Aceh merupakan daerah yang menarik untuk dikunjungi, karena banyak menyimpan peninggalan sejarah. Salah satunya adalah Kerkhoff, yang merupakan kompleks kuburan tentara Belanda yang mati selama peperangan melawan rakyat Aceh.
Komplek ini berukuran 150 x 200 m yang berlokasi di Jalan Teuku Umar, Kampung Sukaramai, Blower (samping Blang Padang) Banda Aceh. Makam yang dirawat dengan rapi ini merupakan salah satu bukti nyata kepahlawanan rakyat Aceh dalam mempertahankan daerahnya dari rongrongan penjajah Belanda.
Sekedar informasi, pada tahun 1883 Masehi, tentara Belanda yang tewas berperang dengan Aceh sekitar 2200 orang termasuk empat orang jenderal.
Namun anehnya, di tengah-tengah kuburan tentara Belanda itu, nampaklah sebuah kuburan yang terpisah dari yang lainnya. Ternyata itu adalah kuburan Meurah Pupok, putera kesayangan Sultan Iskandar Muda karena merupakan putra satu-satunya.
Aku merasa heran, mengapa seorang putra Aceh dikuburkan bersama-sama tentara Belanda? Apakah dia seorang pengkhianat yang menyebelah tentara Belanda, sehingga ia ditempatkan bersama-sama mereka?
Rasa penasaran memaksaku untuk membuka-buka buku sejarah, ternyata dugaanku salah. Meurah Pupok dihukum rajam karena berbuat zina. Dan yang menghukum adalah ayahnya sendiri: Sultan Iskandar Muda.
Betapa dahsyatnya! Seorang ayah sanggup menghukum rajam anaknya sendiri, padahal anaknya itu merupakan putra satu-satunya, pewaris tahta kerajaan! Subhanalloh!
Jadi ceritanya Meurah Pupok telah berbuat zina dengan isteri seorang perwira muda, yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh.
Pada waktu perwira muda itu pulang dari tempat latihan di Blang Peurade, didapatinya Meorah Pupok sedang berduaan dengan isterinya yang cantik. Meurah Pupok segera melarikan diri. Karena marahnya si perwira itu, dihunuskannya pedang dan dibunuhlah isterinya yang selama ini sangat dicintainya.
Setelah itu, bersama-sama dengan ayah mertuanya, pergi ke istana untuk melapor kepada Sultan Iskandar Muda. Setelah mendengar laporan dari si perwira muda itu, Sultan segera memerintahkan Seri Raja Panglima Wazir Mizan (Menteri Kehakiman) untuk melakukan penyelidikan terhadap hal tersebut.
Dalam waktu yang singkat, para pejabat yang bertugas dalam bidang kepolisian dan kehakiman selesai melakukan penyelidikan, dimana Meurah Pupok mengaku bersalah. Hasil pemeriksaan itu dilaporkan oleh Seri Raja Panglima Wazir Mizan kepada Sultan Iskandar Muda. Lalu dilaksanakanlah hukum rajam sampai mati oleh Sultan terhadap puteranya itu di depan umum.
Setelah pelaksanaan hukum bunuh terhadap puteranya yang tercinta itu, maka Sultan Iskandar Muda jatuh sakit. Dari hari ke hari, penyakit Sultan semakin bertambah berat. Dalam keadaan Sultan sakit itu, para pembantunya menanyakan mengapa beliau sampai hati melakukan hukum rajam terhadap puteranya. Padahal Meurah Pupok merupakan putera mahkota yang sedianya akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja.
Namun dengan tenang dan penuh rasa tanggungjawab, Sultan menjawab,
“Mate aneuk meupat jeurat, mate adat hoe tamita?”
Yang artinya: Mati anak ada kuburannya, tapi kalau mati hukum dan adat ke mana akan dicari?
Dari peristiwa ini kita dapat melihat suatu contoh betapa Sultan berusaha menerapkan keadilan dengan menjunjung tinggi hukum dan adat. Selama ini Sultan dengan dibantu para ulama selalu bermufakat memutuskan berbagai perkara, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Dan para ulama sebagai tangan kanan Sultan selalu memberikan keputusan hukum berdasarkan Al Quran dan Hadits.
Pelaksanaan hukum Islam dimasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda sudah teruji kebenarannya. Hukum tetap diberlakukan meskipun keluarganya sendiri yang melanggar. Ketegasan sikap ini juga karena pengaruh para ulama yang senantiasa mendampingi beliau dalam berbagai urusan kenegaraan.
Kalau kita bandingkan dengan kondisi sekarang, utamanya di negeri sendiri, amatlah jauh berbeda. Penegakan hukum hanya sekadar slogan belaka, para koruptor yang sudah merugikan negara milyaran bahkan trilyunan rupiah bebas melenggang tanpa terjerat hukuman. Kalaupun dihukum hanya dengan hukuman yang sangat ringan. Para hakim dan jaksa sudah terbius oleh lembaran fulus.
Fakta diputarbalikkan, hukum dipermainkan. Tinggallah rakyat yang gigit jari menyaksikan para pemeran pameran syahwat kemaruk harta berpesta pora dengan uang yang semestinya menjadi hak rakyat.
Pameran ketidak adilan ini terus berlangsung di depan mata dan membuat hati rakyat semakin teriris-iris. Tapi apa yang bisa dilakukan selain berdemo, demo, dan demo. Namun sayangnya itu semua tidaklah merubah apapun.
Kembali kemasa Sultan Iskandar Muda. Keadilan begitu dijunjung tinggi. Masalah demi masalah diselesaikan dengan mengacu pada Al Quran dan Hadits. Tak ada yang tersakiti atau terzalimi. Rakyat puas, negara pun aman.
Jadi kuburan Belanda atau Kerkhoff ini tidak saja merupakan bukti nyata kepahlawanan rakyat Aceh dalam mempertahankan daerahnya dari rongrongan penjajah Belanda. Tapi juga merupakan bukti nyata keadilan Sultan Iskandar Muda dalam menjunjung tinggi hukum dimasa pemerintahannya.
Mulla Kemalawaty
Anggota FLP Aceh
Referensi: Razali Abdullah, Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Taman Seni Budaya Meuligoe Pase, 2009.