Ada dua orang teman sekolah yang aku `sesalkan’ kenapa kedua orang ini tidak beragama Islam saja. Keduanya begitu baik perilaku dan budi-bahasanya. Keduanya jauh lebih tua ketimbang saya. Apakah karena fator usia mereka ini sehingga perilaku mereka amat baik? Saya perhatikan mereka sambil berusaha menjawab pertanyaan saya sendiri. Tidak juga ah! Beberapa rekan yang hampir seusia dengan kedua rekanku ini, tingkah lakunya malah banyak yang kurang patut untuk dijadikan contoh. Sikap-sikap terpuji mereka itu antara lain: aktif dalam kegiatan agamanya yang terus terang Kristen, membantu teman-teman yang memerlukan, baik bantuan fisik maupun moral. Dan, dalam soal amal, saya dengar dari seorang teman, Yosina namanya, mereka tidak canggung-canggung untuk mengeluarkan 10% dari gajinya buat agamanya. Hingga membuat aku berpikir: “Andai saja kedua orang ini Muslim…..”
Kami saat itu sedang belajar di Makassar. Pesertanya dari Sabang sampai Merauke, tidak kurang dari 50 orang, dua kelas. Meski banyak yang berasal dari Jawa yang didominasi oleh orang-orang Islam, namun yang dari Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Barat, rata-rata orang Kristen. Di sekolah, kami tidak banyak memperbincangkan soal agama ini karena memang bukan itu tujuan kami. Entah, barangkali karena saya cukup dekat dengan kedua teman sekolah yang sudah tua ini, maklum karena keduanya tugas belajar, membuat saya berpikir bergaul bersama orang-orang tua banyak hikmanya. Demikianlah, saya sempat `menyesalkan’ keberadaan mereka sebagai umat yang bukan Islam, padahal yang satu ini, maksud saya masalah `hidayah’, adalah urusan Allah SWT.
Orang yang pertama, Evert, asal Nabire, Irian Barat. Sehari-hari, baik pagi, sore, maupun malam hari, pegangannya Bible. Bahkan dia lebih tertarik belajar Bible ini dibanding mata pelajaran sekolah. Saya sampai kasihan terhadapnya, karena faktor usianya yang hampir separuh abad ini jadinya susah untuk menyerap materi pelajaran. Hingga pernah suatu hari dia menangis di depan mataku. “Aku tidak bisa meneruskan sekolah ini. Aku tidak mampu!” katanya berusaha jujur dengan kemampuan dirinya. Tapi saya coba untuk mendorong semangatnya. “Pace!” begitu saya biasa memanggilnya, “Anda harus jalan terus. Irian Barat jauh sekali. Anda telah berkorban banyak untuk berangkat ke sini. Selagi saya mampu, saya akan bantu anda untuk tetap belajar terus. OK?” dia pun mengangguk.
Evert ini nampaknya begitu lengket dengan agamanya. Pengetahuan saya tentang Islam yang amat minim menjadikan saya `terhambat’ untuk berbicara tentang agama tauhid. Di kamar mandi pun, dia lantunkan lagu-lagu gereja. Biarlah!
Yang satu lagi, orang Jawa. Yono namanya, seperti Evert, juga tugas belajar statusnya. Dia sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk belajar di sekolah kami. Hanya karena tuntutan instansinya sehingga harus terbang ke Sulawesi dari Jawa Timur. Orang satu ini dikenal oleh teman-teman sebagai sosok yang amat ringan tangan. Suka membantu orang lain, tanpa memandang agama. Sama dengan Evert pula, Yono juga selalu tampil rapi dan rajin.
Hanya saja, satu kekurangannya, seperti pula Evert, saya bisa bilang agak `tell me’ alias `telat mikir’. Bukan karena tidak rajin belajar, hanya saja mungkin karena minatnya yang memang kurang. Saya sendiri tidak bisa menyalahkan keduanya. Toh mereka adalah kolega saya. Kami tinggal bersama di asrama.
Karena kelemahan faktor inilah prestasi mereka di sekolah nyaris sama, hampir selalu berada di urutan bawah. Yang namanya pengumuman ujian ulang, nyaris selalu ada kedua nama mereka! Kasihan sekali! Aku prihatin dibuatnya.
Mas Yon, begitu saya memanggilnya, meski Kristen, namun tidak serajin Evert dalam membaca Bible. Tidak pula nyanyi-nyanyi lagu gereja di kamar mandi. Karena suara Mas Yon juga tidak merdu, lagi pula kayaknya dia tidak begitu senang menyanyi, kecuali dengarkan lagu-lagu tradisonal Jawa yang berbau gamelan dan semacamnya.
Dia pernah memutuskan untuk pulang balik ke Jatim. “Jangan begitu!” bujuk saya. “Saya bantu nanti selagi saya mampu untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah!” begitu tawaran saya. Saya mencoba tawarkan jasa baik ini karena terus terang, dia sering membantu saya juga dalam persoalan finansial.
Perbedaan dari kedua orang ini yang bisa saya tangkap adalah, penampilan Evert lebih cenderung `berbau’ Kristen dibanding Yono. Hal inilah yang mula-mula membuat saya heran ketika mengetahui bahwa Yono beragama Kristen. “Jadi anda Kristen?” tanya saya sedikit terkejut, manakala pertama kali kami bertemu. Sambil tersenyum, mengganti jawaban, `Ya’, layaknya orang Jawa, dia tidak menjawab secara verbal pertanyaan saya.
Sejak saya kemukakan janji untuk membantu mereka, setiap ujian berlangsung ataupun ada tugas-tugas perkuliahan, sejak saat itu pula saya selalu ada `di belakang’ kedua orang tersebut. Sebagai imbalannya, mereka biasanya `memberi’ saya sesuatu, tidak harus dalam bentuk material. Itu yang saya tangkap. Evert yang secara jasmani, meski tua usianya, nampak kuat sekali badannya, seperti orang Irian pada umumnya. Dia selalu membela saya jika ada konflik di dalam kelas, di mana waktu itu saya duduk sebagai sekretaris di organisasi kampus. Jangan kaget: semua teman-teman takut padanya jika dia yang ada di depan dan membentak-bentak karena kami sulit diatur! Sedangkan Yono, meski tidak seperti Evert, kalau saya mintai tolong, tidak pernah menolak. Keakraban kami berlangsung hingga lulus.
“Pace main ke Jawa ya jika ada waktu?” aku mengundang Evert untuk `mampir’, siapa tahu suatu hari dia akan terbang ke Jawa. Demikian pula yang saya kemukakan kepada Yono. “Aku akan main-main ke tempat Mas Yon nanti!” Kami pun pisah. Kota indah pintu gerbang Indonesia Timur Ujung Pandang, beralih lagi jadi Makassar. Kami pun pisah!
Sebagai seorang bujangan, saya memang senang tour. Sepulang dari Makassar, ada beberapa rencana berlibur termasuk ke rumah Mas Yon yang berjarak 5 jam perjalanan dari rumah saya. Sebelumnya sudah saya kira, bahwa meskipun pola hidupnya nampak sederhana, dia tergolong orang kaya dan terpandang di daerahnya. Dia masih membujang waktu itu, sekalipun usianya sudah lebih dari mapan untuk nikah. Saya juga tidak mau nyinggung hal beginian yang terlalu `private’ sifatnya. Jodoh ada di tangan Tuhan!
Dia tinggal sendirian di rumah, seorang pembantu dan seorang lagi tukang kebun. Rumah besar, perabotan lengkap. Pendeknya, apa saja yang saya mau dia akan sediakan untuk memberikan pelayanan yang baik bagi tamunya. Saya juga diajak jalan-jalan keliling kota dan tempat-tempat wisata lain di daerahnya.
Sepulang dari jalan-jalan, saya kebetulan nengok ke kamar tidurnya. Saya pikir tidak ada yang saru. Toh dia menganggap saya bukan orang lain. Lagi pula dia tidak keberatan. Saya memang tidak melihat gambar-gambar gereja atau Yesus serta salib besar di kamar tamu dan kamar makannya seperti kebanyakan orang-orang Kristen, sebagai simbol-simbol agamanya.
Tapi begitu saya menengok kamar tidurnya, di sebelah tempat tidur terdapat meja kecil dengan salib kecil tertidur diatas lampu kecil. “Koq ada salib?” tanyaku iseng. “Katanya tidak mau menyembah simbol tuhan lainnya?” tanyaku lagi menagih `moment’ yang pernah diucapkan bahwa dia hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak percaya pada gambar-gambar, serta patung termasuk salib. Tapi yang ini? “Ya…itulah satu-satunya yang saya miliki!” jawabnya ringan. “Jadi untuk apa yang ini? Apa bukan simbol sesembahan juga?” tanyaku lagi agak mendesak.
Mas Yon tampaknya menyadari pertanyaan saya. “Sudahlah! Jangan ngomong soal agama!” pintanya. Saya turuti. Agaknya dia nggak mau terpojok!
Dari kedua pembantunya saya ketahui Mas Yon begitu besar jasanya pada orang-orang di sekitarnya tanpa ada niatan untuk `riak’ ataupun dipuji. Dia juga punya anak asuh. Bayangan saya jadi yang tidak-tidak, misalnya berapa yang disumbangkan ke gereja ya? Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk berkata padanya sebelum saya pulang “Andai saja anda Muslim, maka segala amalan ibadah anda selama ini tidak akan sia-sia!” kataku. “Saya percaya, Allah itu Satu, hanya cara kita saja yang berbeda!” katanya membela dirinya.
Dalam doa-doa, saya mohon kepada allah SWT semoga rekan saya yang satu ini dibukakan pintu hatinya, dan diberikan olehNya hidayah.
Saya pun pulang. Sedih memikirkan seorang rekan yang baik sekali, namun tidak berada dalam jalan yang benar.
Beberapa lama sesudah itu kami tidak pernah ketemu lagi… hingga…
Suatu hari saya ikut menghadiri sebuah rapat kerja di sebuah kota yang menghadirkan wakil-wakil dari berbagai institusi dalam departemen kami bekerja. Saya sendiri ikut sebagai peserta. Ketika saya sedang sibuk mencari tempat duduk, tiba-tiba ada suara yang pernah akrab di telinga saya sedang memanggil nama saya. “Mas Yon!” aku setengah berteriak.
“Ada berita gembira!” katanya sambil ketawa. “Apa?” tanyaku tidak sabar menunggu. “Aku masuk Islam?”
“Apa? Apa tidak salah kedengaranku?” tanyaku lagi.
“Tidak!” jawabnya meyakinkanku.
“Subhanallah….!” saya terharu….. saya rangkul sahabat lamaku yang saya anggap sebagai saudaraku. Hanya saja karena perbedaan agama itulah sehingga saya dulu sempat ada sedikit ada jarak. Tapi hari itu… semuanya jadi lain!
“Aku telah menikah!” katanya.
“Koq aku tidak diundang?”
“Nggak ramai-ramai!” jawabnya. “Sengaja kami tidak mengundang banyak orang, kecuali saudara terdekat dan tetangga!” lanjut Mas Yon menceriterakan pernikahannya, yang melengkapi ke-Islamannya.
“Jadi, masuk Islam-nya karena nikah?” tanyaku sedikit `bergurau’.
“Tidak! Aku masuk Islam karena aku memperalajari ajarannya, bukan karena pasanganku”. Subhanallah…
“Ke mana Mas Yon?” tanya saya lewat telepon suatu hari di lain kesempatan. Suara yang jauh disana menjawab “Mas Yon sedang ikut kuliah subuh!”
Berita ini menambah kegembiraan hati saya. Mas Yon dulu sewaktu masih Kristen juga tidak pernah ketinggalan dalam acara-acara kebaktian. Dia termasuk Kristen taat. Alhamdulillah, harapan saya jadi terjawab. Itulah yang pernah saya impikan waktu itu, bahwa orang-orang semacam dia kalaupun menjadi Muslim, insyaallah tidak asal Muslim, melainkan akan belajar dengan sungguh-sungguh.
Ada kalanya kita memang dihadapkan pada suatu keadaan di mana orang-orang di sekitar kita yang non-Muslim itu tidak jarang perbuatannya baik sekali di dalam pandangan masyarakat, bahkan bisa jadi tokoh. Seperti pada zaman Rasulullah SAW dulu, beberapa tokoh seperti Abu Bakar sebelum beliau memeluk Islam yang memiliki sifat-sifat jujur, terpercaya dan tidak suka berdusta. Rasulullah SAW sendiri memohon kepada Allah untuk diberikan salah satu tokoh penting Quraysh untuk menjadi pendamping setia beliau SAW. Dan dipilihlah Abu Bakar r.a. sebagai seorang sahabat Rasulullah SAW yang terbaik.
Saya tidak mengatakan bahwa telah berjasa dalam proses ke-Islaman Mas Yon, apalagi turut aktif dalam perjalanan Islamisasinya. Sama sekali tidak! Hanya saja terkadang keterusterangan kita akan misi Agama Tauhid itu terkadang diperlukan termasuk menunjukkan kekeliruannya, sekalipun yang terakhir ini bisa berakibat amat pahit. Karena siapa tahu perbuatan ini bisa menjadi pintu pembuka pertama yang membuat orang lain bisa lebih jauh tertarik mempelajari Islam. Kalau bukan sekarang ya nanti. Kalau bukan tahun ini, ya tahun mendatang. Atau, kalaupun bukan dia, ya… anak-anak keturunannya kelak. Wallahu a’lam!
Syaifoel Hardy