Kecemburuan adalah perasaan muhibb ‘orang yang mencintai’ atau mahbubb ‘orang yang dicintai’ , cemburu karena ada pihak ketiga terlibat dalam cintanya. Karena ia menginginkan cinta itu hanya untuk dirinya saja dan tidak menghendaki keterlibatan orang lain di dalamnya. Berdasarkan hal itu , maka kecemburuan itu terbagi menjadi dua bagian : 1) kecemburuan Allah ; 2) kecemburuan makhluk, khususnya manusia. Allah SWT sangat marah apabila melihat hambaNya menyembah selain diriNya. Padahal Dialah yang menciptakan dan memberinya pendengaran penglihatan dan hati kepadanya. Setelah itu, ternyata si hamba tersebut memberikan loyalitas, mahabbah ‘cinta’ dan ketaatannya kepada selain Dia.
Sedangkan kecemburuan manusia terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya :
Kecemburuan suami terhadap isterinya, atau sebaliknya.
Kecemburuan seorang anak terhadap adiknya saat melihat perhatian lebih yang diberikan kepada adiknya. Ia marah karena telah kehilangan cinta yang semestinya tidak boleh seorangpun terlibat di dalamnya.
Kecemburuan seorang pegawai terhadap pimpinannya saat ia melihat pimpinannya itu memperhatikan pegawai lain.
Sedangkan di medan dakwah terdapat dua macam kecemburuan : Pertama, kecemburuan demi agama, yaitu, kecemburuan yang bersandar pada kecemburuan Allah yang mendorong mereka saling bersaing untuk membela agama ini, dan banyak mengajak orang lain kepadanya serta melawan orang mengingkarinya, sekalipun dalam melakukannya ia harus bersaing untuk mengorbankan nyawa mereka di jalan Kekasihnya yang Maha Agung, Allah dan agama yang diturunkanNya. Tidak diragukan lagi hal ini termasuk jenis kecemburuan yang paling mulia dan paling tinggi, setelah kecemburuan Allah, karena kecemburuan ini juga untukNya.
Tetapi ada jenis kecemburuan lainnya yang kadangkala terjadi di kalangan para Dai. Yaitu, kecemburuan karena persaingan karena selain Allah , contoh ketika salah satu di antara mereka diangkat menjadi syeikh ( menjadi lebih terkenal) atau ustadz yang diberikan tugas khusus atau salah satu dari mereka mendapatkan tugas memberi pelajaran khusus, atau tugas penting lainnya, sedangkan yang lainnya tidak, sehingga Dai lainnya (yang tidak mendapatkan tempat di mata pimpinan jamaah atau di mata umat) akan mengalami kecemburuan . Dan kecemburuan ini termasuk yang tercela, karena dapat menafikan kesempurnaan ikhlas yang dikehendaki Allah, khususnya bagi mereka yang bekerja di jalanNya. Mengingat karena Allah SWT tidak menerima suatu amalan, kecuali jika amalan tersebut benar dan ikhlas semata mata karena Allah, sebagaimana yang difirmankanNya :
“Katakanlah, “ Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti kamu, yang ka yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan yang saleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam beribadat kepada TuhanNya. (QS Al Kahfi 110)
Seorang dai yang menginjakkan telapak kakinya di jalan dakwah ini, semestinya ia hanya semata mata mengharapkan keridaan Allah SWT, dan tidak menanti kekaguman dan pujian manusia terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah Khaliknya.
Oleh karena itu, tidak masalah baginya bila ada orang lain yang dipuji, bahkan sebaliknya ia bergembira bila saudaranya dipuji dan berdoa untuknya agar senantiasa mendapat keberkahan dan kebaikan. Ia tidak peduli di mana saja ia ditempatkan, selama masih bekerja di jalan Allah. Oleh karena itu, kecemburuan dalam pengertian seperti ini (yang tercela) tidak boleh terjadi di barisan para dai selamanya. Sebab, ia merupakan salah satu pintu besar masuknya setan untuk merusak amal para dai. – Abdul Hamid al Bilali-