Tiap tahun, bulan Ramadhan menjadi istimewa bagi Umat Islam. Baik, yang Islam beneran maupun Islam-Islaman, kedatangan bulan Ramadhan memang menjadi penuh harap dengan barokah ampunan Allah SWT.
Tapi, ada satu fenomena yang menurut saya selalu hadir juga ketika Ramadhan tiba. Tapi, sayangnya fenomena ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan berkah bulan Ramadhan. Bahkan, bagi yang benar-benar sering membaca al-Qur’an fenomena yang mengiringi kedatangan bulan Ramadhan ini sebenarnya fenomena yang patut dilaknati. Fenomena itu disebut “Kenaikan Harga”.
Benar kan, sejak saya kecil sampai hari ini, fenomena kenaikan harga dadakan ini muncul menjelang bulan Ramadhan. Seringkali kedatangan isyarat kalau harga-harga bakal naik ini sudah jauh-auh hari diulas di media masa, diungkapkan oleh pemerintah dan tentunya disebelin oleh masyakat kebanyakan. Itu baru dari sisi harga kebutuhan bahan makanan. Belum lagi kenaikan biaya transportasi yang menjelang akhir bulan Ramadhan bisa melonjak gila-gilaan. Walhasil, bagi yang mau berlebaran di kampung dengan uang pas-pasan kenaikan biaya transpor ini bisa menyebabkan kantong benar-benar terkuras. Apalagi kalau pulang sekeluarga.
Dulu, di kampung saya di kota Cirebon, kenaikan harga ini selalu ditangkis oleh para pedagang dengan alasan “mremaan”. Dalam bahasa Cirebon, “mremaan” mungkin dapat diartikan sebagai “mumpung ada kesempatan”. Entah wangsit darimana yang muncul di kepala para pedagang, tiap bulan Ramadhan mereka berasumsi secara kompak “kalau bulan Ramadhan orang-orang pastilah punya banyak uang”. Mungkin juga, ini pengaruh gaji ke-13 alias uang Tunjangan Hari Raya (THR). Jadi, seolah-olah mumpung ada kesempatan orang gajian dapat gaji 2 kali lipat, naikkan saja harga barang jualannya. Itung-itung ikut-ikutan ngalap berkah THR Jadi, THR yang mestinya berkah bagi orang gajian nampaknya diikuti oleh semacam aura sial bilangan 13 yaitu kenaikan harga barang dan transportasi.
Para pedagang profesional maupun pedagang dadakan (yaitu yang berdagang hanya di bulan Ramadhan saja) akhirnya memang mengikuti pola menaikkan harga dengan alasan yang sama seperti teori domino. Kalau di sana naik, di sini juga mestinya naik. Alasan klasik itu tetap berlaku. Alasan klasik kenaikan juga masih sama “habis yang lainnya naik sih”. Di mana-mana memang naik. Bagi orang Indonesia, hal ini memang sulit dicegah, sampai-sampai dianggap sudah biasa.
Menaikkan harga secara semena-mena sebenarnya bagian dari apa yang disebut al-Qur’an sebagai akhlak pedagang yang curang. Pedagang model begini, di zaman dulu dinisbahkan kepada kaum Yahudi yang memang menguasai perdagangan. Kecurangan yang dimaksud al-Qur’an dalam jual belaisebenarnyabukan sekedar kecurangan dalam hal timbang menimbang berat. Namun, sejak uang dijadikan ukuran jual beli, "naik-turunnya harga barang juga merupakan timbangan” yang mewakili nilai barang yang dijual belikan. Jadi, menaikkan harga sebenarnya serupa benar dengan mengubah-ubah timbangan.
Islam lahir di masa perdagangan komoditas sudah menjadi bagian dari perekonomian umat manusia. Karena itu, profesi perdagangan merupakan pekerjaan yang berpeluang mendatangkan kemakmuran. Nabi Muhammad SAW sendiri sejak kecil sudah ikut berdagang. Jadi, sedikit banyak ketika ditegaskan dalam Al-Qur’an kalau banyak pedagang yang curang, baik secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan timbangan yang suka diubah-ubah beratnya, ataupun menaikkan harga seenaknya, hal itu berhubungan dengan pengalaman dagang Nabi yang melihat para pedagang umumnya bisa berbuat curang seenaknya. Nabi Muhamad SAW sendiri dikenal sebagai pedagang yang jujur sampai akhirnya digelari al-Amin dan disunting oleh Saudagar Wanita yang kaya, yang tidak lain adalah bosnya sendiri yaitu Khadijah.
Pedagang yang curang, dari sudut pandang etis dan moral manapun merupakan perbuatan tercela. Para pedagang sebenarnya mempunyai independensi pendapatan dibandingkan dengan pegawai pemerintah atau karyawan swasta. Karena itu, pedagang sebenarnya berpeluang bebas dari kekotoran suap menyuap, mark-up, ataupun perbuatan tercela lainnya. Namun godaan untuk meraup untung besar dalam waktu singkat seringkali melupakan para pedagang. Ketika akhirnya ia tergoda untuk berbuat curang, baik dengan menaikkan harga atau menggunakan timbangan yang tidak adil, maka amaliah dari jual belinya menjadi ternoda. Bahkan boleh jadi proses jual belinya menjadi haram.
Kalau sampai di titik kesimpulan seperti ini saya biasanya merasa kasihan pada para pedagang yang suka menaikkan harga seenaknya. Rasa kasihan itu semakin menjadi-jadi kalau membayangkan seluruh keluarga si pedagang bagaikan diberi makan arang bara jahanam. Ramadhan yang mestinya penuh berkah pun malah bisa menjadi penuh dosa hanya karena keuntungan sesaat yang tidak langgeng. Ramadhan yang mestinya disyukuri pun menjadi penuh kesia-siaan karena lumpur kehinaan dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh pedagang yang lalai, lupa, serakah, tamak dan loba yang mengabaikan nilai-nilai agama yang benar.
Jadi, jika Anda hari ini berprofesi sebagai pedagang, harap diingat saja jangan sampai dagangan Anda yang halal secara fisik menjadi haram karena proses jual beli yang cacat dengan berbuat curang. Kalau Anda terjebak pada dilema ini maka hati-hati saja, siapa tahu yang tadinya dikira untung malah menjadi buntung. Yang tadinya dikira mendapat berkah tidak tahunya menjadi bahan baku yang membawa Anda memasuki jalan yang dimurkai Allah. Naudzu billah min dzalik, mudah-mudahan, dalam kegiatan apapun kita selalu sadar dan tidak ikut-ikutan gelap matahati menjadi golongan orang yang berbuat curang. Kenaikan harga yang selalu mengiringi bulan Ramadhan bagaikan setan yang selalu mengintip dan menguntit untuk menyesatkan semua niat baik di bulan yang penuh berkah ini. Jadi, waspadlah jika Anda pedagang, jangan terkecoh dengan permainan kenaikan harga ini.