Di suatu siang di dalam minibus saat perjalanan menjemput anak-anak sekolah.
“Ibu tahu semalam ada kebakaran di rumah sebelah?“ kata supir Pakistan compound (kompleks perumahan) kami membuka percakapan dengan Bahasa Inggrisnya yang patah-patah.
“Di rumah sebelah?“
“Iya, persis di samping rumah Ibu, di halaman parkir mobil”
“Wah saya tidak dengar apa-apa”
“Padahal ramai, banyak orang dan baladiyyah (petugas pemerintah kota) juga datang berteriak meminta penghuninya keluar rumah.”
“Jam berapa kejadiannya?”
“Sekitar jam empat pagi, apinya berkobar tinggi mungkin mencapai tiga meter.”
Hmmhh….padahal alarm handphone sudah saya set pukul empat pagi karena sebetulnya hari itu saya berniat sahur. Tapi karena mata ini masih terasa berat untuk bangun, saya hanya beranjak mengambil handphone dan mematikan alarmnya lalu melanjutkan tidur sampai subuh.
“Barangkali karena AC”, lanjutnya lagi karena saya diam saja dan tidak berkomentar apa-apa.
Compound kami tidak seberapa luas, hanya terdiri dari kira-kira enam belas rumah saja, itupun tidak semuanya terisi. Di sebelah compound kami memang ada villa besar dan cukup mewah. Di halaman belakangnya terdapat kolam renang pribadi. Sedangkan di bagian depan rumahnya dibangun ruko-ruko yang disewakan untuk usaha laundry, kantor kecil, dan bengkel mobil. Antara compound kami dengan villa sebelah dibatasi pagar tembok yang tinggi.
***
Begitu sampai di rumah, penasaran saya ingin melongok keadaan tetangga sebelah dari jendela di lantai dua rumah kami. Pemandangan yang cukup membuat saya pilu. Bagaimana tidak, meskipun villa tetangga tidak dilahap api, namun mobil minibus yang diparkir di halaman rumah tersebut habis terbakar. Saya memang tidak pernah melihat bentuk minibus itu sebelum terbakar, tetapi saat itu saya melihat atap mobilnya sudah tidak ada, sehingga tampak jok mobil hangus dan seluruh badan mobil hitam legam. Pohon yang tumbuh di dekat pagar tembok yang berbatasan dengan rumah kami batangnya hangus dan beberapa daunnya menghitam. Belakangan seluruh daunnya yang lain terkena akibatnya, kuning kering rontok tak berdaya. Begitu dekatnya letak pohon itu, bahkan dahannya sebagian menjulur ke halaman kecil rumah kami sehingga daun-daun kering tersebut jatuh berguguran di sana.
Bukan tidak mungkin jika Allah berkehendak, daun-daun itu menjadi penghantar sang lidah api melintasi tembok pembatas rumah kami dan menghanguskan semua bangunan yang dilaluinya. Maha Suci Allah yang telah melindungi kami sekeluarga dari musibah ini.
***
Teringat saya akan peristiwa serupa lima tahun lalu. Saat saya masih menggendong putri terkecil kami yang ketika itu baru berusia hitungan bulan. Siang itu saya mendengar suara mendesis di sekitar ruang makan rumah petak kami. Betapa terkejutnya saya saat itu, karena saya melihat api kecil yang merambat di kabel pompa air yang menggantung di antara tembok dan jendela luar kamar saya. Pemandangan yang persis seperti di intro film Mission Impossible.
Sambil menggendong bayi, saya berteriak ke semua penghuni rumah agar segera keluar. Pada saat itu pengasuh saya yang sedang mandi, bergegas ke luar kamar mandi. Sementara anak saya yang besar sedang bermain di luar. Saya bingung dan panik hendak berbuat apa karena tidak ada penghuni laki-laki siang itu. Jantung berdegup kencang dan keringat dingin menetes satu per satu. Tanpa pikir panjang saya langsung berlari ke garasi mobil, membuka lemari meteran listrik dan mematikan aliran listrik segera. Kemudian saya masuk kembali ke dalam rumah untuk melihat apakah api sempat menyambar jendela kayu kamar kami atau tidak. Alhamdulillah ternyata belum terlambat, api sudah mati sebelum mencapai jendela kayu yang tinggal berjarak tiga puluh centimeter saja. Nyala api itu telah meninggalkan kabel yang terputus menghitam berayun-ayun di langit-langit ruang makan.
Sekali lagi, jika Allah berkehendak bisa saja waktu kejadian dirubah pada malam hari. Di saat semua penghuni rumah sedang terlelap dalam tidur. Memberi peringatan kepada penghuninya yang terlena tanpa menyisihkan waktu untuk berdoa dan bersimpuh di hadapan Rabb-nya.
Begitu lemahnya manusia. Bila bukan karena limpahan kasih sayang-Nya, mungkin musibah itu sudah demikian besarnya menyisakan luka di qalbu, menjadi bagian dari perjalanan hidup ini. Ya Allah, Engkau yang mempunyai segala puji-pujian, kepada Engkaulah aku mengadukan halku, dengan Engkau aku memohon pertolongan dan Engkau Dzat yang diminta pertolongan, tak ada daya dan tak ada upaya melainkan dengan Allah.
Jeddah, Rajab 1429H