Daun pintu kamar kos saya baru terbuka setengahnya dari luar saat telinga saya menangkap ujung nada dering hp saya yang tergeletak di atas rak buku sepulang dari shalat jama’ah Ashar di masjid sore itu.
Oh, ternyata dari adik perempuan saya. Dia sudah miscall dua kali.
“Ada apa, De?” Sms saya saat itu juga.
Beberapa saat berselang, hp saya kembali menjerit. Surprise! Dia tidak membalas sms saya, tetapi dia kembali ngebell ke hp saya.
Terdengar suara-suara ribut di seberang sana setelah saya mengucap salam. Suara-suara renyah cewek!
“Kak, aku lagi di warnet sekarang. Email-nya kok gak bisa dibuka ya? Gimana nih? Aku sudah tulis user ID-nya, terus password-nya, tapi masih tetap gak bisa juga. Gimana sih, Kak?” berondongnya serta merta, sedikit manja.
Olala, ternyata dia mengikuti saran saya untuk membuat sebuah address email dan “berkenalan” dengan dunia maya. Tepat seminggu sebelumnya, setelah saya membelikannya pulsa sepuluh ribu, dia menelpon saya dan kami ngobrol hampir setengah jam-an dalam sebuah keakraban yang ceria.
Salah satu butir dari obrolan kami malam itu ialah saya “memaksanya” untuk sesekali mampir dan berselancar di dunia maya, biar tidak terlalu gaptek. Dan ia menepati janjinya. Menyempatkan ke sebuah warnet dengan tiga orang teman kuliahnya nun jauh di kota Bengkulu sana.
Dengan sabar, telaten dan sepenuh cinta, saya jawab dan jelaskan padanya tentang cara sign-in, mengecek surat-surat yang masuk, mengirim surat, juga termasuk cara bergabung di komunitas friendster. Sambil mengikuti petunjuk saya, dia masih terus bertanya seputar dunia maya.
Adik saya sukses menghabiskan uang tujuh ribu rupiah untuk acara ngenet-nya sore itu. Dan hasilnya adalah sebuah email perdana yang dikirimnya nyangkut di kotak surat address saya.
#
Sekilas tampak tak ada hal yang istimewa dari deskripsi di atas, kan? Hanya sebuah keakraban yang sangat wajar antara seorang kakak dengan adik perempuannya yang terpisah jarak sejauh ratusan kilometer. Saya di Jawa, Yogyakarta tepatnya, dan adik perempuan saya di Sumatera sana, kota Bengkulu.
Tapi tahukah Anda, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk bisa menjadikan kami akrab seperti saat ini?
Saya terlahir di penghujung tahun 1981 di sebuah rumah bersalin tak jauh dari alun-alun kota Lubuk Linggau, ibu kota Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, sekitar tujuh jam perjalanan naik kereta ke arah Barat Daya dari Palembang. Tak sampai setengah tahun dalam dekapan Bunda, saya diboyong ke Jawa oleh kedua orang tua saya, ke tempat kediaman nenek-kakek saya dari pihak Ayah di ujung barat Cilacap, Jawa Tengah. Dan sejak saat itu saya tinggal dengan nenek-kakek saya di Jawa, sementara orang tua saya kembali ke Sumatera.
Hampir lima tahun berselang, adik perempuan saya itu lahir. Dan kami baru bersua untuk pertama kalinya ketika dia ikut serta mengunjungi saya ke Jawa. Saat saya kelas 3 SD dan dia berusia tak lebih dari 4 tahun. Tentu saja kami tak saling mengenal satu sama lain kala itu. Ironis sekali memang.
Pertemuan kedua kami terjadi di bulan September 1993. Bunda yang sedang hamil—mengandung adik saya yang kedua, kecelakaan. Angkot yang dinaikinya diseruduk bis AKAP di jalan trans Sumatera. Itulah kali pertama saya kembali menginjakkan kaki saya di tanah kelahiran. Namun, saat itu pun tak ada interaksi yang berarti di antara kami, seorang cowok imut kelas 1 SMP dan seorang anak perempuan kelas 2 SD. Begitulah, hal yang sangat saya maklumi saat ini.
Tujuh tahun kemudian, saat saya sudah duduk di bangku kuliah tahun kedua, saya kembali bertatap muka dengan adik perempuan saya itu. Liburan semester, saya memberanikan diri pulang sendirian ke tanah Andalas. Saya kangen, sangat kangen untuk bisa ngobrol banyak dengannya.
Akan tetapi, bayangan saya tentang sebuah keakraban di antara kami ternyata masih sangat jauh panggang dari api. Bagaimanapun, dalam rentang waktu hampir 20 tahun usia saya dan 15 tahun usianya saat itu, hanya tiga kali kami sempat bertatap muka. Tentu hal yang mustahil bagi kami untuk bisa langsung akrab seketika layaknya dua orang kakak beradik yang selalu tinggal bersama.
Kami membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk membangunnya. Memupuk kebersamaan. Saling memahami dan memaklumi kultur yang berbeda yang telah sekian lama membentuk karakter kami masing-masing. Juga menumbuhkan benih-benih kasih sayang di antara saya dengannya.
Sekembali dari mudik di tahun 2000 itulah, saya mencoba lebih intens membangun komunikasi dengan adik saya. Saya ingat sekali, dengan mesin ketik manual warisan Ayah yang biasa saya gunakan untuk membuat laporan praktikum, saya rutin menulis surat untuknya hingga berlembar-lembar. Saya masih menyimpan copy-annya sampai sekarang, ada sekitar empat puluhan lembar spasi satu kertas A4.
Saya juga menyempatkan untuk meneleponnya ke asrama tempatnya sekolah sekaligus nyantri di sebuah SMP semi pesantren, hampir sebulan sekali. Saya rutin membelikannya hadiah setiap hari lahirnya tiba dan saat ada uang lebih. Dari serial “Aisyah Putri”-nya Asma Nadia, “Pingkan”-nya Muthmainnah, nomik (novel komik) “Olin”, majalah Annida dan Karima, kaset nasyid dan murottal, hingga buku kumpulan soal-soal EBTANAS SMP dan SMA.
Oya, cerpen pertama saya yang sempat dipublikasikan di sebuah majalah remaja nasional pada bulan Oktober 2002 juga berkisah tentangnya. Tentang kekhawatiran seorang kakak kepada adik perempuannya yang sedang beranjak dewasa. Yang saya persembahkan spesial untuknya.
Selain itu, dua tahun lebih—rentang tahun 2005-2007, saya aktif melakukan “riset” via sms, email dan friendster pada puluhan “responden” remaja putri seusianya; menyelami karakter, harapan dan cita-cita, logika berpikir, serta kebiasaan-kebiasaan mereka yang kemudian saya jadikan sebagai studi kasus untuk memahami sikap dan prilaku adik saya.
Saat kami sudah memiliki hp, tak jarang saya membelikannya pulsa, baik saat dia memintanya langsung atau saya kirim diam-diam tanpa memberitahukannya. Tentu saja saya juga selalu berusaha membangun sebuah dialog lewat sms dan menelponnya.
Tak lupa saya juga meminta orang tua, terutama Ayah, untuk menjadi mediator sekaligus moderator yang menjembatani dan mengklarifikasi perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara kami.
Ya, saya mencoba memanfaatkan setiap momentum dan kesempatan yang ada untuk menjadikan kami, saya dan adik saya, bisa akrab layaknya dua orang kakak beradik. Tentu saja saya juga tak pernah bosan berdo’a, memohon kepada-Nya untuk menumbuhkan cinta dan kasih sayang di sanubari kami.
Pada akhirnya, setelah bilangan tahun berlalu, kini kami mulai bisa mengakrabkan diri satu sama lain. Belajar saling mencintai, saling melengkapi setiap kekurangan dan menyikapi setiap perbedaan yang ada dengan lebih dewasa, membangun kebersamaan, sambil terus belajar untuk mengendalikan ego diri.
Dan semoga ke depan kami bisa lebih akrab lagi dari saat ini. Amin.
#
“Do you have sister?”
“Yes, I have three young sisters.” Saya merespon pertanyaan salah seorang dari tiga interviewer dalam sesi wawancara di sebuah lembaga riset awal tahun 2006 lalu dengan nada standar.
“Whom do you love so much among them?” Lanjutnya tak menunggu jeda terlalu lama.
“The oldest one.” Sahut saya spontanitas.
Detik itu saya tak sempat berpikir lebih jauh tentang kenapa saya menjawabnya demikian. Barulah ketika laki-laki muda pewawancara itu melanjutkan pertanyaannya, saya tercenung cukup lama memikirkan alasannya. Sampai dia harus mengulang pertanyaan yang sama pada saya yang masih tetap membisu.
“Why? Can you tell me, please?”
“Because her age is nearest with me.” Jawab saya diplomatis setelah putus asa untuk mendapatkan jawaban yang sesungguhnya.
Ya, sejujurnya saya tidak tahu mengapa saya sangat mencintainya. Mencintai adik perempuan saya itu. Mungkin ada di antara Anda yang tahu jawabannya?
#
Sabtu, 2 Pebruari 2008 01:48 a.m
Oh, Tuhan! Tolong sampaikan kepadanya, kepada adik-adik perempuan saya; betapa sesungguhnya diam-diam saya sangat mencintai mereka.