“Liaan… Apa lagi!!! “ Melengking suara seorang wanita memanggil anaknya, dan diteruskan dengan cacian-cacian,
“Bodoh kamu!! Bego! Pake otak kalo mau apa-apa! “
Aku yang baru tidur setelah adzan subuh karena harus lembur menyelesaikan tulisan, mau tidak mau harus bangun, kulirik jam weker di atas lemari, jam 7 kurang 15. Aku bergumam sedikit kesal, karena mataku masih terasa berat sekali. Sementara caci maki ibu itu terus berlanjut. Tak lama terdengar suara sang anak mengaduh, entah apa yang terjadi dan kemudian suasana sepi, sepertinya anak itu pergi.
Kejadian seperti ini hampir setiap pagi kudengar, meski tak selalu separah ini. Dan hampir setiap hari itu pula hatiku miris mendengar apa yang diucapkan ibu itu terhadap anaknya. Nyaris tak ada kalimat yang luput dari kata “Bodoh”, “Bego”, ”Kurang ajar” atau kata-kata kasar lainnya. Bahkan ibu itu pernah berkata mau mencekik anak kandungnya itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan anak itu. Hatinya pastilah sangat sakit. Ibu kandungnya sendiri, wanita yang melahirkannya, wanita yang seharusnya berkata manis sayang saja menyebutnya bodoh bahkan mau mencekiknya, meski mungkin itu hanyalah sebatas kata-kata.
Hatiku semakin miris ketika suatu saat aku pernah berada didepannya, anak ini hanya bisa diam tertunduk ketika ibunya marah dan sesekali mengaduh ketika cubitan atau sabetan mendarat di telinga atau kakinya, tanpa pernah ada air mata mengalir di pipinya. Ekspresi wajahnya pun sama sekali tak menunjukkan adanya amarah, ketakutan atau dendam, seringnya dia menggeloyor begitu saja setelah dimaki-maki ibunya. Seperti tak ada lagi rasa di tubuhnya.
Yang terpikirkan olehku adalah, mungkin diwajahnya tak pernah tercermin rasa sedih, mungkin di matanya tak pernah terpancar amarah, mungkin juga dia tak mau merasakan sakit ketika cubitan atau sabetan mengikis kulit arinya, tapi bagaimana dengan hatinya, akankah hatinya sekuat itu. Tidakkah ia terlukai oleh kata-kata itu.
Dia masih anak-anak, sungguh masih belia. Usianya belum lagi 10 tahun. Space memori otaknya masih sangat besar untuk menampung berbagai kenangan yang akan dia lalui. Bukankah sangat disayangkan jika ruang yang masih bersih dan luas itu menjadi kotor dan penuh rasa sakit hati yang mungkin akan meledak suatu hari nanti. Kata-kata jahat itu akan tertancap seperti paku[Kekuatan Cinta, 25;Paku], dan itu benar. Setiap kata-kata itu tentu akan tertancap erat di dalam hatinya, tersimpan rapat dalam almari-almari ingatannya. Terngiang hingga nanti dia dewasa, kenapa? Karena dia masih anak-anak.
Ada sebuah buku yang menyebutkan bahwa karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh kenangan masa kecilnya. Lalu karakter seperti apa yang akan terbentuk jika kenangan yang dia miliki adalah kenangan akan cacian dan makian bahkan ancaman.
Saat mengucapkan kata “Bodoh!” pada anaknya, ibu itu mungkin tidak menyadari bahwa dia telah memasukan doktrin bodoh pada diri anak yang mungkin sejatinya adalah cerdas. Anak ini bisa jadi menganggap dirinya tak mampu melakukan hal yang benar, karena meski berusaha dia mungkin berfikir lagi-lagi ibunya akan membodohkannya, ketika dia ingin mencoba mengungkap isi hati untuk membela diri, kemungkinan besar dia akan urung karena takut akan ancaman ibunya. Atau saat dia mencoba mengingatkan ibunya ketika ibunya mungkin berbuat salah dia takut dikatakan kurang ajar.
Duhai Ibu, kata-katamu adalah doa bagi anakmu, jadi mohon berhati-hatilah dengan ucapan kata. Jika kau ucap dia anak yang bodoh mungkin dia akan menjadi benar-benar bodoh meski dia cerdas, dan jika kau ucap dia pintar mungkin dia akan berusaha untuk itu meski sebenarnya dia tak terlalu pintar.
Anak-anak memiliki hati yang halus, tentunya mereka sangat senang jika disayang. Mereka pun manusia, sama seperti engkau yang memiliki hati dan perasaan. Jika dengan kata-kata manis dan lembut mereka bisa dididik kenapa harus memakai kata-kata yang kasar dan menyakitkan hati.(2007)