Asep, bukan nama sebenarnya, berprofesi sebagai tukang becak. Sehari-harinya, ia selalu mangkal di salah satu sudut di kota Bandung, menunggu penumpang datang, kemudian mengantarkan penumpang itu ke sudut lain di dalam kota. Udara kota Bandung saat itu masih sejuk dan segar. Hijau pepohonan masih banyak tersebar di berbagai sudut kota dan menjadikan suasana menjadi begitu damai dan menentramkan.
Dengan suasana yang demikian, bepergian dengan menumpang becak, boleh jadi merupakan sebuah kenikmatan tersendiri yang tidak dirasakan oleh warga saat ini. Terutama bagi warga yang tinggal di daerah metropolitan yang pohon-pohonnya sudah berubah menjadi gedung-gedung jangkung, dan udaranya sudah terkontaminasi oleh gas buang mesin berbahan bakar minyak.
Ritme kehidupan Asep, adalah ritme kehidupan yang sangat sederhana dengan becak sebagai urat nadi kehidupannya. Pagi, ia mangkal di tempat biasanya. Mengantarkan penumpang yang datang kemudian kembali ke pangkalan. Sore atau malam, ia pulang ke rumah kontrakan, mengisi malam dengan bersenda-gurau bersama keluarga. Malam larut, ia pun tertidur. Dan ketika suara ayam berkokok, ia pun kembali mengayuh becak ke pangkalan, meniti hari mencari rezeki untuk satu hari. Hari-harinya berjalan biasa, hingga datanglah hari luar biasa yang begitu amat tragis menimpa dirinya.
Suatu ketika, tatkala Asep sedang mengayuh becaknya, seorang polisi menghentikan laju becaknya. Polisi itu merazianya dengan alasan guna penertiban becak di dalam kota. Becaknya pun di sita dengan alasan terdapat beberapa komponen becak yang sudah tidak layak dipakai. Lampunya bodong dan ban becaknya sudah aus. Asep tidak mau terima dengan perlakuan itu, tetapi sang polisi bersikeras menyita becaknya dan membawa benda itu ke kantor polisi.
Hati Asep menjadi remuk-redam. Ia menyesali kekerdilannya menghadapi polisi yang tak kuasa dilawannya. Ia betul-betul sedih dan menjadi khawatir karena becak itu adalah satu-satunya alat sebagai curahan upayanya untuk mencari nafkah buat isteri dan anak-anaknya. Ia panik, ia bingung, ia marah, ia kecewa, dan segala tusukan duka menghantam jiwanya.
Dia mencoba mendatangi kantor polisi dan menghiba agar becak sumber pencari nafkahnya itu dikembalikan. Dia merasa tidak mencelakakan orang. Kenapa becaknya harus disita? Jika memang lampu dan bannya perlu diganti, kenapa tidak dikasih kesempatan untuk menggantinya? Bukankah tugas polisi melindungi dan mengayomi masyarakat? Jika polisi memberikan hukuman tanpa memberi peringatan sebelumnya, apakah ini disebut pengayom? Namun polisi yang ternyata oknum itu, tidak bergeming sedikitpun. Jika tanpa uang tebusan, maka becak pun tidak akan dibebaskan.
Asep bertambah bingung, darimana ia harus mencari uang tebusan? Duh Tuhan, bukankah semua orang tahu kalau penghasilan tukang becak itu pas-pasan? Bukankah semua orang tahu kalau tukang becak itu jarang memiliki relasi atau keluarga yang memiliki uang? Asep terus membathin seakan tidak mempercayai kenyataan yang dihadapinya.
Asep makin berduka, hatinya tersayat pilu, relung jiwanya penuh kabut, kejernihan akalnya hilang. Tanpa disangka-sangka ia pun melakukan tindakan yang sangat tidak masuk akal. Ia bunuh diri!. Astaghfirullah al-‘adzim.
Kegemparan pun meledak dari salah satu sudut kota Bandung itu. Kawan-kawan sesama tukang becak menggelar aksi keprihatian dan menuntut agar oknum polisi itu bertanggungjawab atas kematian kawan mereka. Gara-gara oknum polisi itulah kawannya bunuh diri.
Tabir mulai terbuka. Secercah harapan pun muncul. Desakan dan tekanan yang bertubi-tubi membuat oknum polisi itu, diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Oknum polisi yang rupanya sudah masyhur membuat ulah dan mengharap uang sogokan itu pun di hukum setelah menjalani proses pengadilan.
Kawan-kawan Asep menjadi puas. Namun isteri dan anak-anak Asep tetap berduka. Seadil apapun proses hukum yang berjalan dan seberat apapun hukuman yang ditimpakan kepada oknum polisi itu, tetap tidak bisa mengembalikan jiwa Asep yang sudah menghilang. Nasi sudah menjadi bubur, dan bubur tidak bisa diubah menjadi nasi seperti sedia kala.
Kata-kata menghibur dan santuan ala kadarnya dari orang-orang terdekat, boleh jadi mengurangi duka yang bergelayut pada diri isteri dan anak-anak asep. Namun bagi orang-orang yang memahami, patutlah kematian Asep menjadi duka berkepanjangan bagi yang ditinggalkan. Ya, ia meninggal ketika hidayah Islam belum bersinar kuat dihatinya sehingga ia menempuh cara mengakhiri hidupnya dengan cara yang buruk (su’ul khotimah). Na’udzubillah.
Cukuplah peristiwa itu terjadi sekali saja, dan menjadi pelajaran bagi semua pihak agar tidak terulang kembali.
***
Kisah tersebut memberikan pelajaran kepada saya, setidaknya tentang tiga hal. Pertama, kita semua berlindung kepada Allah SWT dari kematian yang buruk seperti yang dialami oleh Asep. Apapun bentuk musibah yang dialami, hendaknya ruang bathin kita diperluas untuk menampung segala bentuk duka. Dan ruang bathin itu, bisa kita perluas tanpa batas jika kita memahami makna sabar dan sholat. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS 2:153)
Kedua, perlakuan oknum polisi adalah perlakuan yang sangat tidak dibenarkan oleh Islam dan kita berlindung darikejahatan tersebut. Ada tiga unsur yang dilakukannya, yaitu menyalahgunakan jabatan dan wewenang, memperkaya diri sendiri dan pihak lain (dengan uang sogokan yang diterimanya), dan menghilangkan jiwa orang lain. Unsur terakhirlah yang merupakan kejahatan yang paling buruk.
Islam adalah agama yang memberi penghargaan terhadap jiwa. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seorang muslim itu (yang telah berikrar syahadat) haram darah dan kehormatannya dari muslim yang lain. Dan Rasulullah SAW dengan akhlaknya yang agung, telah memberi teladan kepada ummatnya bagaimana menghormati jiwa sesama muslim dengan bersikap lembut, tidak menghibah, berkata yang baik, ataupun tidak menunjukkan kemarahan.
Bahkan dengan jelas-jelas Rasulullah SAW menunjukkan penghargaan beliau pada sebuah jiwa yang masih sensitif yaitu anak-anak. Rasulullah SAW membiarkan Hasan dan Husein menunggangi badan beliau ketika sedang bersujud dalam sholat, memberi salam kepada anak-anak, berkata lembut kepada anak yang tidak sopan dalam menghadapi makanan, dan membiarkan seorang anak mengencingi baju beliau ketika beliau mengendongnya. Beliau tidak marah atau menghardik. Dengan perilaku itulah beliau hendak mengajarkan bahwa rusak atau hilangnya materi bisa dicari gantinya, tetapi rusak atau hilangnya jiwa tidak bisa diobati.
Ketiga, kita perlu menumbuhkan empati penghargaan terhadap jiwa agar terhindar dari tindakan aniaya tersebut. Jika kita melakukan penyalahgunaan jabatan, kolusi atau korupsi, maka janganlah berpikir hanya ada materi yang kita ambil secara tidak sah, akan tetapi sadarilah ada jiwa-jiwa yang terluka atau hilang karena tindakan kita. Jembatan yang tidak sesuai bestek, memakan jiwa ketika tiba-tiba mengalami keruntuhan.
Pemberian izin pengelolaan hutan yang tidak pada tempatnya, memakan jiwa ketika tiba-tiba terjadi banjir besar. Pemberian lisensi laik jalan pada sebuah moda transportasi yang tidak seharusnya, memakan jiwa ketika kemudian ia mengalami kecelakaan. Keputusan hukum yang mengharuskan membayar kerugian atau denda sejumlah uang, sebesar apapun masih bisa diusahakan penggantiannya. Namun jiwa-jiwa yang melayang, bagaimanakah menghidupkannya kembali? Hanya Allah SWT yang berkuasa memberikan keputusan terbaik di pengadilan akhirat nanti.
Kisah tersebut menanamkan pada benak saya tentang sebuah efek mengerikan dari sebuah perilaku dosa yang harus saya hindari. Kisah tersebut juga memberikan sebuah hikmah agar saya berhati-hati terhadap sebuah dosa, terutama dosa yang melukai atau menghancurkan jiwa orang lain. Sungguh, saya tidak ingin bangkrut di akhirat karena pahala-pahala saya diambil oleh orang-orang yang saya dzolimi. Na’udzubillah min dzalika.
Waallahua’lam bishshawaab
(rizqon_ak @eramuslim.com)