Pada hari itu, diadakan sebuah hajatan penting bagi sebuah organisasi dakwah yang rencananya hendak dipimpinnya. Namun ia berhalangan tidak bisa hadir. Apa sebab? Kabarnya, pada malam sebelum hajatan itu dilangsungkan, Pak Amin -sang pemimpin organisasi itu (bukan nama sebenarnya), terjatuh dari sepeda motor. Diri dan sepeda motornya itu masuk ke sebuah parit yang cukup besar di pertengahan jalan menuju pulang ke rumahnya. Kejadian itu berlangsung pada dini hari pukul 02.00 Waktu Pondok Gede. Saya menduga ia pasti mengantuk. Dan benar, setelah saya konfirmasi, Pak Amin terjerembab ke dalam parit di pinggir jalan yang dilaluinya karena mengantuk. Bahkan, sejenak ia masih merasakan nikmatnya tidur sebelum akhirnya ia sadarkan diri bahwa sebagian tubuhnya sudah basah dan kakinya terasa sakit dan pegal-pegal.
Rasa kantuk yang ditahannya itu mungkin sudah mencapai titik kulminasinya sehingga tidak bisa dibendung lagi bak jebolnya tanggul Situ Gintung beberapa hari lalu yang sampai hari keenam ini menelan korban meninggal 100 orang dan lebih dari 100 orang hilang. Akibatnya, ia terlelap sementara sepeda motor itu masih melaju ke depan. Parit dipinggir jalan itu pun tak terhindarkan untuk diterjuninya. Alhamdulillah, laju motornya berjalan cukup pelan sehingga benturan yang terjadi tidaklah keras atau tajam.
Malam begitu gelap sementara ia tidak bertemankan siapapun ketika ia menyadari bahwa dirinya terdiam beberapa lama karena menahan sakit dan belum bisa mengumpulkan energi untuk bangkit. Beruntung, HP-nya masih bisa difungsikan sehingga ia bisa menghubungi seorang sahabat di tengah malam buta itu agar menjemput dan menolongnya membawa pulang.
Tak pelak lagi, pagi harinya, ia tidak bisa memimpin acara itu karena sama sekali tidak bisa bangun dari tempat tidur. Beberapa sahabat menjenguk dan menanyakan kronologis kejadian itu. Sedih, prihatin, namun bercampur dengan nuansa yang agak lucu. Kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa ia tidak berhenti sejenak menghilangkan rasa kantuknya itu agar bisa mengenderai sepeda motor dalam kondisi sadar?
Barangkali pada awalnya ia yakin bisa menahan kantuk hingga sampai di rumah. Namun rupanya, rasa kantuk itu lebih berat dibanding azam untuk menahannya. Boleh jadi, rasa kantuk itu merupakan akumulasi dari rasa capai dalam melakukan aktivitas keorganisasian dari pagi hingga larut malam dan dari hari-hari sebelumnya. Subhanallah.
***
Kondisi yang hampir serupa terjadi pada Ibu Maika (Bukan nama sebenarnya). Sebenarnya ia memiliki kelemahan fisik karena mudah terserang alergi dan asma. Penyakit itu sering kali kambuh di malam hari dan biasanya hilang jika dipijat, direfleksi, atau dibekam. Ada saja orang yang dipanggil di malam hari untuk meringankan keletihannya itu. Pada saat ia kambuh, rasanya ia tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa. Lemah dan tak berdaya. Namun begitu pagi menyingsing dan matahari mulai menampakkan sinarnya, ia menjalani rutinitas –termasuk aktif dalam organisasi dakwah, layaknya tidak memiliki kelainan fisik apa-apa. Luar biasa, sungguh besar azzam yang dimilikinya. Rasa sakit yang pernah dideritanya dengan mudah bisa dilupakan demi melihat proyek di depan yang menantang.
Karena terlihat gesit, maka amanah yang datangpun makin bertubi. Dan ia pantang menolak suatu amanah yang dibebankan kepadanya. Prinsipnya ia akan selalu berusaha menunaikan amanah semaksimal mungkin. Jika memang tidak mampu, ia akan mengatakan apa adanya kemudian.
Hingga suatu hari ia menyatakan diri ingin membatasi kegiatan karena khawatir penyakitnya makin parah. Sudah saatnya ia memperhatikan kesehatan dirinya. Bukan semata-mata untuk dirinya tetapi juga buat organisasi agar kelak bisa lebih optimal. Pada awalnya, sahabat-sahabatnya merasa kaget. Namun begitu diungkap kondisi fisik yang sebenarnya, termasuk mengemukakan bahwa ia telah mengalami keguguran empat kali karena mungkin akibat kelelahan yang dideritanya, barulah mereka mempercayai dan memakluminya.
Hal yang serupa terjadi pula pada muslimah-muslimah sahabatnya di sebuah daerah di Kalimantan yang banyak mengalami keguguran karena kerasnya amanah dakwah yang harus ditunaikan. Seorang muslimah dari sana yang berkesempatan berkunjung ke Pondok Gede, mengemukakan kisah-kisah seperti itu.
Hampir setiap hari mereka menunaikan amanah melakukan sosialisasi dan penyebaran fikrah dakwah ke daerah-daerah pelosok dengan menumpang perahu boat, berjalan menyusuri jalan-jalan terjal dan berliku, dan mereka harus menempuhnya dengan tempo yang relatif panjang. Medan dakwah yang cukup keras mungkin tidak sebanding dengan fisik muslimah yang lemah itu. Namun, karena amanah itu ada pada diri mereka, maka mereka pun berusaha menunaikan meski dengan resiko yang tidak kecil yaitu kehilangan janin yang masih muda dari kandungannya.
***
Luar biasa. Appresiasi positif pantas diungkap secara tulus kepada mereka. Bagi saya mereka adalah profil penolong-penolong agama Allah yang ikhlas dalam menunaikan amanah. Ketika ditanya apa sesungguhnya yang diharapkan dari kecapaian yang ia dapatkan, mereka tidak mengharapkan apa-apa selain kebaikan semata. Kebaikan bagi diri, keluarga, dan masyarakat pada umumnya.
Boleh jadi, sebagian dari mereka adalah calon pejabat publik yang akan ditentukan lewat pemilu legislatif tanggal 9 April nanti. Namun sebagian besarnya, adalah orang-orang biasa yang tidak diproyeksikan menjadi pejabat apapun, baik legislatif maupun eksekutif. Namun toh tiadanya proyeksi itu tidak mengurangi kegigihan mereka dalam berjuang.
Apa motivasinya? Tentu bukan karena materi dan juga bukan karena manusia. Terlalu naif jika mereka berharap jabatan yang mampu mengalirkan pundi-pundi harta kepada manusia yang notabene bersifat suka lupa, salah, dan kadang berkhianat.
Sandaran hanya ditujukan kepada Allah. Allah-lah yang paling bijaksana dan adil dalam membalas setiap pekerjaan hamba-hamba-Nya. Meski mereka tidak akan memperoleh kedudukan apa-apa di mata manusia, Allah pasti akan mengokohkan kedudukan mereka di mata-Nya sebagaimana Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad 47:7)
Adakah kedudukan dunia yang lebih mulia dari kedududukan yang baik di mata Allah? Tentu, tidak ada. Kedudukan di mata Allah adalah kedudukan yang lebih mulia dan seharusnya menjadi prioritas dan orientasi utama sebelum menginginkan kedudukan lainnya. Barang siapa yang mendapat kedudukan dunia dan ia optimalkan sebagai sarana untuk mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Allah, maka Insya Allah ia akan mendapatkan kemuliaan baik di mata Allah SWT dan manusia. Sebaliknya, barang siapa yang mendapatkan kedudukan dunia dan ia hanya optimalkan untuk memenuhi hawa nafsunya, maka ia hanya akan mendapat kehinaan di mata Allah SWT dan manusia.
Semoga kita termasuk golongan yang berorientasi hanya kepada Allah SWT semata itu. Amin.
Wallahu a’lam bishshawaab