Keberhasilan Diukur Hanya Dengan Materi

Saat aku dan keluarga akan berlibur ke kota Samarinda, maka kami pun mengendarai mobil ke Samarinda dengan memakan jarak tempuh sekitar lima jam ( bila kondisi jalan stabil ) dengan kecepatan sedang. Maklum saja, jalan yang kami lalui lebih banyak lubangnya daripada yang mulusnya. Biasa, begitulah kondisi jalan umumnya di Kalimantan Timur nan kaya ini. Bila dibandingkan dengan ibukota Jakarta, maka sangat ironis tentunya. Jakarta punya jalan layang yang bertingkat, maka di Kalimatan Timur yang hanya punya satu jalan dengan kondisi yang tidak kita temui di pulau Jawa, itupun harus kami syukuri daripada terisolir!

Tapi tentu saja aku tidak ingin mengupas tentang ketimpangan pembangunan. Hanya aku menguraikan sedikit bagaimana perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh lebih singkat, ternyata harus memakan waktu satu hari. Saat melakukan perjalanan itulah saya bertemu kembali dengan sohib ( kawan saat kuliah ) yang telah pula berkeluarga. Kami bertemu setelah lama tak bersua, sekitar tujuh tahun. Dia berlawan arah denganku. Tujuannya ke kota Sengata, sementara aku yang dari Sengata menuju ke kota Samarinda.

Pertemuan itu tentu saja menggembirakan. Bertemu kawan karib yang lama tak terlihat batang hidungnya, ternyata jumpanya di perjalanan saat kami sama-sama mengambil napas di sebuah warung makan di tengah perjalanan, antara Samarinda dan Sengata. Perjalanan itu mungkin seperti mengikuti rely mobil! ( mungkin berlebihan ya?! ) Setiap tanjakan jalan pasti akan ada belokan, begitu pula saat ada penurunan maka kita akan menemui belokan jalan, baik ke kiri maupun ke kanan. Belum lagi jalanan yang banyak lubangnya, hingga sang sopir seringkali secara reflek menghindari lobang sekaligus menghindari kendaraan dari depan karena sama-sama mencari jalan yang bisa di lewati kendaraan. Gerakan reflek yang dilakukan sopir, membuat kami penumpangnya akan sering-sering terbanting, bagaikan terbanting di ring tinju! He..he…Makanya, jangan heran panjang jalan yang tidak cukup dua ratus kilometer akan membuat badan kami pegel-pegel seperti habis dipukulin!

Kami mulai berbincang tentang kawan-kawan yang sudah punya karier yang lumayan, membuat kami gembira dan bersyukur, ternyata kawan-kawan telah berhasil terjun ke masyarakat. Cerita itu akhirnya bertumpu pada cerita kawan kami yang telah bekerja di sebuah bank negeri di Samarinda. Dia seorang wanita, cantik lagi. Tapi bukan kecantikannya yang diulas oleh sohibku ini, tapi keberhasilannya. Tentu saja aku senang bila kawan berhasil. Dengan semangatnya dia bercerita :”Mah, aku ketemu ama si anu pakaiannya bagus sekali. Sangat cantik dan serasi. Mobilnya? Sangat bagus! Aku senang lho dia berhasil!” Dia dengan semangat 45 menceritakan keberhasilan kawan kami itu. Aku hanya menyunggingkan sebaris senyum dan mengumam dalam hati :”Ah, kawanku ini rupanya mengukur keberhasilan hanya lewat materi!”

Mungkin jika dia hanya menceritakan tentang karier kawan kami itu, aku dapat turut berbangga hati. Tapi, dia menjelaskan secara detail tentang mobil, pakaian dan lainnya yang menyangkut kebendaan. Aku pun sedih mendengarnya. Padahal dia dulu kawan yang sering terjun di acara kampus yang bernuansa Islam. Dia dekat denganku pada setiap acara kampus dan acara pertemanan lainnya. Dia sama denganku, sedikit tomboy! Tapi, saat pertemuan di perjalanan itu, aku melihat perbedaan yang sangat besar di antara kami. Rupanya, waktu yang tujuh tahun membuatku mampu menilainya dari sisi yang lain. Sisi ruhiyahnya tak terisi. Pakaiannya-pun seperti kebanyakan wanita yang aku temui. Celana jeans dan baju berkaus berlengan pendek yang ketat, sepatunya bermodel sport. yang semuanya melambangkan kepraktisan. Dulu, aku juga begitu!

Ada sedikit kesedihan yang mampir di relung hati ini. Kawan yang dulunya serasa sehati, ternyata saat bertemu kembali bagaikan bertemu dengan orang yang tak pernah aku kenal. Cerita-ceritanya tak membuatku nyaman. Pandangan hidupnya yang berorientasi kebendaan membuatku kasihan. Kasihan padanya, karena dia tak mendapatkan hidayah Allah yang membuatnya merasa tenang dengan semua keadaannya. Kawan, maafkan aku atas segala persepsi miringku terhadapmu.

Lain sohibku ini lain pula dengan beberapa orang keluarga yang berkunjung ke rumahku. Beberapa orang ini bergantian bersilaturhim ke rumah karena merasa kangen padaku. Beberapa orang yang punya satu persepsi tentang keberhasilan hidup, tapi aku selalu hanya bisa diam, karena mereka orang yang aku segani. Ketika, salah seorang bertemu denganku, maka dia pun bercerita dengan bersemangat tentang keberhasilan orang-orang yang telah lama tak aku jumpai. Cerita tentang mobil, tentang pekerjaan maupun cerita lainnya yang semuanya bertumpu pada satu titik : MATERI!

Aku juga merasakan kesedihan pada pertemuan ini, sama seperti pada pertemuan sohibku dulu. Beberapa orang yang lama tak berjumpa denganku, ternyata punya persepsi yang sama tentang hidup ini. Aku tak bisa berkata, ataupun memberi jeda pada ucapannya yang sangat berapi-api tentang keberhasilan orang-orang lain. Aku pun duduk dengan diam, mungkin tanpa ekspresi! Tapi, dia tak melihat itu!

Ketika ada peluang, maka aku pun mengeluarkan peluru yang telah lama ada di hati ini. Aku secepatnya berlomba dengan waktu yang sedikit, tanpa memberi ruang waktu untuknya untuk menambah ceritanya tentang keberhasilan orang-orang yang dikaguminya.
“Aku gembira mereka berhasil. Tapi, apakah kita hanya menilai seseorang dari harta yang didapatnya? Apakah tante tidak pernah berpikir harta itu belum tentu membuat mereka bahagia? Apakah tante tidak lihat, mereka yang berhasil menurut tante ternyata banyak perselingkuhan di dalamnya? Atau…Bagaimana anak-anak mereka menjadi liar? Hidup mereka berlimpah materi, tapi hati mereka kosong, kering dari kesejukan iman!”

Aku pun mengambil napas sebentar dan melanjutkan : “Apakah bila sebuah keluarga yang hidupnya biasa-biasa saja tidak termasuk berhasil? Padahal mereka menjalankan ibadah shalat dengan baik. Anak-anaknya rajin ke masjid? Bila mereka sering khatam al-Quran bukan sebuah keberhasilan?!” Kok jadinya aku pun berapi-api menerangkan argumentasiku. Sudah lama sekali aku pendam ketidak-nyamanan ini. Aku seperti gunung yang memuntahkan laharnya. Aku tak begitu peduli dengan wajah yang melongo di hadapanku. Aku ingin melepaskan semua yang aku rasakan, bahwa materi bukanlah satu-satunya keberhasilan yang harus dibanggakan!

Akhirnya dadaku PLONG dari himpitan yang lama terikat kuat. Mulutku sudah puas memuntahkan yang seharusnya aku muntahkan. Aku tidak boleh berdiam diri dengan semua persepsi orang terdekatku tentang keberhasilan yang berbanding lurus dengan jumlah harta yang mereka miliki. Aku puas, karena aku telah menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat mereka memikir ulang tentang pandangannya ( itulah harapanku ), pandangan yang hanya berpatokan pada materi yang di dapat!

Semoga saja, mereka di berikan pencerahan oleh Sang Pemberi Cahaya kehidupan, karena aku tak punya kuasa untuk itu.

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]