribu alasan lainnya. Walaupun sebenarnya perusahaan tempat saya bekerja tidak melarang pegawainya mengenakan jilbab.
Hingga suatu malam saya bermimpi yang seolah-olah nyata terjadi. Saat itu saya sedang bersiap-siap melakukan perjalanan ke suatu tempat dan sedang menunggu keberangkatan di airport. Daftar nama yang berangkat termasuk saya sudah tertera. Namun ada informasi bahwa pesawat yang akan saya tumpangi akan jatuh. Yang saya ingat adalah saya tidak bisa menghindari untuk naik ke dalam pesawat yang akan jatuh tersebut. Daftar siapa yang akan mati pun sudah ada, dan saya termasuk di dalamnya.
Saat itu saya panik dan keringat dingin mengucur di sekujur tubuh. Bagaimana mungkin pesawat yang sudah tahu akan jatuh dan akan ada penumpang yang jadi korban tetapi saya tetap harus berangkat? Protes saya waktu itu. “Ya Allah….saya belum mau mati…saya belum siap….bagaimana hisab saya nanti bila saya masih belum berjilbab…!“ jerit saya. Hingga akhirnya saya terbangun dari tidur.
Saya tatap langit-langit kamar tidur yang putih bersih dan ternyata saya tidak sedang berada di dalam badan pesawat. Ah… saya bersyukur bahwa kejadian itu hanya mimpi saja dan saya masih sehat wal a’fiat berada di atas tempat tidur saya.
Saya termenung. Inikah teguran-Mu ya Allah, untuk hamba-Mu yang selalu mengingkari firman-Mu? Padahal sudah jelas bahwa kematian itu tidak dapat disegerakan dan tidak pula dapat ditunda. Seperti halnya saya dalam mimpi itu bahwa saya termasuk dalam daftar yang menunggu saat-saat yang sudah pasti itu.
Bukankah kita semua manusia di dunia sudah masuk dalam waiting list, tinggal menunggu giliran untuk dipanggil oleh Sang Pencipta? Seperti seorang dokter yang akan memeriksa pasiennya, dan seorang perawat yang akan memanggil nama satu per satu sesuai dengan daftar pasien. Bedanya Allah akan memanggil “pasiennya” bukan melalui perawat tetapi melalui utusannya yaitu malaikat pencabut nyawa. Mungkin mimpi ini merupakan hidayah bagi saya agar saya segera berjilbab.
Keesokan paginya saya tidak berpikir panjang lagi untuk mengenakan busana muslimah saat keluar rumah. Sambil bersiap-siap untuk berbelanja ke supermarket, saya mencoba-coba kerudung seadanya yang sempat saya bawa dari Indonesia. Saya pikir daerah tempat tinggal saya ini masih aman buat orang muslim. Apalagi di atas apartemen saya tinggal keluarga Maroko Islam yang isterinya pun berjilbab.
Berangkatlah saya ke supermarket seorang diri berjalan kaki dengan jilbab saya. Suami saya hanya menyuruh saya untuk berhati-hati mengingat kami masih pendatang baru dan belum tahu apakah lingkungan sekitar kami termasuk yang anti Islam atau tidak.
Di tengah perjalanan pulang dari supermarket saya berjumpa dengan tetangga saya wanita Syria muslim yang rupanya tidak mengenal saya dengan busana baru ini. Setelah saya sapa, dia balas menyapa saya dengan bahasa Arab. Mungkin dia lupa dan bingung karena wajah baru. Akhirnya setelah dia amati wajah saya, dia baru ingat bahwa saya adalah tetangga Indonesia-nya yang tidak bisa berbahasa Arab. Akhirnya kami pun bercakap-cakap sebentar kemudian melanjutkan perjalanan kami masing-masing.
Setelah kejadian tersebut, saya yang semula hanya coba-coba berjilbab menjadi “keterusan”, karena sudah bertemu dengan tetangga Syria tadi. Apa pikiran tetangga saya bila saya melepas jilbab saya?, pikir saya waktu itu. Harus diakui alasan saya saat itu lebih karena malu sudah ketahuan tetangga dengan busana muslimah saya.
Namun demikian, sempat juga keinginan saya berjilbab goyah setelah melihat tetangga atas saya yang Maroko itu melepaskan jilbabnya. Tidak amankah di negara ini yang memang hanya segelintir orang berbusana muslimah? Entahlah apa sebabnya, saya pun tidak ingin menanyakan kepadanya. Tetapi Alhamdulillah niat saya untuk berjilbab tidak luntur. Apalagi setelah saya berkumpul dengan sesama akhwat dalam suatu pengajian di Kedutaan Indonesia, di mana kami sama-sama saling berbagi dan saling mendukung satu sama lain.
Tujuh tahun berlalu sudah. Ternyata mengenakan jilbab itu sungguh nikmat. Tidak merasa kepanasan atau tidak takut ketinggalan mode seperti yang selama ini menjadi salah satu alasan keengganan saya. Malah justru saya tidak perlu repot mencari atau membawa mukena ke manapun saya pergi karena busana saya sudah memenuhi syarat sholat. Saya tidak perlu repot pula untuk pergi ke salon setiap enam bulan sekali untuk membenahi rambut saya. Sekarang mungkin potong rambut cukup hanya saya lakukan setahun sekali.
Saya pikir kenapa kenikmatan ini tidak saya raih sejak dulu? Hidayah Allah itu memang dapat datang kapan saja, di mana saja kita berada, dan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Mungkin itu hanya kenikmatan yang tertunda.
Safar 1429 H