“….Korban yang berjatuhan akibat serangan Israel di Gaza terus meningkat…”. Demikianlah bunyi headline berita dari hari kehari, selama 2 minggu ini. Dengan pokok kalimat yang hampir sama, tapi angka yang disebutkan selalu berubah, bertambah besar dan membesar. Dari angka seratus korban meninggal dunia, hingga hari ini lebih dari 700. dari angka ratusan korban luka parah, dan hari ini kudengar lebih dari 3.000. Sampai kapan angka-angka ini tak lagi bertambah. Tak sanggup lagi rasanya kudengar berita yang kian hari kian memilukan.
Kubayangkan betapa besarnya penderitaan rakyat palestina saat ini, khususnya yang bermukim di Gaza. Hari-hari mereka dicekam oleh rasa ketakutan, dengan suara bom yang memekakkan telinga, menghancurkan tempat tinggal mereka, merobek tubuh-tubuh tak berdosa. Setiap saat mereka dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan, “Akankah esok anak-anak mereka masih bisa mereka peluk?”, “Akankah esok anak-anak mereka masih bisa bertemu muka dengan ayahnya?” atau “Akankan esok mereka masih bisa menjadi ibu dan memberikan curahan kasih sayang kepada anak-anaknya?”. Sungguh runtunan pertanyaan yang memerihkan hati untuk dijawab.
Bukankah selama ini mereka juga sudah cukup menderita selama hidup berdampingan dengan kaum Yahudi Israel, dengan segala ketamakan dan kekejaman mereka yang ingin membunuh rakyat Palestina secara perlahan-lahan. Segala pelanggaran HAM yang sudah dilakukan oleh zionis Israel tak bisa dituntut oleh satupun undang-undang perlindungan hak azazi manusia. Bahkan sekarang kaum Zionis tersebut pun sudah tak sabar ingin segera menghabisi seluruh rakyat palestina dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Dan gegap gempitanya demonstrasi dari seluruh penjuru dunia yang menyuarakan agar dihentikannya kebrutalan Israel tersebut pun seperti tak didengarkan oleh manusia yang tangannya punya kuasa untuk menghentikan peristiwa berdarah ini. Seolah telinga mereka tertutup headset dan sedang mendengarkan senandung lagu merdu yang membuai dan menina bobokkan mereka. Padahal di sebuah tempat disana, saudaranya sesama manusia, saudaranya seiman sedang memekikkan rintihan perih saat nyawanya meregang dengan tubuh bersimbah darah. Sungguh sebuah situasi yang jauh dari rasa nyaman, aman dan damai.
Didalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik” (QS. Al maidah : 82). Demikianlah peringatan Allah kepada kita tentang betapa berbahayanya kaum Yahudi tersebut.
Aku pernah merasakan ketidaknyamanan berada bersama satu orang Israel, ditengah ratusan rakyat non Israel di sebuah Aula Universitas yang sangat nyaman. Jauh berbeda dari situasi di Gaza sana, yang dikelilingi oleh ribuan orang Israel disebuah tempat yang penuh “kenyamanan” atas “keramahan dari sebuah bangsa” yang memutus komunikasi rakyat Gaza dengan dunia luar, memutus aliran listrik dan air dan sekarang menghadiahi mereka dengan ratusan roket, rudal dan tembakan senjata api.
Ramadhan lalu (9-12 September 2008), aku menghadiri kongres umum EUCARPIA (European Association for Research on Plant Breeding), yang diadakan di kota Valencia ”City of the arts and sciences“, Spanyol. Peserta yang datang mayoritas memang berasal dari berbagai negara di Eropa dan Amerika walaupun ada beberapa peserta yang berasal dari Afrika dan Asia.
Selama kongres berlangsung, kuperhatikan ada seseorang yang berpenampilan berbeda, selain aku tentunya. Seorang pria, berusia sekitar 50 tahunan, dengan peci kecil dikepala, dan tali yang berjuntai di belakang celananya, dibawah T-shirt yang dikenakkannya. Sebenarnya hal itu tak ingin kuambil pusing, jika saja beliau tidak terlalu sering menyita perhatian peserta kongres dengan kegelisahan yang dia tunjukkan, selalu keluar masuk ruangan dan tak pernah duduk lama bahkan untuk mendengarkan satu topik seminar saja. Tapi hal ini belum begitu berkesan bagiku, hingga pada saat dia memperkenalkan siapa dirinya kepadaku.
Waktu itu aku sedang berkeliling mengamati poster-poster hasil penelitian yang disajikan, menjelang waktu penjemputan oleh bus-bus ke penginapan masing-masing tiba. Aku mencari poster yang menurut daftar disajikan oleh peserta dari Iran dan seharusnya berada di deretan pertama didepan. Kulewati ”pria tersebut“ yang berdiri disamping posternya, sedang menjelaskan sesuatu kepada dua orang peserta yang menghampirinya. Sayangnya poster yang ingin kulihat tidak ada. Akhirnya aku kembali mengamati poster yang lain. Tiba-tiba kudengar seseorang berteriak “Hey….“, aku menoleh kearah asal suara. Kulihat ”pria tersebut“ melihat padaku seraya berkata:
” Hey…where do you come from? “
Sepertinya jelas dia sedang bertanya kepadaku. Aku sedikit kaget dengan nada suaranya yang tinggi, tak seperti orang bertanya. Kujawab bahwa aku datang dari Jerman, dan kusebutkan nama Universitas tempat aku melanjutkan study yang tercantum di kartu nama yang terkalung di leherku, sambil tersenyum.
Dia melanjutkan dengan pertanyaan yang aneh, seperti interogasi bagiku karena dia mengucapkan dengan nada yang tetap tinggi dan wajah yang sangat tak ramah.
” Do you live for all your life in Germany? “
Sebenarnya di dalam hati aku merasa sedikit bingung disuguhi pertanyaan tersebut. Tapi aku jawab juga pertanyaannya, kukatakan bahwa sebenarnya aku berasal dari Indonesia dan sekarang aku sedang melanjutkan studiku di Jerman, dan setelah aku menyelesaikan studiku nanti tentu saja aku akan pulang ke negaraku.
Dia memberikan komentar yang jauh lebih aneh,
”So why you said that you come from Germany, but actually you are an Indonesian and why you write there (dia menunjuk pada kartu nama di leherku) that you come from Germany?“
Masih kuusahakan dengan menebar seyuman menjawab pertanyaannya. Kujelaskan bahwa pada kongres ini aku mempresentasikan sebagian hasil penelitian PhD-ku dan tentu saja artinya aku adalah utusan dari Institusi tempat aku melanjutkan studi saat ini, bukan dari Indonesia. Aku tak habis fikir atas pertanyaannya, yang mempermasalahkan informasi di kartu namaku yang ditulis oleh panitia berdasarkan informasi yang didapatkan dari professorku, karena beliau yang mengurus masalah registrasi dan segala akomodasi untukku disini.
”I come from Israel“ dia melanjutkan pembicaraan, sambil mengangkat kartu nama di lehernya ”You know Isreal?“ lanjutnya.
Ku jawab, “Of course I know. This is yours?“ Berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan kutanyakan apakah poster tersebut miliknya.
”Yes“ jawabnya, dengan nada arogan.
Kuamati print-an di atas beberapa lembar kertas A4 yang disusun, menyerupai poster, berjudul ”Genetic diversity of Solanum melongena* in Israel“. Kubaca sekilas tulisannya, dan dia menyela dengan menyodorkan sehelai kartu namanya padaku seraya berkata :
”Tell to all Indonesian people, that you meet a friendly man from Israel.“
Sinar kebencian jelas terlihat dari wajah dan suaranya. Kuperhatikan sekilas kartu namanya, seorang Doktor dari Universitas Israel dan mengaku punya keahlian sebagai pemulia tanaman, ahli genetik, statistik, dan evolusi, demikian yang tertulis di kartu namanya.
Kukatakan padanya “tentu saja” dan kututup pembicaraan sambil berkata ”sangat senang bisa berjumpa dengan anda” sambil kembali tersenyum ramah dan berlalu menuju poster yang lain. Dua peserta yang sedang menghampiri posternya menjadi saksi pembicaraan kami, dan mereka hanya terdiam selama kami berbicara. Kulihat kembali deretan poster-poster tanpa konsentrasi, sementara di kepalaku masih terbayang ekspresi wajah “pria” yang sepertinya seusia dengan ayahku, tapi tak ada aura ramah kebapakan di wajah tersebut. Yang kuingat sampai saat ini wajahnya yang bengis, nada suaranya yang keras, dan senyum sinisnya selama pembicaraan singkat kami berlangsung.
Sepanjang sisa rangkaian acara hari itu, aku berfikir, seumur hidupku aku tak pernah bertemu dengan seorang yahudi dari bangsa israel, cerita tentang mereka hanya kuketahui dari berita yang kudengar dan kubaca. Dan hari ini, salah seorang dari mereka sudah menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya di depan mataku. Tak hanya dari penampilan fisiknya, tapi dia tunjukkan juga siapa mereka sebenarnya dari sikap dan tingkah lakunya. Dengan bangga dia beri aku petunjuk tentang rahasia siapa dirinya.
Di dalam bus, sepanjang perjalanan menuju hotel tempat aku menginap, aku masih terdiam. Aku merasa sedikit menggigil, rasa tidak nyaman menjalar di sekujur tubuhku. Hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Selama lebih dari dua tahun aku berada di sekeliling orang-orang non-muslim di negeri sang mantan penguasa diktator Hitler. Bahkan ketika aku berkunjung ke Valencia ini pun, aku satu-satunya wanita bersama tiga orang peserta dari Institut kami, seorang teman dari Belgia yang juga sedang menyelesaikan S3, seorang head researcher di Institut kami dan Professor kami yang sekaligus pimpinan Institut. Aku tak merasa sedikitpun asing bersama mereka, karena mereka sudah terbiasa menerima keadaanku dengan hijab penutup auratku serta hal-hal lainnya yang melekat padaku. Termasuk tidak ikut berpartisipasinya aku saat makan siang, karena mereka tahu Ramadhan tiba. Tapi hari itu, “pria” itu mengingatkanku akan berbedanya aku. Dan sepertinya hanya dia yang membuat aku merasa tidak nyaman. Buktinya pada hari-hari lain selama kongres, pembicaraan normal bisa berlangsung antara aku dan beberapa peserta dari berbagai negara.
Aku bisa membayangkan betapa “ramahnya” kalian wahai bangsa zionis Israel. Dengan “keramahanmu” kau berikan rasa “nyaman” pada rakyat yang kau rampas tanahnya, kau usir dari kampung halamannya, kau ambil hak-hak mereka, kau pisahkan anak dari ibunya, istri dari suaminya. Kau tebarkan senyumanmu diatas tangisan dan jeritan rakyat palestina. Kau simbahi negeri mereka dengan darah dari ayah, suami, ibu, saudara, anak dan bayi-bayi mereka hingga sekarang memerah dan merahnya tak kering sampai hari ini. Melalui tulisan ini ingin kusampaikan pesanmu kepada rakyat Indonesia, tentang “keramahanmu”.
Pagi ini, mengawali aktivitas “dapur” kulihat dari jendela, hamparan putih salju yang sudah hampir seminggu betah untuk berlama-lama menyelimuti hijaunya rerumputan. Membuat sinar matahari tampak lebih berseri-seri karena pantulan cahayanya. Sebuah pemandangan yang sangat indah, tersisip pujian dihati pada Illahi Rabbi walaupun udara dinginnya menembus ujung-ujung jemari. Nun jauh disana, pekik Takbir dikumandangkan saudara-saudaraku, walaupun hamparan merah darah yang ada disana sama sekali tak indah. Tapi keindahan yang akan mereka raih melebihi indahnya dunia, syahidnya mereka, merupakan kemuliaan disisi Allah. Semoga kemenangan akan segera menjadi milikmu wahai saudaraku, semoga……..
* = Tanaman Terong
Göttingen, 10 Januari 2009, (Dari Zentrum kota Göttingen, kami kembali menyuarakan keprihatinan kami untukmu saudara-saudaraku di Gaza).