Pasca pembongkaran pasar Pondok Gede, para pedagang menempati pasar penampungan tidak jauh dari lokasi lama. Kemacetan pun berpindah ke jalan Jatimakmur Raya tempat pasar penampungan itu berlokasi. Jalan yang sudah sempit itu kini makin sempit karena dipenuhi oleh mobil angkot yang ngetem menunggu penumpang. Sebagian bahu jalan digunakan oleh para pedagang untuk menggelar dagangannya.
Sementara pengunjung yang datang tetap ramai seperti biasa. Belum lagi, beberapa bagian jalan rusak berlubang-lubang sehingga menghambat laju pengendara mobil atau sepeda motor yang harus berhati-hati melewatinya. Lengkaplah sudah syarat bagi sebuah kemacetan. Bagi para pengemudi mobil, baik dari arah Jatimakmur menuju arah Lubang Buaya (Jakarta) atau sebaliknya, harus menyiapkan kesabaran tambahan. Sedangkan bagi pengendara sepeda motor, masih ada alternatif menghindari kemacetan dengan melewati “jalan-jalan tikus” melalui kompleks Roda Kencana atau alternatif jalan lainnya. Yang jelas mereka harus lebih sigap dengan jalan-jalan kecil alternatif itu.
Suatu ketika saya mengendarai sepeda motor dari arah Jatimakmur menuju Lubang Buaya. Saat itu hari libur dan suasana masih pagi. Saya tidak melewati “jalan tikus” dengan pikiran jalan itu pastilah tidak terlalu macet. Kalaupun macet saya Insya Allah bisa bersabar karena tidak diburu-buru oleh sebuah kegiatan yang urgent. Tidak disangka, ketika saya hampir mendekati pasar, suasana macet luar biasa. Ada truk besar melewati jalan yang saat itu ada di depan sepeda motor saya. Semua berjalan pelan-pelan, inci demi inchi. Di sisi kiri saya adalah sebuah pasar penampungan yang ramai dengan orang-orang berbelanja hilir mudik di sepanjang jalan.
Tiba-tiba tidak jauh di depan, saya melihat dua orang gadis berjalan di sisi kiri jalan menuju ke arah saya. Nampaknya dia habis belanja beberapa keperluan dapur. Pakaian gadis tersebut tidaklah lengkap (menutup aurat). Memakai celana dan kaos pendek yang terlihat bahu lengannya (you can see). Yang satu berwajah biasa dan yang satu relatif lebih cantik.
Tiba-tiba pula dari arah belakang saya datang seorang laki-laki bersepeda. Dia berpakaian seadanya dengan celana pendek setinggi pertengahan paha. Rambutnya panjang berkucir dan bertopi, layaknya orang “slengekan”. Orang itu sudah berada di depan saya, sementara di sebelah kanannya adalah sebuah truk besar bermuatan barang yang terjebak macet di tengah keramaian pasar. Dua gadis itu berjalan makin mendekat dan hampir berpapasan dengan laki-laki pengendara sepeda. Tiba-tiba karena jalannya tidak seimbang, bapak pengendara sepeda itu oleng kemudian jatuh menimpa bahu lengan sang gadis yang mulus itu. Untungnya persingungan itu tidaklah keras. Meski demikian tetap mengundang rasa kaget dan kesal dari sang gadis.
Gadis itu menjerit kemudian mengomeli laki-laki itu,
“Ihh.. gimana sih. Lihat-lihat apa!.Hati-hati dong!”
Laki-laki yang diomeli itu malah tertawa cengar-cengir (mrenges) sambil menunjuki truk besar di sampingnya. Maksudnya ia hendak bilang bahwa ia tidak sengaja menjatuhinya, truk itulah yang menyebabkan posisinya tidak seimbang kemudian terjatuh menimpa kulit mulus gadis itu.
Namun agaknya sang gadis tidak mau terima alasan laki-laki itu. Ia pasti mengada-ada dan pura-pura jatuh dengan maksud agar bisa bersentuhan dengan tubuhnya, begitu kira-kira pikirannya. Kemudian dengan spontan ia memaki,
“Huhh..Dasar buaya!”
Saya jadi tersenyum-senyum kecut melihat kejadian itu.
***
Pernah juga suatu ketika, di depan sepeda motor yang saya kendarai, terbonceng seorang perempuan berkaos pendek, sependek batas atas celana yang dikenakannya. Kontan saja jika miring sedikit, bagian tubuh yang semula tertutup dan apa yang dikenakan di balik celananya akan terlihat jelas dari belakang. Berkali-kali sang gadis membetulkan posisi (menarik ke bawah) kaos yang dikenakannya dengan maksud menutupi bagian atau benda sensitifnya itu. Saya berpikir kenapa tidak mengenakan kaos yang lebih panjang saja sehingga ia tidak perlu capai-capai membetulkan posisinya?
Pernah juga suatu ketika dalam sebuah angkot, duduk seorang gadis menggenakan rok pendek yang agak ketat. Saya perhatikan, bekali-kali ia membetulkan posisi roknya manakala ia tersadar posisinya tidak menguntungkan. Saya pun berpikir, kenapa tidak menggenakan rok yang panjang sekalian sehingga ia tidak capai berkali-kali membetulkan posisi itu? Waduh, capek deh!
***
Saya mencoba memikirkan, boleh jadi respon si gadis yang mengatakan ‘dasar buaya’ atau respon gadis yang membetulkan berkali-kali posisi kaos atau roknya itu, adalah respon bawah sadar yang berasal dari lubuk hatinya yang benar. Ya, seakan hati mereka mengatakan “Saya malu bagian sensitif saya dilihat orang, saya khawatir orang berbuat jahat jika bagian sensitif saya kelihatan, saya memiliki harga diri dan tidak ingin direndahkan, saya orang-orang baik-baik yang tidak bisa menerima sembarang orang, saya tidak mau orang dengan bebas melihati diri saya.” Namun kenapa ia tidak menindaklanjuti dengan pakaian yang lebih baik dan sopan di kemudian hari? Karena boleh jadi hawa nafsu yang mendominasi dirinya berkata, “Saya cantik, saya ingin orang mengetahui kecantikan diri saya. Saya menawan, saya ingin orang tergoda dan terpikat oleh diri saya. Saya ingin dipuji, saya ingin disanjung.”
Kejadian yang saya alami memberi hikmah akan dominasinya hawa nafsu pada mayoritas banyak orang. Tidak hanya menyangkut masalah pakaian tetapi juga menyangkut masalah lainnya. Pada komunitas masyarakat tertentu, berpakaian seperti itu barangkali adalah hal yang biasa-biasa saja. Tetapi pada komunitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai keimanan, berpakaian seperti itu adalah hal yang luar biasa.
Dominasi hawa nafsu menjadikan pandangan seseorang tentang masalah besar dan mendasar menjadi bias. Masalah pakaian adalah masalah besar, sebab tidak jarang masalah pakaian ini mendorong seseorang pada tindak kejahatan seksual, kekerasan, dan pembunuhan. Terlebih pada komunitas yang penegakkan hukumnya teramat sangat lemah dan masyarakatnya terbuai dengan kehidupan sekularisme.
Hal ini berbeda dengan orang-orang beriman yang menjadikan ketentuan Allah dan Rasul sebagai sumber pemikirannya. Allah adalah dzat yang harus diibadahi dan dicintai melebihi apapun juga. Muhammad SAW adalah teladan dalam operasionalisasi kehidupan. Ibadah adalah ketaatan kepada perintah-perintah Allah. Manusia adalah mahluk lemah dan bodoh yang perlu dituntun dengan wahyu. Dan kehidupan di dunia pada hakekatnya adalah ladang amal untuk kehidupan abadi di akhirat. Dengan pemahaman-pemahaman yang bersumber dari syariat-Nya itu maka pandangan pikirannya menjadi benar, sehingga darinya lahir amal-amal Islami (amal shalih).
Tipe-tipe gadis seperti kisah tersebut itu boleh jadi belum tahu atau memahami Islam secara benar. Mereka belum sadar akan sejatinya nilai-nilai Islam yang agung dan memuliakan mereka itu. Mereka bisa seperti itu karena masih mendasarkan pemikirannya pada hawa nafsu dan orang-orang disekelilingnya, yang pada dasarnya juga belum memahami Islam. Boleh jadi pula, mereka juga dalam kondisi ketidakberdayaan. Karena kemiskinan, tuntutan pekerjaan di kantor, atau lingkungan yang tidak kondusif.
Bagi saya, fenomena yang saya temukan itu memberi hikmah kepada saya bahwa pada hakikatnya setiap manusia itu memiliki fithrah kepada kebenaran. Fithrah keimanan ini ditunjukkan oleh gadis-gadis yang masih memiliki rasa malu itu dan tidak mau harga dirinya direndahkan. Fithrah keimanan ini tertuang dalam Al-Quran, yaitu ketika Allah mengambil persaksian dari ruh manusia sebelum dilahirkan di muka bumi (QS 7:172). Jadi harapan setiap orang untuk berubah menjadi baik dan kembali pada nilai keimanan masihlah ada.
Upaya kita adalah memberi pencerahan iman. Tinggal kepada yang bersangkutan, apakah mau mengikuti jalan kebenaran atau jalan kefasikan.
Waallahu’alamu Bishshawaab
([email protected])