Sebuah tanya mungkin muncul dari sebuah kata yang tersirat memoris ini. Segala sesuatu yang berlalu dari sebuah perjalanan bernama apa saja dalam rentang tempo dulu adalah disebut seabreg kenangan. Entah ia manis seperti gula atau atau malah pahit bagai empedu. Namun, yang pasti, ketika mendekati stasiun terakhir dari momen ini, mendekati muara sebuah sungai kehidupan tabiat manusia biasanya mulai meneroka jejak-jejak lampau yang terkemas dalam kata ‘kenangan’.
Sebuah tanya tadi adalah; apa yang dapat diperbuat dari seabrek kenangan? Berawal dari terlahir dilembah penuh pancaroba ini sudah tak terhitung seluk-beluk lorong yang sempat terlewati.
sejak panggilan manja, “nak” dari sang ibu dan ayah tercinta hingga panggilan itu berubah menjadi, “Bujang” atau “Abang” bagi adik-adik dan “Kakak”bagi juniornya. Menentukan bahwa kau telah menginjak usia puberitas.
Sekarang kau mulai membuka lembaran itu. Saat panggilan ibu menyuruh pergi mengaji. Suara sang guru memberi pengajaran. Canda-tawa teman-teman saat bermain. Tegur ramah tetangga yang menyentuh kalbu. Lembaran itu bagai tertiup sepoi-sepoi angin. Tak tersadar layar otak sarat dengan puing-puing memori. Bahkan tak jarang pula menjadi bumerang dalam derap langkah.
Yang bernama kenangan terkadang hadir sebagai pendokrak untuk sebuah kemajuan. Ia terkadang mampu menembus dinding-dinding teras yang tegap dan menantang. Seakan ada sesuatu yang membuat ia bagai mampu menjadi penakluk. Sebuah cahaya masadepan menjadi bagai tak dimiliki orang lain. Masa lalu. Itu yang menjadi andil dari kesatriaan itu.
Namun, sebuah kenangan terkadang pula hadir sebagai dinding tegap. Bayang-bayang suram. Lautan membentang. Bagai gelap pekat. Ia hadir didalam benak setiap insan. Jika tersalah, ia akan mampu membuat sebuah momen bernama kehidupan bagai langit terselimut awan hitam tebal. Tiada harapan.
Lalu, apa yang harus diperbuat untuk menggubah sebuah kenangan menjadi onggokan batu loncatan pemacu masa depan? Dalam sebuah negara, yang berjasa memperjuangkan bangsanya disebut Pahlawan. Seorang pejuang Islam yang jatuh dimedan laga melawan musuh Islam disemat gelar Mujahid. Seorang yang berbakti kepada kedua orang tua disebut; anak yang berbakti. Seorang alim yang berjasa menyebarkan syariat Islam ditengah-tengah masyarakat kelak disebut Kiyai.
Sejumlah gelar itu hanya tampak zahir. Karena sosio-kultural membuat kita sarat dengan interaksi. Caci dan puji. Tiada hidup yang hanya dijalani sendiri. Karena Islam memang tidak mengenal ego. Meski suatu saat ia dibutuhkan. Namun, ujungnya-ujungnya juga untuk sebuah kebaktian, untuk Allah dan rasulnya, keluarga dan orang kanan-kiri.
Lebih dari itu semua, ada sebuah gelar yang dihasil dari sebuah kenangan yang patut dimiliki oleh semua kita. Yaitu Ridla-Nya.
Untuk sebuah kenangan, berbuatlah seolah kita semua adalah pejalan. Diperantauan berbuatlah. Berbuatlah apa yang dapat diperbuat. Karena memang kita tercipta agar dapat membuat orang lain tersenyum. Satu hal yang mungkin baik untuk kita ingat kembali; tidak ada kehinaan dimata manusia yang sesungguhnya, tapi kehinaan hanya dimata Allah. Jadi, berbuatlah.
Ingat selalu Firman Allah:
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Qs. Al-Imran, 139)
Kenapa kita harus tunduk kepada yang sebenarnya mereka yang hina dan lemah. Kenapa pula kita harus merasa hina tatkala melakukan kebajikan. Apapun bentuknya. Yang namanya kebajikan tetap saja. Bukankah al-Qur’an telah memberitakan itu?
Orang-orang akan mencarimu saat nanti kau tiada, itulah kenangan terbaik.
Mutsallats, 23 Nov 08