Suatu sore, kira-kira tiga hari yang lalu, kami sedang bermain santai bersama anak-anak. Si bungsu asyik bermain dengan boneka kelincinya sedangkan kulihat si sulung sedang latihan menulis. Tak berapa lama si sulung berlari kearahku sambil berkata, “Ibu, aku tulis surat untuk teman di hoikuen”
“Oh ya? nulis apa?” tanyaku “Ini ibu baca sendiri, ibu boleh baca kok” katanya sambil mengulurkan secarik kertas.
“Aku ambil kertas tersebut dan terbelalak saat membacanya karena anakku menuliskan kalimat-Naoaki kun kyou no Hina matsuri wa tanoshikatta”.
Aku tarik nafas dalam-dalam sebelum bertanya keanakku sekaligus untuk menyembunyikan kegusaranku. Belum berhasil juga, lalu aku mencoba berdiri dan mengecek jadwal harian hoikuen anakku, disitu tertulis dengan jelas bahwa untuk Hari senin, 23 Februari 2009 adalah bahasa Inggris. “Kenapa jadi persiapan hina matsuri?” keluhku dalam hati. Dalam jadwal bulanan hoikuen, harusnya persiapan Hina Matsuri dislenggarakan tanggal 26 Februari dan sudah kutandai untuk meliburkan anakku. Persiapan besarnya sendiri sebenarnya jatuh pada tanggal 3 Maret yang akan datang.
Setelah aku merasa agak tenang, aku datangi lagi anakku sambil kuajak bicara baik-baik. “Andi kun tadi di hoikuen bermain hina matsuri sama Naoaki ya?” “ung” kata anakku sambil menganggukkan kepalanya. “Memang mainnya kayak apa sih nak?” pancingku
“Andi kun wa suwata dake yo!” kata anakku seperti mencoba meredakan kegundahanku “Ah, so?” uangkapku sebiasa dan sedatar mungkin. “So yo, Andi kun wa hitori de suwata; mina wa odota” “Ooo” kataku menarik nafas lega meskipun belum sepenuhnya merasa tentram, dan tetap merasa telah kecolongan karena membiarkan anakku tetap masuk hoikuen pada hari tersebut. Karena tanpa sadar juga, anakku menyanyikan lagu Hina Matsuri yang dihafalnya diluar kepala. Pantas saja saat aku menjemput Andi 2 hari yang lalu seperangkat boneka Hina sudah terpajang rapi diruangan depan hoikuen, batinku.
Entah mengapa saya masih punya berbagai macam pikiran tidak enak meskipun kulihat anakku sudah berusaha menjelaskan keadaannya saat persiapan bahwa dia hanya duduk saja (tapi bertugas menyanyi-imbuhku dalam hati). Meskipun aku mencoba mentolerir bahwa mungkin dia sekedar menyanyi karena disuruh senseinya tanpa tahu maknanya, tetap saja hatiku merasa sangat tidak nyaman dan kuatir.
Kekuatiranku tersebut bukannya tanpa alasan karena saat perayaan tanabata tahun lalu, sensei hoikuen tetap memaksa anakku ikut partisipasi meskipun sudah kujelaskan panjang lebar. Untung saja anakku selalu bercerita dengan lugunya tentang apa saja yang dikerjakannya disekolah hingga mempermudah dan membantuku untuk mengambil tidakan preventif maupun koreksi bilamana diperlukan, terutama saat urusannya menyangkut masalah akidah kami.
Diam-diam aku membuka kembali buku “Omiyage” terbitan GEOS Publishing yang membahasa tentang budaya Jepang. Aku buka kembali lembaran yang membahas tentang Hina Matsuri untuk bekal cerita ke anak-anakku; dan teman diskusiku minggu ini yang sepertinya masih beranggapan bahwa Hina Matsuri adalah sebuah perayaan budaya biasa.
Hina Matsuri (Doll Festival) biasanya dirayakan pada tanggal 3 Maret dan bertujuan untuk mendoakan anak perempuan agar tumbuh sehat dan kelak memiliki perkawinan yang bahagia. Di Jepang sendiri, Hina Matsuri mulai ada pada masa Edo (1603-1867).
Keluarga yang mempuyai anak perempuan biasanya akan memajang boneka Hina sedari pertengahan bulan Februari dan harus segera menurunkan pajangan tersebut setelah memasuki tanggal 3 Maret. Menurut kepercayaan yang ada, bila boneka Hina masih tetap terpajang setelah selesai festival, anak perempuan dalam keluarga tersebut akan telat menikah. Meskipun tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk perayaan tersebut, kebanyakan keluarga akan merayakan Hina Matsuri karena dipercaya bahwa perayaan tersebut akan mendatangkan keberuntungan.
Perangkat boneka Hina yang dipakai dalam Hina Matsuri ada bermacam-macam; dari perangkat set kecil yang terdiri dari 3 mimbar sampai perangkat set besar yang terdiri dari 8 mimbar. Dairibina (maharaja/kaisar & maharani/kaisar perempuan) akan ditempatkan dimimbar teratas, kemudian berturut-turut adalah san’nin kanjo (tiga dayang), gonin bayashi (lima musikus), udaijin dan sadaijin (2 bangsawan kanan & kiri), dan tiga pembantu. Dekorasi yang melengkapi mimbar Hina Matsuri adalah bonbori (lentera) dan bunga buah peach. Adapun sesajinya adalah hishi-mochi (ketan tumbuk berbetuk diamon) dan shiro-zake (anggur putih dari beras yang rasanya manis).
Dimasa lalu, boneka hina akan dilarutkan ke sungai untuk mengusir roh jahat. Menariknya, di masa kini orang akan menyimpan kembali boneka hina setelah selesai perayaan karena harganya mahal dan sayang untuk dibuang. Boneka yang sama akan disimpan dan diwariskan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya. Boneka hina bisanya akan dipajang setiap tahun sampai anak perempuan dalam keluarga tersebut menikah, dan membawa boneka Hina tersebut bersamanya. Makanan yang biasanya tersaji pada saat Hina Matsuri adalah chirashi-zushi (sushi yang dicampur di dalam cawan) atau sup kerang.
Disamping ritual Hina Matsuri itu sendiri, yang paling menarik untuk dicermati menurut saya pribadi adalah interpretasi-interpretasi yang diberikan terhadap festival tersebut. Biasanya keluarga di Jepang memandang Hina Matsuri sebagai sarana untuk menumbuhkan ketaatan anak, pemujaan terhadap nenek moyang, kesetiaan, dan yang lebih utama adalah rasa cinta terhadap anak dari para orang tua Jepang. Rasa suka dan bangga terhadap anak dan keinginan untuk membahagiakan anak tersebut membuahkan cinta yang mampu medorong orang tua untuk menjual harta miliknya demi membeli boneka untuk Hina Matsuri.
Setelah selesai membaca ulasan tentang Hina Matsuri, yang ada dalam benak saya kemudian adalah sebuah perenungan panjang. Mungkin benar bahwa sepintas lalu, Hina Matsuri merupakan refleksi cinta orang tua terhadap anak tapi bagaimana dengan ritual matsuri itu sendiri yang dipenuhi dengan kepercayaan-kepercayaan yang menurutku sangat tidak sesuai dengan prinsip dan keyakinanku, termasuk adanya sesaji untuk boneka-boneka yang dipajang tersebut. Ditambah lagi interpretasi bahwa Hina Matsuri bisa juga dikaitkan dengan pemujaan terhadapa nenek moyang.
Duh, tiba-tiba saja rasa kecolongan itu kembali datang mendera dan aku hanya mampu berdoa: “Ya Allah, ampuni dan sayangilah kami dan jagalah akidah kami dari segala hal yang akan mendatangkan murka-Mu, Amin, Amin Yaa Rabbal ‘Alamiin”.
Fukuoka, Penghujung Februari 2009
Terjemahan Bebas:
Hina Matsuri = Dolls Festival = Perayaan Boneka
Naoaki kun kyou no Hina matsuri wa tanoshikatta = Naoaki, perayaan Hina Matsuri hari ini menyenangkan
Andi kun wa hitori de suwata; mina wa odota = Andi duduk sendiri yang lainnya semua menari.
Referensi
Hina Matsuri: おみやげ (Japanese & English Version), GEOS Publishing, 1999, Japan
Interpretasi Hina Matsuri: http://mothra.rerf.or.jp/ENG/Hiroshima/Festivals/36.html